Nopember 2011, Menteri Perdagangan, Gita Wiryawan, keluarkan peraturan pelarangan ekspor rotan (Permendag No.35/2011). Pelarangan berlaku sejak Januari 2012. Tujuannya untuk menggenjot daya serap industri kerajinan dan mebel rotan yang tak maju-maju sedari dulu. Oktober 2012, sekonyong-konyong, Bayu Khrisna Murti, Wamen Perdagangan memberi kabar gembira. Dalam waktu 6 bulan penerapan Permendag tersebut, telah menaikkan sebesar 40% ekspor barang jadi rotan dan stok rotan bahan baku yang membludak di sentra-sentra industri dan kerajinan dan mebel rotan di Jawa (suarapengusaha.com).
Peningkatan ekspor barang jadi rotan tersebut menjadi alasan Pemerintah mengurungkan niat membentuk “badan penyangga rotan” seperti usulan Asmindo (Asosiasi Mebel Indonesia) yang juga direkomendasi KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) sebagai tindak lajut dari hasil penilaian adanya monopoli dagang di sektor rotan.
Tepatnya Juli 2012, Asmindo membantah dengan prediksi tidak ada peningkatan signifikan larangan eskpor dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dari manufaktur rotan. Asmindo memprediksi pertumbuhan ekspor manufaktur kerajinan dan mebel rotan hanya berkisar 10%, mengingat beberapa sentra kerajinan dan mebel rotan di Jawa masih mengalami kelakaan bahan baku dan harga beli rotan mentah yang mahal, satu kg rotan alami olahan sebesar 22.000 Rupiah (kompas.com), padahal rotan mentah olahan di tingkat pedagang besar masih berkisar Rp.4000/kg.
Sementara itu, juga dikabarkan ada peningkatan nilai ekspor manufaktur mebel Indonesia sebesar 2% yaitu US$116 miliyar (neraca.co.id). Dan ini lebih bagus dibanding nilai ekspor manufaktur mebel pada 2010, walau semua pihak mengetahui mebel berbahan baku rotan sejak 2005 tidak berkembang dan cenderung mati hingga 2009 akhir –temuan KpSHK pada 2009 tiga industri besar mebel rotan asal Amerika dan Jepang di Cirebon kolaps karena mengalami kelangkaan bahan baku.
Angka-angka siluman di atas tersebut dapat disebut satu indikasi Pemerintah tidak mau disalahkan karena mengeluarkan kebijakan yang mengulang dalam setiap lima tahun sekali, yaitu buka tutup kran ekspor rotan dan adanya janji membentuk badan penyangga rotan tak terlaksana. Angka-angka tersebut adalah jalan membohongi ketidakmampuan Pemerintah memberikan solusi bagi tataniaga rotan dan mendorong pengembangan industri manufaktur rotan.
Kebohongan Demand-Supply
Di sentra-sentra rotan alam seperti di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, NTB, Aceh dan Papua masih memiliki potensi produksi rotan mentah olahan hingga 600.000 ton/thn -Pada 2011 APRI menyebutkan 300.000 ton/thn rotan yang bisa diekspor mentah olahan yang berkelanjutan.
Kontribusi ekspor rotan mentah olahan untuk mebel dari Indonesia di pasar Internasional hanya sebesar 1% untuk pemenuhan permintaan dari China, Korea, Jepang dan Taiwan dari seluruh total ekspor non migas Indonesia (neraca.co.id). Sementara itu industri nasional hanya mampu menyerap 7% bahan baku mebel rotan yang sebagian besar oleh perusahaan mebel rotan di bawah AMKRI yang sejak 2007 hanya ada sekitar 3 perusahaan besar yang masih beroperasi.
Jika dalam waktu 6 bulan tanpa ada program di lapangan yang selaras dengan peningkatan ekspor barang jadi rotan –kecuali ada proyek pengadaan kursi dan meja dari rotan untuk sekolah dasar dan menengah pertama dari Kementerian Pendidikan yang ditangani AMKRI– sekonyong-konyong terjadi kenaikan ekspor barang jadi rotan sebesar 40% seperti pernyataan Wamen Bayu, demand-supply apa yang dihitung? Demand-supply di pasar internasional sebelum keluarnya Permendag No.35/2011 adalah demand-supply rotan alam mentah olahan (rattan row material).
Sementara demand-supply barang jadi rotan di tingkat internasional bukan mebel rotan tapi kerajinan-kerajinan seperti tas rotan, keranjang (basket) yang tujuannya ke negara-negara tertentu seperti Perancis, Amerika Latin, Spanyol, Brazil oleh kelompok-kelompok usaha kecil-menengah di Yogjakarta, Solo dan Semarang. Dan rotan yang digunakan untuk bahan baku kerajinan bukan rotan alam tapi rotan budidaya asal Kaltim dan Kalteng.
Memperkuat bukti Wamen Bayu melakukan kebohongan soal kenaikan ekspor barang jadi rotan, para pemangku kepentingan rotan mengetahui periode 2008-2011 adalah periode genting dimana makin melemahnya daya saing mebel rotan dari anggota AMKRI akibat membanjirnya bahan murah meriah rotan plastik dari China sebagai pengganti rotan alam yang harganya mahal karena kelakaannya di sentra-sentra mebel rotan seperti di Cirebon. Dan periode itu juga diakui AMKRI banyak anggotanya beralih ke mebel berbahan baku plastik.
Jika dalam waktu dekat tidak ada peninjauan ulang Permendag No.35/2011, maka tidak mungkin tidak tahun 2013 menjadi tahun “celaka 13” sektor rotan, tahun matinya produsen-produsen rotan alam dan matinya manufaktur rotan yang potensinya masih sangat besar bagi peningkatan ekspor non migas Indonesia. (tJong)