K.P. SHK

Buka Rawa Gambut Untuk Sawit

Yana Enggan Pulang ke Jermun

Yana, perempuan yang hingga kini belum mau kembali ke desanya, Desa Jermun, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan ini kerap merindukan aktivitas kesehariannya. Dulu, sebelum adanya pengambilan lahan rawa gambut seluas 400 ha oleh salah satu perusaahan sawit di 6 desa di OKI, Yana setiap harinya pergi menoreh karet dan bertani sonor di musim tanam padi.

Bahkan bersama beberapa perempuan di Desa Jermun, Yana sempat membentuk satu kelompok perempuan demi melestarikan kerajinan tikar purun (purun, rumput rawa gambut-red). Yang kemudian kelompok perempuan ini dilarang keberadaannya oleh camat setempat tanpa alasan yang jelas.

“Sekitar tahun 60-an, orang tua kami dapat pembagian tanah rawa. Dulu hutan di Jermun. Pemerintah membukanya, dan mengambil kayu,” tutur Yana saat ditemui penulis di Kantor WALHI Sumsel beberapa waktu lalu.

Dari penuturan Yana yang saat ini sudah berusia 58 tahun, tanah rawa gambut sebagai pemberian pemerintah kepada masyarakat setempat menjadi lahan penghidupan untuk menanam karet dan bertani sonor. Walau tanpa ada proses pengesahan kepemilikan tertulis, tanah-tanah rawa gambut sudah puluhan tahun menjadi kesepakatan antar ketua adat Melayu di OKI.

Yana yang saat ini menjadi orang tua tunggal dari anak perempuannya yang sedang menempuh pendidikan tinggi di salah satu perguruan tinggi di Palembang, Ibu Kota Propinsi Sumatera Selatan, sangat menyayangkan tindakan Kepala Desa Jermun. Dengan alasan untuk pinjam pakai, tanah-tanah rawa gambut masyarakat desa Jermun ditanami sawit oleh perusahaan sawit.

“Gambut dibuka dan kebun karet pun ikut terbakar tiba-tiba. Setelah tanya ke desa (kepala desa-red), untuk pinjam pakai sementara,” tegas Yana menilai tindakan kepala desanya yang secara sepihak.

“Saya pun tak boleh pulang. Desa anggap saya provokator, hingga kejadian bentrok dan tolak sawit,” tutur Yana lebih lanjut tentang tindakan sewenang-wenang kepala desa terhadap dirinya.

Yana yang hampir berbulan-bulan tinggal sementara di Kantor WALHI Sumsel ini merasa semua miliknya terampas begitu saja. Dalam bayangannya, bertani sonor sudah tak lama ditekuninya. Padahal gantungan hidupnya berada di tanah rawa gambut warisan orang tuanya yang pada tahun 60-an mendapat bagian dari pemerintah.

“Bersonor padi tak pakai pupuk. Kami tak mengerti pakai pupuk. Dan kebiasaan di kami begitu adanya soal sonor,” ungkap Yana tentang tradisi bersonor bagi sebagian besar masyarakat di OKI.

Kondisi Desa Jermun, sejak masuknya perusahaan sawit yang membuat kanal-kanal di 400 ha rawa gambut di 6 Desa di OKI semakin buruk. Dulu, walau merupakan pendesaan tanpa penerangan listrik, karena belum masuknya saluran listrik pemerintah, sumber air masih tersedia dan bersih. Yana pun mengiyakan dalam penuturannya kepada penulis tentang kondisi Desa Jermun sebelum ada perusahaan sawit.

“Aku sedih, ingat deras karet 5-6 hari seminggu. Ini seperti dipenjara. Walau saat ini situasi tak sepanik dulu, aku tak akan pulang. Kepala desa diganti, aku akan pulang dan mengurus kembali karet,” ungkap isi hati Yana saat ditanya penulis kapan ia akan kembali ke desanya yang memberikan sejuta harapan hidup dengan mengelola sehektar lahan karetnya yang selama ini terbengkalai.

Leave a Reply

Lihat post lainnya