Sabtu, 29 Mei 2010 | 03:28 WIB
Cirebon, Kompas – Sebagai komoditas endemik dan merakyat, tata niaga rotan seharusnya dibuat searif mungkin dari hulu ke hilir. Jika karut-marut akibat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2009 dibiarkan, komoditas rotan akan mati dan tergantikan rotan sintetis berbahan plastik yang tak ramah lingkungan.
Hal itu diungkapkan ekonom dari Universitas Padjadjaran Bandung, Ina Primiana, dan Koordinator Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK) Mohammad Djauhari secara terpisah, Jumat (28/5). Keduanya menanggapi dampak peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2009 tentang Ketentuan Ekspor Rotan yang membuat usaha rotan dalam negeri mati suri.
Ina mengatakan, pemerintah harus segera menata ulang kebijakan, memperkuat infrastruktur dan faktor pendukung, serta memberi kemudahan agar industri mebel rotan dan industri bahan baku bisa bangkit kembali. Jika tidak, industri rotan akan mati sama sekali tergilas skenario kapitalisme asing.
Ina, yang juga menjabat Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Jawa Barat, menilai, ada tiga faktor kelemahan di negara ini yang belum bisa diatasi. Pertama, birokrasi yang tidak efisien. Kedua, infrastruktur tidak memadai. Ketiga, ketidakpastian hukum dan kebijakan. ”Ketiga hal itulah yang membuat industri rotan, bahkan industri yang lain, tak bisa berkembang meski berpotensi besar,” ujarnya.
Selamatkan petani
Mohammad Djauhari yang selama ini mengamati persoalan tata niaga rotan juga mendesak pemerintah segera menyelamatkan petani dan perajin rotan. Ia memprediksi, jika tak ada langkah nyata mulai sekarang, industri rotan akan tinggal cerita.
Guna membangkitkan industri mebel rotan kembali, perajin rotan setahun terakhir ini menggarap pasar dalam negeri. Menurut Andiyanto, Ketua Gerbang Rotan Indonesia (asosiasi yang mewadahi perajin rotan), perajin sudah mulai mengenalkan produk rotan ke sejumlah daerah, termasuk daerah penghasil, seperti Kalimantan dan Sulawesi.
Dari segi nilai, permintaan rotan dalam negeri belum sampai 10 persen luar negeri (kurang dari 100 kontainer per bulan). ”Kami ingin kampanye penggunaan rotan berlanjut. Pemerintah daerah sebenarnya bisa mengawali ini,” ujarnya. (NIT/BAY/NAR)
Pengusaha mebel rotan Cirebon yang menggunakan bahan baku rotan sintetis dan pabrikan bahan baku rotan sintetis/plastik lah yg harus bertanggung jawab atas hancurnya rotan alam Indonesia, karena mereka inilah yang menekan pemerintah utk stop ekspor bahan baku rotan sekalipun mereka sdh tidak menggunakan rotan.
Penghancuran yg dilakukan secara sistimatis bertujuan agar bahan rotan sintetis/plastiknya tidak terganggu oleh rotan alam, pelaku2 ini adalah penghianat bangsa karena selain mematikan sumber kehidupan rakyat miskin petani pengumpul rotan, juga menghancurkan nilai rotan alam republik Indonesia.
Perlu ada gerakan boikot rotan plastik. Karena masuknya rotan plastik akan mematikan sektor rotan Indonesia. Dan CAFTA harus menjadi pemicu sekaligus tantangan ke depan atas keberlanjutan rotan rakyat di Indonesia. Salam