Kawasan Hulu Citarum yang berupa hutan lindung yang diapit oleh dua gunung di Bandung Selatan, Kabupaten Bandung tidak terurus. Perhutani yang diberikan kewenangan oleh negara tak terlihat benar-benar memperhatikan kawasan ini. Situ Cisanti sebagai bagian utama Hulu Citarum menjadi obyek wisata alam tanpa pengunjung. Padahal kawasan hutan lindung untuk areal tangkapan air (water catchment area) ini sangat mendukung kebutuhan air bersih masyarakat sekitar.
“Kawasan ini dikelola oleh beberapa pihak, Dinas PSDA (Pengelolaan Sumber Daya Air), Perhutani dan Perusahaan Jasa Tirta (PJT). Perhutani kelola wisatanya, Dinas dan PJT pelihara pohonnya. Saya honorer di PJT,” jelas seorang tenaga honorer PJT yang enggan disebut namanya di Kawasan Situ Cisanti, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung (6/5).
PJT yang memiliki MoU (Memorandum of Understanding) dengan Perhutani mengelola 40 hektar di kawasan hutan Situ Cisanti. Sejak 2003 PJT telah menanam pohon kayu putih di Situ Cisanti sebagai upaya rehabilitasi kawasan lindung tersebut. Namun, dari 40 hektar areal yang ditanami pohon, kini tidak sampai setengahnya yang dapat dijaga dengan baik.
“Sebatang kayu putih sekarang ada harganya. Tiga Puluh Lima hingga Empat Puluh Ribu Rupiah per batang laku dijual. Kalau tak dijaga, lenyap,” imbuh tenaga honorer PJT.
Program rehabilitasi hutan lindung di kawasan Gunung Papandayan Lodaya-Gunung Wayang Windu ini sudah sering dilakukan. Pada 2003 melalui Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK), Pemerintah Propinsi Jawa Barat beserta pihak terkait seperti Perhutani dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung melakukan penanaman bibit tanaman keras seperti rambutan, alpukat, durian, petai, dan kayu putih (eukaliptus). Hingga saat ini hasil dari penanaman tersebut tidak terlihat signifikan.
“Penanaman sudah dilakukan lewat GRLK. Tapi politik saja. Tiap bibit yang ditanam ada namanya. Atas nama camat, bupati, gubenur, pejabat Perhutani, dan pejabat muspida lainnya. Umur tanamannya seumur pejabat. Pejabatnya ganti, pohonnya mati,” kelakar Dede Jauhari, salah satu penggerak masyarakat dari MPSA (Masyarakat Peduli Sumberdaya Alam) menjelaskan kegagalan GRLK.
Areal Kawasan Lindung Hulu Citarum sebagian besar berada di wilayah kewenangan Perhutani. Beberapa pendekatan Perhutani melalui PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) dan pembentukan LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) di kawasan yang meliputi wilayah administrasi 5 kecamatan (salah satunya Kecamatan Kertasari) tidak berhasil. PHBM dan LMDH tidak menyentuh kebutuhan ekonomi masyarakat.
“Bagaimana masyarakat mau tertarik. Perhutani hanya bicara prosentase. 30% untuk masyarakat, 70% untuk Perhutani dari program PHBM yang komoditas usulan Perhutani berupa tanaman kopi. Sementara bibit kopi dan pemeliharaannya petani yang tanggung,” tutur Dede tentang program PHBM di Kertasari.
Saat ini jumlah penduduk di Kawasan Hulu Citarum ini sebanyak 66.000 orang atau 11.000 KK. Lahan milik masyarakat tidak kurang dari 700 ha yang berada di sekitar lahan Perhutani. Kebutuhan lahan untuk bertani bagi masih jauh dari cukup. Rata-rata penduduk di 5 kecamatan di Hulu Citarum masih bermata pencaharian sebagai petani hutan dan hortikultura.
“Tidak bisa dibayangkan, lahan milik masyarakat hanya 700 hektar, sedang penduduk di sini 66.000 orang yang masih mengandalkan usaha tani. Setiap petani hanya mengelola 7 meter persegi. Perhutani mengelola ribuan hektar tak terpelihara. Lahannya kritis,” imbuh Dede.