“Buyuang ….! Pulanglah ke kampuang, makam ongku waang lah jadi sawit kiniko!”
Oleh : Aftrinal Sya’af Lubis, SP.*
Ketika Sawit Watch (SW) menyoroti ekpansi besar-besaran 500.000 ha perkebunan kelapa sawit di Sumatera Barat, saya teringat kampung halaman saya di Pasaman Barat. Jangan-jangan kebun nanas ongku saya di Hutanagodang sudah jadi sawit, saya tidak bisa lagi menikmati manisnya salak Tampus, tak dapat lagi menanti durian jatuh di Tamiang. Wisata Sungai di Hulu Bonda tak ada lagi. Jangan-jangan…kuburan kakek saya juga sudah di sulap jadi sawit. Tahun depan saya harus segera pulang kampung untuk menikmati ini semua, sebelum menyesal ini tinggal kenangan.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa saat ini kelapa sawit menjadi tanaman primadona bagi warga Pasaman Barat. Saat ini luas areal perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pasaman Barat hampir mencapai 200.000 hektar berupa Perkebunan Besar Nasional, Perkebunan Besar Swasta Nasional, Perkebunan Rakyat dan Petani Pekebun. Tidak pernah dikaji dari dampak lingkungan yang ditimbulkan perkebunan kelapa sawit tersebut.
Sebanyak 19 perusahaan kelapa sawit di Pasaman Barat (Pasbar) tidak memperhatikan faktor lingkungan terutama Daerah Aliran Sungai (DAS), diungkap oleh PPH Dinas Kehutanan Pasaman Pasbar.
Pemupukan kelapa sawit di Pasaman Barat menggunakan pupuk kimia yang meracuni lingkungan. Pupuk-pupuk tersebat sebagian besar diimpor dari Malaysia. Apabila luasan kebun kelapa sawit di Pasaman Barat 200.000 ha, maka pupuk yang diberikan ke dalam tanah sebanyak 100.000 ton/th, yang akan meracuni tanah dan perairan.
Kartodiharjo dan Sunaryo (1991) menyatakan bahwa “sejarah perkembangan perkebunan di negara berkembang termasuk indonesia, tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan kolonialisme, kapitalisme dan modernisasi. Di negara-negara berkembang, pada umumnya perkebunan hadir sebagai perpanjangan dari perkembangan kapitalisme agraris barat yang diperkenalkan melalui sistem perekonomian pertanian komersial yang bercorak kolonial. Sistem yang di bawa oleh pemerintah kolonial atau yang didirikan oleh korporasi kapitalis asing itu pada dasarnya adalah sistem perkebunan eropa, yang berbeda dengan sistem kebun (garden sistem) yang telah lama berlaku di negara-negara berkembang pada masa pra-kolonial.
Dua model pengembangan perkebunan tersebut jelas terdapat perbedaan yang nyata. Istilah sistem kebun (garden sistem) sama dengan sistem hutan kerakyatan, wilayah kelola rakyat, atau istilah lokal yang mencerminkan tata kelola masyarakata adat/lokal diantaranya adalah parak di Sumatera. Sistem pertanian ini menyesuaiakan dengan kondisi alam, menunjukkan berbagai keanekaragaman tanaman.
Kebun-kebun Besar Kelapa Sawit, termasuk perkebunan yang dikembangkan dengan sifat komersial dan melayani pasar atau kebun besar. Identifikasi awal terhadap model pengembangan kebun besar dimulai ketika pemerintah kolonial Belanda mengenalkan kopi di bumi priangan (Jawa barat). Hal ini terjadi sebelum masa liberal. Pada masa inilah sebenarnya sedang dilakukan semacam ‘pilot project’ bagaimana membuat sistem perkebunan besar untuk melayani pasar di Eropa.
Saat ini indonesia sebagai negara yang memiliki luas kebun kelapa sawit terluas di dunia, yakni 7,8 juta ha. Hal ini dilakukan dengan menkonversi hutan-hutan dan kebun-kebun rakyat menjadi perkebunan kelapa sawit.
