K.P. SHK

UU Desa Menghancurkan Nagari

“Kalau UU Desa ini diberlakukan, ini merugikan Ninik Mamak mulai dari Aceh sampai dengan Jambi,” ungkap salah seorang Ninik Mamak dari 13 Ninik Mamak dari Suku Sikumbang dengan nada tinggi, saat ditemui KpSHK di kediamannya di Nagari Lubuk Gadang Utara, Solok Selatan (22/12/13).

Lokasi hutan nagari yang diapit (baca: dicaplok) Hutan Lindung Batang Hari dan TNKS (Taman Nasional Kerinci Seblat) merupakan wilayah yang diklaim sebagai hutan adat di Solok Selatan oleh masyarakat.

“Jika UU Desa ini diberlakukan Minangkabau akan hancur. Karena Kepala Desa tidak akan berkoordinasi dengan Ninik Mamak,” lanjut Ninik Mamak Si Kumbang.

Di dalam “nagari pemerintahan” ada badan musyawarah dimana di dalamnya duduk duduk ninik mamak, pemangku adat di nagari adat Minang Kabau. Menurut tetua adat Si Kumbang ini, camat sekarang hanya sebagai fasilitator, nagari di bawah kecamatan, nagari terdiri dari beberapa desa. Sebelumnya UU Desa keluar, wali nagari ditunjuk oleh Ninik Mamak, sekarang wali nagari dipilih oleh masyarakat, artinya yang punya uang yang dipilih masyarakat.

Mungkin kegundahan Ninik Mamak ini bisa didengarkan dalam penyusunan Peraturan Pemerintah terkait Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang akhir April nanti sudah final.

“Atas dukungan berbagai pihak, kembali saya dipercaya untuk terlibat dalam proses ini. Saya diminta memberikan perhatian khusus pada PP tentang Desa Adat. Jika ada usulan agar pasal-pasal yang terkandung UU Desa berjalan sebagaimana yang diinginkan, terutama sekali yang terkait dengan pengakuan terhadap desa adat, silahkan segera diusulkan. Saya siap menampung dan memperjuangkannya dalam proses penyusunan” demikian disampaikan R.Yando Zakaria dari RUMAH JAMBON, Yogyakarta (SHKlist, 23/01/14).

Menurut M.Djauhari (Koordinator Nasional KpSHK), sepertinya memang perlu uji pemahaman tentang UU Desa ini ke wilayah-wilayah.  Karena dalam praktiknya di masyarakat UU tidak dibaca pasal per pasal tapi kasus perkasus atau kenyataan sosial. Kalau hanya membahas pasal per pasal memang tugas ahli hukum dan perundang-undangan. Justru kalau tujuannya untuk membuat PP perlu penggalian respon di tingkat lapang atau dimana satu peraturan pelaksanaan akan di terapkan semisal di wilayah yang sistem pemerintahan adatnya kuat semisal Sumatera Barat dan Aceh.

Djauhari mempertanyakan “Apa ada gagasan untuk membenturkan UU Desa ini dengan kenyataan sosial semisal di Sumbar dengan tujuan memperjelas pemahaman masyarakat adat terhadap satu UU yang terkait dengan sistem sosial-politik di masyarakat? Siapa berani membenturkannya?”.

Pasal 1 UU Desa yang dimaksud dengan  Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut Ninik Mamak diatas akibat penyebutan “desa” ini pada saat dana dari pemerintah untuk pembangunan desa jatuhnya hanya kepada Nagari yang besar nilainya sama dengan 1 Desa di tempat lain (yang tidak punya Nagari seperti Jawa dll).

Artinya menurut Ninik Mamak tadi Nagari rugi karena Nagari terdiri dari beberapa desa. Kalau 1 Nagari ada 10 Desa seharusnya Nagari menerima dana 10 untuk dibagi ke10 desa, tapi faktanya Nagari hanya menerima dana untuk 1 desa. Kata beliau “Ini artinya pemerintah menganggap Wilayah 1 Nagari = 1 Desa”.

Yando menyanggah “Berita tentang dana di media massa itu miss leading. Tidak benar unit pembagi keuangan masuk desa itu adalah desa atau disebut dengan nama lain itu.”

