Ada satu mitos yang biasanya mengiringi ekspansi perkebunan kelapa sawit di lahan gambut. Mitos yang menyebutkan bahwa hanya kelapa sawit yang cocok untuk dibudidayakan di lahan tersebut. Ekspansi yang diiringi pencaplokan lahan milik masyarakat, berikut mitos yang dibawanya, berhasil dipatahkan para petani di tiga desa dalam kecamatan Pangkalan Lampam, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.
Perkebunan kelapa sawit skala besar memang “lapar tanah”. Tak heran jika lahan gambut yang terbentang di pesisir Sumatera Selatan tak luput dari incaran ekspansi. Padahal lahan gambut tersebut merupakan sumber penghidupan masyarakat setempat (adat) dari generasi ke generasi.
Secara tradisional lahan gambut merupakan lahan budidaya yang dikelola untuk bermacam peruntukan. Mulai dari lahan budidaya padi sonor, perikanan alam, sumber purun (sejenis rumput rawa) untuk produksi tikar, sumber kayu, hingga lahan penggembalaan kerbau dan sapi. Di bagian gambut padat atau talang, masyarakat membudidayakan karet dan aneka tanaman buah seperti durian dan duku.
Keberlanjutan budidaya di lahan gambut oleh masyarakat setempat di Kecamatan Pangkalan Lampam sempat terancam oleh pencaplokan lahan untuk perkebunan sawit. Sebagaimana yang terjadi atas lahan seluas 5.000 hektar milik petani di tiga desa Desa Rambai, Perigi, dan Air Rumbai.
Kawasan gambut tersebut sempat masuk ke dalam wilayah konsesi perkebunan milik PT. Persada Sawit Mas (PSM). Konflik atas tanah pun terjadi sejak tahun 2005. Setelah melakukan serangkaian aksi penolakan, pada tahun 2008, masyarakat di tiga desa tersebut berhasil memperoleh kembali lahan milik mereka.
Agar lahan tersebut tidak lagi menjadi incaran ekspansi sawit maupun investasi skala besar lain, para petani ketiga desa tersebut berusaha mengoptimalkan budidaya di atas lahan milik mereka. Selain untuk peningkatan ekonomi, optimalisasi lahan juga dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa budidaya di lahan gambut oleh masyarakat tak kalah produktif bila dibandingkan dengan investasi perkebunan.
Kini, di tiga desa tersebut beberapa inisiatif lokal yang muncul sebagai bagian dari penataan produksi di atas lahan gambut pasca konflik agraria yang mereka alami. Salah satunya adalah ujicoba budidaya ikan di kanal-kanal kecil yang mereka gali. Contoh lain adalah yang dilakukan beberapa petani di desa Rambai. Muhammad, salah satu tokoh petani setempat melakukan ujicoba menanam karet (Hevea brasiliensis) di rawa gambut yang tidak selalu terendam.
“Dulu, uji wong perusahaan, cuman sawit yang pacak idup di lahan gambut!” kenang Muhammad. “Dulu, kata orang perusahaan (PT. PSM), hanya kelapa sawit yang bisa hidup di lahan gambut.”
Pada saat bersamaan, Muhammad menyatakan ketidakpercayaannya pada anggapan tersebut. Karena itu dia bertekat mengujinya dengan tanaman budidaya lain yang telah mereka kenal tetapi selama ini hanya mereka budidayakan di atas lahan non-rawa (tegalan).
“Buktinyo, batang karet pacak idup bagus di lahan gambut,” katanya. Rasa puas atas keberhasilan ujicoba yang ia lakukan terlihat dari senyum lelaki yang sempat dipenjara karena konflik dengan perkebunan sawit itu.
Ujicoba menanam karet di lahan gambut dilakukan Muhammad sejak tahun 2011. Ketika kami mengunjungi kebunnya, pohon karet di kebunnya sudah berusia 2 tahun. Mulai hijau dan menjadi cikal hutan yang berpadu dengan vegetasi rawa.
Keberhasilan Muhammad mengilhami warga desa Rambai. Satu per satu petani rawa gambut di desa itu mulai meniru jejak Muhammad.
#Catatan Syam Asinar Radjam
(Tim PP-SHK / Product Pengetahuan Sistem Hutan Kerakyatan)