Luas kebun kelapa sawit di Sumatera Barat tahun 2008 seluas 310.281 ha dan rencana ekspansi 500.000ha (Sumber : Sawit Wtch, 2009). Perkebunan kelapa sawit sebagai saalah satu penyebab utama penggundulan hutan di indonesia, yang telah menghancurkan habitat spesies langka, termasuk Orang Utan dan Harimau Sumatera. Mekanisem pembakaran, yang digunakan pada pembukaan lahan dan pengeringan gambut untuk selanjutnya ditanami sawit, menhasilkan jutaan ton karbondioksida (CO2) dan membuat indonesia menjadi peng-emisi CO2 terbesar ketiga di dunia.
Tidak hanya hutan indonesia yang terancam karena kelapa sawit. Diperkirakan sekitar 60-90 juta orang di indonesia yang menggantungkan kehidupan mereka pada hutan akan kehilangan tanah karena ekspansi perkebunan kelapa sawit. Masyarakat tersebut telah mengelola tanah mereka dari generasi ke generasi, menanam tanaman pangan dan tanaman komersial, memanen bahan obat-obatan, dan memperoleh bahan bangunan dari hutan. Perkebunan kelapa sawit telah mentransformasikan tanah tersebut menjadi perkebunan monokultur, dan temuan di lapangan menunjukkan bahwa proses transformasi tersebut sangat merugikan masyarakat.
Dampak Sosial Ekspansi Perkebunan Sawit
Kelompok yang paling mengalami eksploitasi akibat ekspansi perkebunan sawit adalah masyarakat adat yang hidup di dalam atau sekitar hutan. Menurut Sawit Watch sedikitnya 50 – 100.000 ha tanah dan kebun masyarakat adat ini digusur paksa oleh perusahaan kelapa sawit secara sepihak. Sebagian kecil korban gusuran akan mendapat ganti rugi tanam-tumbuh saja, sedangkan sebagian besar korban lainnya tidak mendapatkan kompensasi apapun. Sedikitnya 20 masyarakat adat setiap tahunnya mesti berurusan dengan aparat kepolisian dan berujung pada hukuman tindak pidana akibat melakukan perlawanan untuk mempertahankan hak kelolanya.
Selain itu, petani plasma yang selalu dijadikan slogan sebagai mitra dari perusahaan kelapa sawit juga tak luput dari eksploitasi. Beragam model penghisapan yang dilakukan oleh perusahaan seperti penyerahan kebun kepada petani tidak tepat waktu, kualitas kebun plasma yang buruk dan tidak sesuai ukuran, jumlah utang dan bungan kredit yang dibebankan terlalu tinggi dan tidak transparan. Juga penyedian bibit, pupuk, pestisida dan lat-alat kerja lainnya dimonopoli oleh perusahaan induk atau mitranya, penentuan harga TBS secara sepihak oleh perusahaan induk, kenaikan jumlah beban kredit dan bunga utang untuk kebun replanting dan pola kemitraan baru dalam bentuk pengelolaan satu manajemen hanya akan semakin memiskinkan petani.
Dampak sosial lainnya adalah perampasan hak-hak kaum buruh di perkebunan kelapa sawit. Perlindungan dari kecelakaan kerja yang sangat minim, upah yang tidak layak, rentan terhadap segala bentuk pelecehan dan dari sekitar 3 juta orang buruh di kebun kelapa sawit saat ini 65% dari jumlah itu adalah buruh tanpa kontrak kerja.
Dampak Budaya
Kedatangan perkebunan kelapa sawit telah merubah tatanan kehidupan masyarakat dan menghancurkan budaya serta nilai-nilai kearifan lokal. Di beberapa kasus, lokasi-lokasi peninggalan kebudayaan yang cukup penting, termasuk makam nenek moyang, dihancurkan dan ditanam kelapa sawit. Aspek lain adalah kebudayaan masyarakat adat juga hilang.
