K.P. SHK

Forest Rescue Team: Menjaga Gambut Menjadi Tanggung Jawab Kolektif

Dulu, hutan gambut di Kecamatan Kahayan Hilir, Kalimantan Tengah, seperti ruang sunyi yang tak terjamah. “Kami tahu ada hutan di sana, tapi tak tahu apa isinya. Tak ada yang rutin masuk ke dalam, apalagi menjaga,” ujar Asiswan, Ketua Tim Patroli Hutan (TPH) dari Desa Mantaren 1.

Kondisi ini perlahan berubah sejak hadirnya Program Pengelolaan Terpadu Ekosistem Hutan Gambut (PTEHG) yang dijalankan oleh KPSHK bersama masyarakat sejak 2022. Dari program ini lahirlah inisiatif patroli hutan desa dan kini berkembang menjadi Forest Rescue Team (FRT).

Tahun demi tahun, tim-tim dari empat desa (Gohong, Kalawa, Mentaren I, dan Buntoi) mulai rutin berpatroli. Mereka bukan hanya berjalan kaki menyusuri hutan, tapi juga mencatat temuan, menjaga sumur bor, mendeteksi titik api, dan berkontribusi dalam pemadaman kebakaran.

Namun, jalan tidak selalu mulus. Banyak kendala teknis dan komunikasi. “Awal-awal kami bingung pakai GPS dan Avenza. Kadang datanya hilang, kadang jalurnya terputus,” kenang Heron, anggota TPH Gohong.

Ada juga ancaman nyata di lapangan. “Di batas Sebangau, kami pernah didatangi orang tak dikenal malam-malam. Kami takut logistik dicuri. Risiko seperti ini sering kami hadapi,” cerita Asiswan lagi.

Meski demikian, tekad mereka tidak goyah. “Kami sadar, kalau bukan kita yang jaga hutan kita, siapa lagi?” tegas Lampang, Anggota Tim Patroli Kebakaran (TPK) Gohong.

Memasuki tahun keempat, seluruh mekanisme patroli diperkuat. Kini mereka resmi disebut Forest Rescue Team (FRT) dengan sistem lebih terorganisir. Satu desa memiliki 20 anggota, dibagi ke dalam 3 sub-tim yang berpatroli bergantian setiap bulan. Setiap patroli dilengkapi GPS, peta kerja, tally sheet, kamera, dan sistem pelaporan berbasis digital.

“Sekarang kami lebih siap. Ada SOP, pembagian tugas, bahkan pelatihan pengamatan satwa dan tumbuhan. Dulu, kami cuma fokus jalan, sekarang kami tahu pentingnya data,” kata Ganti, Ketua TPK Mentaren 1.

Dengan sistem War Room yang dikembangkan KPSHK, semua data patroli kini terekam secara digital dan bisa dianalisis dari jalur patroli, titik temuan, hingga pergerakan kebakaran. Hutan tak lagi menjadi ruang diam, ia kini bicara melalui data.

Masyarakat mulai merasakan dampaknya. “Sekarang kami tahu, di hutan itu ada jejak orangutan, ada kantong semar, ada banyak jenis burung. Ini jadi pengetahuan baru buat kami,” ujar Suhartono, TPH Kalawa.

Lebih dari itu, masyarakat kini merasa memiliki dan bertanggung jawab atas hutan mereka. “Hutan desa ini bukan milik LPHD saja, tapi milik kita semua,” tegas Yanto, Ketua LPHD Gohong.

Di Desa Buntoi yang rawan kebakaran, semangat menjaga pun tak luntur. “Kalau musim kemarau datang, api sering masuk dari arah selatan. Kami usulkan kontrak patroli jangan cuma 8 bulan, tapi 12 bulan penuh,” ungkap Karlin, Ketua LPHD Buntoi.

Kegiatan patroli yang dilakukan oleh FRT ini sejalan dengan amanat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.9 Tahun 2021, khususnya terkait kewajiban pemegang izin dalam pengelolaan kawasan hutan. Dalam regulasi tersebut, pemegang izin termasuk Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) wajib melakukan perlindungan hutan dari perusakan dan pencemaran lingkungan serta memastikan kawasan hutan tetap lestari dan berfungsi ekologis. Kegiatan patroli rutin, pemantauan titik api, hingga pendataan keanekaragaman hayati yang dilakukan FRT menjadi bentuk nyata pelaksanaan tanggung jawab ini di lapangan.

Forest Rescue Team bukan sekadar tim patroli, mereka adalah penjaga, pemantau, dan pemulih ekosistem. Dengan semangat gotong royong dan dukungan teknologi, mereka berhasil mengubah hutan yang dulu tak terjaga menjadi kawasan yang lebih aman, dipantau, dan penuh harapan.

“Kalau dulu kami hanya lewat dan tidak tahu apa yang kami temui, sekarang setiap langkah kami berarti. Kami bisa tahu, bisa mencatat, dan bisa menyampaikan. Hutan bukan lagi tempat asing. Hutan adalah tanggung jawab kita,” tutup Dundung, Ketua TPH Gohong.

Penulis: Alma
Editor: JW

Leave a Reply

Lihat post lainnya