Jelasnya “Coba lihat Pasal pasal 72 ayat 2 (dan penjelasannya).” Menurut Yando kalau nagari (sebagai desa adat). Saat ini terdiri dari 10 nagari (yang sejatinya adalah desa dinas atau nagari-nagarian), maka nagari sebagai desa adat itu akan menerima keuangan kelipatan 10/sebanyak desa yg menjadi bagiannya (dengan saran desa atau nagarian-nagarian ini dilikuidasi).

Yando menambahkan “Keuangan desa akan ditentukan oleh jumlah penduduk, luas wilayah, tingkat kesejahteraan, dan tingkat kesulitan wilayah. Bukan atas dasar unit berapa desa / desa adat”.

Sampai saat ini AMAN belum mengeluarkan sikap resmi terhadap UU Desa ini. Dinamika di AMAN sejak UU Desa ini disahkan memperlihatkan bahwa ada beberapa sudut untuk memaknai UU Desa ini khususnya terkait Desa Adat.

Menurut Rukka Sombolinggi (Deputi II Sekjen AMAN untuk urusan Advokasi Kebijakan, Hukum dan Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), hingga saat ini beragam respons AMAN.

Posisi pertama yaitu menolak.  Karena menganggap UU Desa  justru sama sekali tidak menghormati hak-hak masyarakat adat secara utuh. Tidak berperspektif masyarakat adat bahkan dicurigai sama seperti UU Desa lama yang cenderung menyeragamkan seluruh desa adat di Indonesia. Tidak ada penghormatan terhadap kebergaman satuan-satuan socio cultural masyarakat adat yang menjadi basis kesatuan masyarakat adat.

Alih-alih, justru UU Desa ini malah mensyaratkan jumlah penduduk untuk pembentukan desa. Tidak ada upaya negara yang bersungguh-sungguh untuk menggunakan pendekatan pemetaan wilayah adat dalam pembentukan desa. Ini bisa menjadi ancaman untuk memecah-belah wilayah adat (yang penduduknya memenuhi syarat untuk beberapa desa) dan menelan komunitas masyarakat adat (yang jumlahnya lebih kecil dari jumlah yang disyaratkan oleh UU ini).

Bahwa UU Desa ini bisa mengaburkan substansi perjuangan masyarakat adat atas hak-hak yang utuh menjadi sekedar Desa Adat. Kelompok ini mengusulkan supaya AMAN melakukan Judicial Review terhadap Undang-Undang Desa ini.

Tindakan preventif harus diambil untuk memastikan bahwa pelaksanaan UU Desa ini tidak merusak integritas socio-kultural masyarakat adat. Bahwa harus direbut dipelaksanaan untuk memastikan bahwa pembentukan/penggabungan Desa bisa diarahkan untuk menghormati keutuhan wilayah-wilayah adat dan menggunakan pendekatan pemetaan partisipatif wilayah adat dalam pembentukan/penggabungan desa serta dalam perencanaan pembangunan desa berdasakan rencana tata ruang dalam wilayah adat.

Peluang yang mesti digunakan: berpandangan bahwa UU ini bisa digunakan untuk memperkuat substansi RUUPPHMA.   Dan bahwa UU Desa bisa dipakai sebagai amunisi tambahan untuk mendorong perda pengakuan masyarakat adat di daerah-daerah. Posisi ini tetap ditolak dengan alasan bahwa UUnya sudah menyeragamkan syarat jumlah penduduk. Posisi berikutnya menurut AMAN adalah diam, menunggu atau tidak bersikap.

Seharusnya Ninik Mamak  diajak “duduak basamo baliak ka sabana nagari” dalam penyusunan Undang – Undang Desa ini, sehingga UU ini tidak dianggap menghancurkan Nagari.

Pantas saja Ivanovich Agusta (Sosiolog Pedesaan IPB) menulis di Kompas (25/01/14), alih-alih mendukung desentralisasi, Undang-Undang Desa justru melegitimasi pemerintah pusat langsung mendanai program pembangunannya ke desa (Pasal 72). Pola yang dibangun undang-undang ini adalah mempercepat pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya di atas landasan kestabilan politik. Dikhawatirkan pola serupa periode 1970-an hingga 1980-an ini menghasilkan pedesaan otoriter birokratik pembangunan versi baru.

Pintu Rumah Gadang selalu terbuka untuk bermusyawarah dengan Ninik Mamak. (Inal)

Leave a Reply

Lihat post lainnya