Tepat di perempatan Imogiri-Bantul di Jalur Lintas Luar Selatan Yogyakarta atau yang lebih dikenal dengan Ring Road Selatan (RRS), terdapat satu tempat usaha bengkel mebel. Bengkel mebel ini khusus memperbaiki mebel seperti kursi, meja, dinding lipat yang berbahan baku rotan. Walau lebih banyak menjual mebel rotan jadi, tempat usaha milik sebut saja Sri ini mungkin satu-satunya bengkel mebel rotan di areal lingkar luar selatan Yogyakarta.
“Ada beberapa yang titip untuk diperbaiki sekalian dijualkan. Mebel rotan jarang di sini, paling banyak datang ke sini untuk diperbaiki. Di sini menjual mebel rotan baru,” jelas Sri (27 tahun) di bengkel mebel rotannya, Cipta Seni Galery di RRS Yogyakarta (17/4).
Ini menjadi pembenaran bagi beberapa pendapat pelaku usaha mebel rotan di Indonesia, mebel rotan di Indonesia bukan konsumsi dalam negeri. Amat sedikitnya tempat-tempat semisal bengkel mebel rotan milik Sri di kota-kota besar di Indonesia mengindikasikan mebel rotan bukan konsumsi dalam negeri. Seperti yang dikeluhkan oleh seorang pengusaha mebel dan kerajinan di Bali.
“Di Bali rotan buat mebel dan tas. Mebel dan tas rotan di Bali bahan bakunya dipasok dari Kalimantan. Di sini hanya pengrajinnya. Beberapa tahun ini mebel rotan lesu. Pemesannya berkurang dari luar. Sekarang malah rotan itimitasi Jerman yang digemari, walau mahal,” ungkap Deni Hartono (40 tahun) via internet di Bali (29/4).
Seperti apa yang diungkap Eri (34 tahun), aktivis LSM pengamat rotan, di Samarinda beberapa waktu lalu (21/3). Pemerintah daerah pun enggan menggunakan mebel-mebel berbahan baku rotan, padahal menurutnya hampir setiap tahun Pemda Samarinda menganggarkan penyediaan alat-alat invetaris untuk kantor-kantor semisal kursi, meja dan lemari, namun tidak pernah terpikir oleh Pemda untuk membeli dan menggunakan mebel-mebel berbahan baku rotan padahal Kalimantan Timur penghasil bahan baku dan kerajinan rotan.
Sri yang memang menggeluti usaha penjualan mebel rotan sekaligus bengkel rotan kelas warung pinggir jalan, tetap saja rotan sebagai pendukung sektor ekonomi kelas masyarakat bawah. “Yo niki mas (iya ini mas-red), walau bahan bakunya jauh dan sedikit di Yogyakarta, saya tetap saja usaha ini,” ungkap Sri dalam bahasa campuran Jawa-Indonesia.