K.P. SHK

Food Estate Merauke Rusak Gambut

Pelepasan kawasan hutan seluas 5,4 juta hektar untuk pembangunan pertanian oleh Departemen Kehutanan (sekarang Kementerian Kehutanan) pada 2008 merupakan langkah ragu. Hal ini tampak dari pernyataan salah satu pejabat dari Direktorat Planologi Kementerian Kehutanan dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan oleh Fakultas Pertanian-IPB di Bogor pada akhir 2008, yaitu Kementerian Kehutanan dalam waktu dekat akan mengambil alih kembali kawasan-kawasan hutan yang dikonversi untuk kepentingan pembangunan pertanian dan perkebunan karena dianggap tidak efisien dan tidak optimal atau ditelantarkan.

Rencana pembangunan pertanian pangan pola Plasma-Inti (food estate) di Kabupaten Merauke, Papua, yang sedang dalam persiapan pelaksanaan adalah salah satu pembangunan pertanian yang menggunakan areal 5,4 juta hektar kawasan hutan di Papua. Areal untuk Food Estate Merauke tersebut berada di ekosistem rawa gambut di Kabupaten Merauke.

Rusak Rawa Gambut

Rawa gambut Papua seluas 8 juta hektar dan merupakan rawa gambut terluas dibanding rawa gambut di pulau lain. Kawasan rawa gambut di Merauke merupakan 30% rawa gambut Papua. Alih fungsi rawa gambut untuk pembangunan food estate dengan pola Plasma-Inti (plasma areal yang dikelola petani, inti areal yang dikelola swasta) dengan prosentase 60% areal inti dan 40% tidak menutup kemungkinan secara sistem akan menimbulkan masalah manajemen, ketidakadilan, dan produktifitas (berkaca kepada pola Plasma-Inti di sektor perkebunan).

Mengaitkan hal tersebut dengan mitigasi perubahan iklim atau dengan janji pemerintah kepada dunia internasional, Indonesia mampu menurunkan emisi karbonnya 26% hingga 2020, utamanya dari upaya penurunan deforestasi, kerusakan dan alihfungsi lahan-hutan, maka tak lagi diragukan Pembangunan Food Estate Merauke akan menjadi sumber baru emisi karbon dari sektor hutan-gambut. Alihfungsi hutan-gambut untuk pembangunan pertanian dan perkebunan atau penggunaan lain dari temuan Pemerintah sendiri merupakan sumber emisi yang mencapai 50% dari total emisi dari semua sektor pembangunan di Indonesia. Food Estate Merauke akan merusak 30% ekosistem rawa gambut di Papua.

Pelintir Pangan Rakyat

Pembangunan Food Estate Merauke merupakan pembangunan pertanian padi ekstensif untuk pemenuhan kebutuhan pangan rakyat. Pola PIR (Plasma Inti Rakyat) sudah lama menjadi pendekatan pembangunan perkebunan yaitu sawit, kakao, karet dan kelapa. Banyak kalangan mengakui pendekatan yang menyatukan peran swasta (investasi dan menajemen) dan petani (tenaga kerja dan sasaran kredit) adalah pendekatan yang gagal bagi peningkatan kesejahteraan petani. Kondisinya, justru swasta mendominasi dalam investasi dan manajemen dengan tujuan keuntungan ekonomi perusahaan.

Siswono Yudo Husado via Kompas (28/4) berpendapat yang sama tentan pendekatan PIR. Pola PIR cenderung menguntungkan swasta pengembang dan penguasaan investasi 100% bisa dikuasai swasta asing. Siswono mencontohkan apa yang terjadi di sektor perkebunan sawit, dari 2,1 juta hektar perkebunan sawit PIR di Indonesia, investasinya 100% dikuasai asing.

Tahun sebelum, Sri Edi Swasono dalam “Cultuurestelsel” Baru (2008), PIR hasil pemelintiran dari NES (Nocleus Estate and Smallholders) yang menghilangkan partisipasi aktif petani. NES sendiri bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha petani yang tidak hanya bergelut di produksi tapi ikut serta dalam pengelolaan hasil produksi (pengelolaan pabrik).

Pola PIR dari pembangunan food estate antara bayang-bayang kegagalan PIR di sektor perkebunan (sawit), sementara proyek ini dilaksanakan untuk pemenuhan kebutuhan pangan rakyat (?). Dan akankah masih layak untuk dijadikan pendekatan pembangunan yang mensejahterakan, memenuhi kebutuhan pangan rakyat, dan tidak memunculkan masalah lingkungan yang baru kaitannya food estate yang akan mengalih fungsikan sebagian dari 30% ekosistem rawa gambut di Papua?

Leave a Reply

Lihat post lainnya