Sawah di Ampiang Parak Sulit Air
Sutera, salah satu kecamatan di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Jarak tempuh Padang-Sutera dengan berkendara mobil tak kurang lebih dijangkau 3 jam waktu perjalanan (14/12). Sampai ke tempat tujuan, Ampiang Parak yang letaknya tak jauh dari bibir pantai adalah kawasan rawa-gambut. Terlihat selang-seling tanaman jagung-sawit, kacang panjang-sawit, dan ketela pohon-sawit saat penulis menuju kawasan rawa-gambut yang sedari tahun 1993 sudah diperkenalkan tanaman sawit via proyek transmigrasi pemerintah.
“Kami anak nagari juga ingin memanfaatkan lahan ini. Anak nagari masih butuh lahan, dan kenapa pemerintah mau memberikannya untuk transmigran,” keluh Khatib Busil, pengelola lahan rawa-gambut saat dijumpai penulis di lahan garapannya.
Busil, 60 tahun, menceritakan kawasan yang ia kelola saat ini bersama 40 orang anggota kelompoknya adalah kawasan rawa-gambut yang ditunjuk pemerintah sebagai lahan cadangan perkebunan sawit transmigran yang dilaksanakan pada 1993 di Ampiang Parak. Tahap pertama, pemerintah sudah membangun sekitar 150 ha sawit untuk transmigran asal Jawa.
“Tanah ini tidak pernah dilepaskan adat. Ditelusuri hanya ada yang menyebutkan wali nagari kami pernah menandatangi perjanjian pelepasan. Namun itu hanya cerita, karena sampai sekarang tak ada bukti tertulis,” jelas Busil lebih lanjut.
Dari penuturan Busil, luas kawasan rawa-gambut yang diperuntukkan sawit transmigrasi kira-kira mencapai 300 ha. Karena 150 ha yang telah ditanam sawit oleh transmigran banyak yang dijual kepada anak nagari, beberapa kelompok anak nagari akhir terpancing mengelola lahan cadangan yang rencananya akan dilakukan penanaman sawit tahap kedua oleh program transmigrasi, sekalipun sekarang telah menjadi sawit mandiri milik anak nagari Ampiang Parak.
“Kami tanam sawit, ikut-ikutan. 2003 lalu ada proyek bikin saluran (kanal-red) dan jalan menuju sini. Tapi kami tak tau tujuannya. Anggota kami masing-masing mengelola 2 hektar lahan di gambut sini,” tutur Busil memberikan informasi tambahan kepada penulis.
“Dulu di sini rimbo. Pada tahun 80-an pernah diambil kayu-kayunya oleh orang-orang suruhan. Daerah sini adalah sumber pengairan sawah-sawah di Ampiang Parak. Sekarang sawah mati. Makanya, kami tanam sawit diselingi jagung, sayur, ketela, talas dan coklat. Kami coba-coba,” jelas Busil.
Sebelum mengakhiri pembicaraannya, Busil yang bersama istri, yang mengantarkan rombongan penulis untuk bertemunya di ladang, ia menegaskan kelangkaan air untuk sawah-sawah di Ampiang Parak karena rawa-gambut mulai mengering akibat tanaman sawit, bukan karena perubahan musim atau cuaca. (tJong)