Adanya keanehan pasar dan rantai perdagangan rotan selaras dengan keanehan kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah di sektor rotan acapkali tidak berdasarkan kondisi lapangan. Dan akibatnya berimplikasi kepada kesimpang-siuran dari alur produksi-distribusi-konsumi.
Anomali tersebut tergambar seperti saat ini dimana rotan budidaya atau alam di tingkat petani menumpuk dengan berbagai jenis, pengumpul di sentra-sentra penghasil rotan kesulitan mendapat pasokan rotan basah tertentu, produsen kerajinan dan mebel berteriak bangkrut, dan eksportir (khususnya di Jawa) tak bisa ekspor, biaya angkut dan pungli semakin tinggi.
“Data-data rotan, baik jenis maupun volumenya harus berdasar pada yang ada di unit-unit usaha rotan. Pangkal masalahnya kebijakan rotan yang baru tidak berdasar pada itu,” jelas Bambang Sukmananto, Direktur Bina Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Hutan, Kementerian Kehutanan, di Jakarta beberapa waktu lalu (17/3).
Pernyataan Bambang tersebut memperkuat fenomena perang media para pelaku usaha rotan. Pengusaha rotan yang tergabung dalam asosiasi semisal ASMINDO (Asosiasi Mebel Indonesia), APRI (Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia), dan AMKRI (Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia) dalam beberapa tahun belakangan selalu merasa tidak diuntungkan dengan kebijakan ekspor rotan. ASMINDO berteriak kepada pemerintah untuk tutup ekspor rotan, sementara APRI menuntut tetap ada pembukaan ekspor rotan dengan memperluas jenis rotan ekspor.
“Kebijakan sekarang kurang memadai bagi kepentingan petani rotan yang selalu dimarginalkan. Petani tidak diuntungkan dibanding pengepul, eksportir, dan pengrajin rotan. Intervensi pemerintah, tingkatkan kapasitas petani,” tutur Bambang menilai kebijakan rotan yang kurang memperhatikan petani rotan.
Selain perlu memperhatikan kapasitas petani, kebijakan rotan pemerintah juga perlu memperhatikan peningkatan nilai tambah rotan. Indonesia sebagai penghasil rotan terbesar dunia seharusnya menjadikan rotan sebagai komoditas unggulan yang bermanfaat besar.
Seperti yang diutarakan Julius Hoesan, Wakil Ketua APRI, di Jakarta (13/4), “Saya pengusaha sekaligus peneliti rotan. Komoditas rotan Indonesia terbesar di dunia, dan banyak jenis. Kalau tidak ada nilai guna akan punah.”
Persaingan Usaha
Terjadinya anomali pasar (transaksi penawaran-permintaan) bukan tanpa sebab. Politik perdagangan rotan di nasional cukup kental dipengaruhi oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Kebijakan rotan yang baru ditengarai menguntungkan kelompok pengusaha rotan tertentu.
“Saat ada anomali harusnya pemerintah turun tangan. Surat keputusan terbaru menteri perdagangan lebih buruk dari sebelumnya. Dan saat ini ada pemeriksaan oleh KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) soal itu,” ungkap Julius mengenai adanya anomali kebijakan rotan.
Selain itu Julius menilai, lebih buruknya Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.36 tahun 2009 tentang Ekspor Rotan dibanding sebelumnya karena beberapa kondisi sektor rotan yang tidak diakomodir dan akan mematikan pedagang kecil. Menurutnya kebijakan menteri perdagangan perlu direvisi kembali.
Julius menegaskan, “Kebijakan ekpsor rotan harus memperluas jenis rotan olahan, ekspor boleh dilakukan di semua wilayah khususnya Jawa, perlu penghapusan wajib pasok sebagai syarat ekspor, dan ada jaminan kepastian investasi.”