Desa Tarumajaya dan Desa Cibereum adalah dua desa di Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, yang wilayahnya berada di sekitar wilayah kerja Unit III Perhutani dan PTPN VIII di Jawa Barat. Banjir lumpur atau banjir bandang yang sering kali datang saat musim penghujan tiba di Kecamatan Kertasari dan sekitarnya selalu ditimpakan kepada penduduk dua desa tersebut sebagai penyebabnya. Padahal menurut beberapa pengakuan masyarakat setempat, karena wilayah hutan lindung tersebut jauh dari pengelolaan yang baik dari pihak yang berwenang, Perhutani.
“Urang mah asli di diyeu’, urang hirup ti leuweng masa nyari hirup ka laut, usaha tani teh keur tiasa. Urang sadayana hirup di diyeu’ teu’ ngarep banjir. Urang bukan penjarah. Lamun urang, orang Korea masuk di diyeu’ ya sebut penjarah (Saya asli sini, saya hidup di hutan tak mungkin mencari penghidupan ke laut, usaha tani sudah biasa di sini. Semua orang di sini tidak mengharap datangnya banjir. Saya bukan penjarah. Kalau saya orang Korea datang ke sini baru disebut penjarah-red),” tukas Dadang, sesepuh masyarakat pegiat MPSA (Masyarakat Peduli Sumberdaya Air) di Desa Cibereum, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung di kediamannya (6/5).
Dadang dengan beberapa orang lainnya anggota MPSA sudah mengelola lahan-lahan kritis yang HGU-nya habis dari PTPN VIII. Sejak 1982 sekitar 200 orang MPSA mengelola seluas 83 hektar lahan bekas PTPN VIII di Cibereum. Bahkan berkat perjuangan masyarakat sekitar Kawasan Lindung Hulu Citarum ini sedari tahun 1982, ada beberapa lahan bekas HGU PTPN VIII berhasil diusulkan mendapat sertifikat hak milik perorangan untuk pemukiman.
Selain Dadang, Dede Jauhari anggota lain MPSA juga memamparkan beberapa upaya penyelamatan kawasan resapan air Hulu Citarum yang dilakukan secara mandiri oleh masyarakat. Sebanyak 3.000 kolam resapan air dibangun secara mandiri oleh para anggota MPSA yang mencapai hingga 1000 orang anggota. Selain kolam resapan, MPSA sempat mengupayakan penghijauan secara mandiri, yaitu dengan menanami 80 hektar lahan kritis bekas HGU PTPN VIII dengan 30.000 bibit eukaliptus (pohon minyak kayu putih), dari 30.000 yang ditanam hidup dan tumbuh saat ini mencapai 15.000 batang eukaliptus.
“Sering kami disebut penyebab banjir lumpur di Kertasari. Tapi mereka tidak liat, petugas Perhutani yang berwenang saja jarang sekali memantau wilayahnya. Dan saat ada kehilangan patok-patok batas areal Perhutani dengan wilayah masyarakat dan bekas HGU PTPN VIII, masyarakat yang dituduh memindahkan. Padahal patoknya dibenton,” keluh Dede tentang adanya tuduhan Perhutani kepada masyarakat sebagai pemindah patok batas lahannya.
Untuk mendukung upaya pertanian hortikultara masyarakat yang bergabung dalam Kelompok Tani Desa Cibereum dan MPSA yang sebagaian besar mengupayakan usaha pertanian hortikultura kubis, bawang daun, jagung, kentang, tomat dan teh, masyarakat dua desa di Kecamatan Kertasari ini membuat beberapa pusat pembuatan pupuk kandang. Pupuk kandang diolah dari kotoran ternak sapi perah yang banyak diusahakan oleh masyarakat Kertasari, bahkan tersedia juga Koperasi Peternak Susu Sapi Bandung Selatan sebagai penampung susu (milk treatment) dari peternakan sapi perah rakyat di Kertasari.
“Kumaha teh pengawas Perhutani, manenah digaji urang suruh ngawas patok, sesekali ka diyeu’ ti Bandung. Pernah urang ditanya, Kang tau patok Perhutani hilang? Ku urang dijawab, teu nyahok pan urang teu’ nanem patok di diyeu’ (Bagaimana orang pengawas Perhutani itu, dia digaji untuk mengawasi patok batas, kami masyarakat yang disuruh mengawasi patoknya, dia hanya sesekali datang dari Bandung. Pernah saya ditanya, Kang tau patok Perhutani hilang? Saya jawab tidak tau, saya tidak menanam patok di sini-red),” kelakar Dadang tentang pengawasan patok batas areal Perhutani yang hanya sesekali dilakukan oleh petugasnya yang berkantor di Bandung.