Press Release
Pelimpahan kewenangan pengurusan hutan dan kawasan hutan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah No.3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan khususnya Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan atau KPH (sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.6/Menhut-II/2009) maka selain dua direktorat jenderal di atas, alokasi APBN 2015 sektor kehutanan terbesar melalui skema Dana Alokasi Khusus adalah untuk pembentukan KPH Model yang jumlahnya mencapai 120 KPH model hingga akhir 2015.
Mengaitkan dan membandingkan alokasi anggaran (APBN 2015 bidang Kehutanan) sesuai struktur-fungsi kelembagaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan penanganan persoalan lingkungan hidup dan kehutanan hingga ke tingkat tapak (kebakaran hutan, konflik lingkungan hidup dan sosial serta pemberdayaan masyarakat di sekitar dan di dalam hutan) maka 3 besar ranking alokasi anggaran-belanja negara bidang lingkungan hidup dan kehutanan berada pada direktorat-direktorat jenderal yang memiliki struktur-fungsi hingga ke tingkat tapak yaitu 1) Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem yang memiliki UPT (Unit Pelaksana Teknis) seperti Balai Taman Nasional, BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam), dll; 2) Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan yang memiliki UPT semisal BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai); 3) Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan sebagai Komisi Pelaksana Pembentukan Wilayah KPH.
Secara luas penguasaan wilayah atau teritori kehutanan di tingkat tapak, Balai Taman Nasional yang dikepalai oleh Kepala Balai Taman Nasional —ada 51 taman nasional di seluruh Indonesia yang mencakup luas area sebesar 16.375.253,31 hektar, Departemen Kehutanan 2000—adalah terbesar dibanding dengan penguasaan Daerah Aliran Sungai di bawah kewenangan Balai Pengendalian Daerah Aliran Sungai (BPDAS) —ada 19 BPDAS yang menangani Daerah Aliran Sungai besar di Indonesia, Kemenhut 2009— dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang saat ini jumlahnya baru mencapai 120 KPH Model di seluruh Indonesia.
Alokasi anggaran dan biaya terbesar bidang kehutanan dari APBN 2015 berada di Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem di mana 51 Balai Taman Nasional sebagai ujung tombak atau front line pembangunan kehutanan memiliki wilayah kewenangan pengurusan hutan dan kawasan hutan sangat luas di tingkat tapak yaitu sebesar Rp1.547.011.816.000,-. Dengan catatan, tepatnya alokasi anggaran berdasar luas teritori atau penguasaan kawasan hutan tersebut dalam konteks kelembagaan (struktur dan fungsi) tidak signifikan dengan penyelesaian persoalan terkini dari masalah kehutanan yaitu kebakaran hutan, konflik lingkungan dan kawasan hutan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar dan di dalam hutan.
Perubahan penamaan kementerian dan lembaga sangat erat kaitannya dengan perubahan struktur-fungsi kementerian dan lembaga negara. Struktur-fungsi dari Balai Taman Nasional seharusnya mengikuti perubahan penamaan dan penggabungan dari dua kementerian negara yaitu Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup —saat ini menjadi satu kementerian yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.18 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup, tugas pokok dan fungsi dari Balai Taman Nasional yang di bawah pengaturan Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem tidak mencakup penyelesaian persoalan terkini kehutanan di tingkat tapak yaitu penanganan kebakaran hutan, konflik lingkungan hidup dan sosial dan pemberdayaan masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan hutan. Fungsi penanganan kebakaran hutan berada di bawah Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim dan sementara penyelesaian konflik lingkungan dan sosial serta pemberdayaan masyarakat berada di bawah dan struktur-fungsi Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan.[1]
Adapun temuan pada penelitian yang dilakukan oleh Indonesia Budget Center (IBC) bersama Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) dan Rimbawan Muda Indonesia (RMI) terkait efektifitas pengelolaan anggaran pada konservasi Taman Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, adalah sebagai berikut:
- Penggunaan dana dekon yang khusus untuk penanganan kebakaran yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah tidak jelas dan ada dugaan transaksional. Penarikan kewenangan pada penentuan porsi dana dekon dari tiap Dirjen ke Setjen (2014 masih ditentukan oleh tiap Dirjen, sedangkan pada tahun 2015 dikelola/ditentukan oleh Setjen). Sedangkan untuk penentuan besaran Dana Alokasi Khusus, ada dugaan lebih banyak kepada pendekatan politis melalui Banggar.
- Pengelolaan anggaran tidak mengikuti sebagaimana prinsip pengelolaan anggaran yang baik seperti prinsip “money follow function” sebagaimana yang menjadi prasyarat Penganggaran Berbasis Kinerja. Hal ini disebabkan karena: business process pada perencanaan anggaran tidak berjalan dengan baik, belum ada arahan teknis pengelolaan anggaran yang cukup di internal Kementerian LHK sehingga persepsi antar lintas Dirjen berbeda, masih dalam tahap konsolidasi di masing-masing Dirjen setelah merger Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kementerian Kehutanan. Masalah lainnya adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum memiliki Satuan Biaya Keluaran, sehingga harga satuan yang menjadi standar harga bukan merupakan harga yang terbaik.