Tradisi dan ritual yang telah menjadi bagian dari pratek pertanian didalam hutan Juga telah hilang, seringkali disebabkan oleh hilangnya sistus keramat yang telah dihancurkan. Akibatnya, Tradisi dan bahasa juga dilupakan. Kebudayaan masyarakat adat jarang sekali didokumentasikan secara tertulis dan apabila praktek kebudayaan tersebut telah mati maka semua unsur penting kebudayaan telah musnah hilang tanpa bekas.
Manisnya sawit di Pasaman Barat melenakan masyarakat akan racunnya, apa lagi yang akan diwariskan kepada cucu kemenakan nanti ? ….
___________________________________________
Keterangan Literatur :
Sawit Watch (SW) adalah jaringan organisasi non-pemerintah dan individu yang prihatin dengan makin meluasnya areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan makin merebaknya konflik antara masyarakat dan kerusakan serta makin melajunya kerusakan hutan yang diakibatkan oleh pembangunan perkebunan sawit skala besar di Indonesia dan persoalan lingkungan lainnya. Organisasi ini didirikan untuk menahan laju ekspansi perkebunan Sawit skala besar di Indonesia.
Alamat SW :
Jl. Taman Sempur Kaler No.1, Bogor, Jawa Barat 16154
Telepon : 0251-352171, Fax : 0251-352171, Hp : 0812-110-1016
Email : info@sawitwatch.org / rudy@sawitwatch.org
Website : www.sawitwatch.org, www.sawitwatch.or.id
Mitra Kerja dan Jaringan SW:
Indonesia : WALHI, ELSAM, KpSHK, Forest Watch Indonesia
Internasional : SSWC, AID Environment, FOE Internasional
Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah lembaga nirlaba yang terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha-usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat/berpartisipasi aktif melakukan perlawanan terhadap praktek korupsi. ICW lahir di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan reformasi yang menghendaki pemerintahan pasca Soeharto yang demokratis, bersih dan bebas korupsi.
Busuknya sektor pemerintah dan sektor swasta karena korupsi hanya melahirkan kemiskinan, kebodohan dan ketidakberdayaan rakyat banyak. Korupsi yang terjadi karena perselingkuhan kekuasaan politik dan kekuatan ekonomi membuat semakin lebarnya jurang kesejahteraan. Karena itulah Indonesia Corruption Watch (ICW) percaya bahwa pemberantasan korupsi akan berjalan efektif jika ada pelibatan yang luas dari rakyat sebagai korbannya. ICW mengambil posisi untuk bersama-sama rakyat membangun gerakan sosial memberantas korupsi dan berupaya mengimbangi persekongkolan kekuatan birokrasi pemerintah dan bisnis.
LSM WAMPEL (Wadah Muda Peduli Lingkungan Pasaman Barat).
Jl. Bhinneka Tunggal Ika 7, Pasaman Baru Simpang Empat Pasaman Barat
Telp. 075365646, wampelmail@yahoo.com, http://www.lsmwampel.com
____________________________________________________________________________
*Aftrinal Sya’af Lubis, SP.
Putra dari M.Sya’af Lubis Sutan Dunia (alm.) bin Bagindo Rajo Mudo. Kenagarian Ujung Gading. Pasaman Barat.
Dear,
Cerita sawit ini sudah saya ikutu dari tahun 1995, tetntang tanah plasma di Pasaman Barat, Seperti yang pernah diusut tanah ulayat Tanjung Baru yang berada di Area Pt. Pasaman Marama Sejahtera. Sampai sekarang tidak ada Silusi yang diterima si Ahli Waris, Miris memang ketidak adilan di Nusantara ini hingga mememar sampai kapanpun ….
Salam
Rifki
Yang paling mengkhawatirkan adalah tentang lemahnya penerapan k3..
Padahal kita sudah menuju indonesia berbudaya k3…
Semiga web semacam ini membantu meningkatkan awareness
Salam k3