K.P. SHK

Bioregionalisme Rawa Gambut

Sebagai kesatuan sistem kehidupan (ekosistem), rawa gambut adalah kawasan unik pemelihara keseimbangan (harmony) antara kepentingan ekologi, ekonomi, dan sosial di dalamnya. Kerusakan salah satu dari daya dukung lingkungannya, semisal adanya areal lantai (daratannya) yang terbakar, sistem drainase yang berubah, dan penebangan vegetasi (tumbuhan) yang ada oleh aktivitas peruntukan atau alih fungsi lahan untuk pembangunan kehutanan-perkebunan akan menimbulkan dampak bencana lingkungan yang dahsyat.

Masih tingginya titik api kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan per tahunnya telah melegendakan Indonesia sebagai “Pengekspor Asap” di kawasan Asia Tenggara. Titik api tertinggi dan menimbulkan kebakaran hutan dan lahan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir adalah Riau, yang kemudian disusul Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Tak urung, beberapa tahun belakangan ini Malaysia mulai memprotes Indonesia atas menyebarnya asap dari kebakaran hutan dan lahan di Riau dan Kalimantan Barat ke wilayah udaranya.

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sebagian besar berasal dari kawasan rawa gambut yang berada di Sumatera dan Kalimantan. Darjono (2004) menyebutkan 3,9 juta ha (40%) dari luas Riau adalah rawa gambut yang sebagian besar dibuka untuk perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI), yang masih mengandalkan teknologi api dan kanal. Bahkan WALHI (2004) meyakini, masih tingginya titik api yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan karena salah urus sektor kehutanan-perkebunan, dimana di tahun-tahun itu Pemerintah menerapkan program pembukaan lahan industri tanpa dengan membakar (kontraproduktif).

Pemikiran untuk menyesuaikan pembangunan kehutanan (sumberdaya alam lainnya) dengan kondisi ekologi kawasan sudah berkembang sejak tahun 1970-an, yang sejalan dengan ketertarikan negara-negara di dunia untuk melakukan pembangunan berkelanjutan atau di Indonesia dikenal dengan “Membangun Tanpa Merusak”. Bioregionalisme pertama kali diperkenalkan oleh Berg dan Dasmann pada awal-awal 70-an. Konsep pendekatan pembangunan ini mengutamakan penyesuaian politik kawasan dan ekologi kawasan.

Dalam tingkat praktis, prinsip-prinsip pembangunan di kawasan ekologi unik dalam pandangan bioregionalisme meliputi, penyesuaian kepentingan politik dan ekologi kawasan, mengedepankan keunikan ekologi dari kawasan tersebut, memperkuat penyediaan pangan (konsumsi) lokal, meperkuat pengembangan tanaman khasnya, dan mendorong keberlajutannya melalui keseimbangan ekosistem.

Ekosistem rawa gambut yang unik sebagai reservoir air, habitat endemik flora dan fauna, mengandung kekayaan biodiversitas, dan sekaligus (dari tahun 1980-an hingga sekarang) sebagai cadangan lahan untuk budidaya produktif masyarakat dan industri sangat perlu perhatian semua pihak. Terutama saat parapihak berkepentingan (stakeholders) dituntut untuk berperilaku ramah lingkungan dan sosial demi terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Bioregionalisme menjadi jawaban pengelolaan ekosistem rawa gambut, dan sangat pas saat kita membaca ulang legenda Indonesia sebagai “Pengekspor Asap” ke kawasan politik negara tetangganya. (tJong).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Lihat post lainnya