- Tumpang tindih kewenangan dan garis koordinasi UPT (KSDA dan Taman Nasional) belum jelas, harus menginduk ke Dirjen PPI atau ke Dirjen Gakum atau ke Dirjen KSDAE. Taman Nasional yang memiliki tugas dan fungsi untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, penyelesaian konflik dan pencegahan kebakaran harus menginduk dan berkoordinasi dengan tiga Dirjen yaitu Dirjen PPI, Ditjen Gakum dan Ditjen KSDAE. Sehingga ini berpengaruh terhadap minimnya pengawasan dari Kementerian kepada UPT.
- Kementerian Kehutanan dan jajaran lembaga sampai dengan tingkat UPT, tidak memberikan akses terhadap pelibatan masyarakat dalam penganggaran, mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi.
Ironisnya pada APBN 2016 yang baru saja ditetapkan pada tanggal 30 Oktober 2015, alokasi anggaran di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih hanya mendapatkan porsi yang sangat sedikit yaitu hanya sebesar Rp. 6,1 triliun atau sekitar 0,81% dari seluruh total anggaran yang ada dalam APBN 2016, jauh sekali dari tawaran masyarakat seperti halnya WALHI pernah menawarkan bahwa alokasi anggaran untuk sektor kehutanan dan konservasi sebesar 15% dari total APBN. Dengan persoalan yang sangat komplek dan tanggung jawab yang besar dengan alokasi ini sangat mempengaruhi terhadap kinerja dan capaian yang ditetapkan. Hanya sebesar Rp. 48,6 ribu untuk setiap 1 ha per tahun. Angka ini tidak sebanding dengan tanggung jawab yang besar yang diemban oleh Kementerian ini. Padahal dari segi pendapatan, sektor kehutanan rata-rata mencapai angka yang signifikan, yaitu sebesar Rp. 3,8 triliun dalam tiga tahun terakhir (2013-2015). Lihat pada lampiran.
Distribusi angggaran di KLHK yang tersebar mulai dari Setjen, Itjen dan beberapa Dirjen tidak sesuai dengan tugas dan fungsinya. Alokasi pada Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem yang merupakan “anak kandung” dari Kementerian Kehutanan – bertanggung jawab penuh terkait urusan konservasi dan perlindungan kawasan secara nasional – mendapatkan porsi yang sedikit. Memang dari segi alokasi anggaran mendapatkan porsi yang besar yaitu Rp. 1,7 triliun, namun jika di-breakdown maka sekitar 60% dialokasikan untuk belanja program yang berkaitan langsung dengan perlindungan konservasi dan kawasan.
Jika dibandingkan dengan porsi anggaran pada Ditjen Gakum dan PPI yang memiliki jatah kue anggaran lebih sedikit dari Ditjen KSDAE, namun biaya pegawai yang ditetapkan untuk kedua Ditjen ini lebih sedikit dan belanja untuk program begitu besar. Ada dugaan, bahwa belanja pegawai yang berada pada Ditjen KSDAE sangat gemuk karena memiliki karyawan sebanyak ±8.300 orang.
Kesimpulan dan Rekomendasi
- Pemerintah belum menjadikan isu Kehutanan dan Konservasi menjadi persoalan prioritas, sehingga dukungan terhadap anggaran masih belum mendapatkan alokasi yang sesuai dengan tanggung jawab dan persoalan yang dihadapi. Pemerintah harus menjadikan sektor kehutanan dan konservasi menjadi isu penting dan mendapatkan dukungan anggaran yang memadai dari APBN maupun dari APBD.
- Pengelolaan Keuangan pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan khususnya pada sector Konservasi pada Taman Nasional belum efektif. Hal ini karena belum menerapkan Sistem Penganggaan Berbasis Kinerja (Performance Based Budget). Pengelolaan anggaran di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus berdasarkan prinsip “money follow function”, menerapkan standar Biaya dan Evaluasi Kinerja.
- Belum ada konsolidasi yang baik di internal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pasca merger. Sehingga masih terjadi miss komunikasi dan garis koordinasi yang tidak jelas. Sehingga kewenangan masih tumpang tindih. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan perlu melakukan akselerasi dan meneguhkan komitmen pegawai di jajarannya baik yang berasal dari Kementerian Lingkungan Hidup maupun dari Kementerian Kehutanan, secara bersama-sama mewujudkan Renstra Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2015-2019.
Sumber : IBC (diolah)
Jakarta, 19 November 2015
Indonesia Budget Center (IBC)
Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK)
Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)
[1] Lihat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.18/MENLHK-II/2015