Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat menyampaikan keynote speech secara virtual dalam kegiatan B20-G20 Dialogue: Energy, Sustainability, and Climate Task Force, menyatakan bahwa Indonesia telah memilih transisi energi sebagai salah satu prioritas dalam Presidensi G20, dan memastikan bahwa transisi energi dapat berjalan dengan adil, teratur, dan terjangkau.
Terkait dengan transisi energi, Indonesia telah berkomitmen untuk dapat mencapai target Net Zero Emission pada tahun 2060. Melalui kepemimpinan pada G20 tahun 2022, Indonesia berperan dalam merumuskan Bali Common Principles in Accelerating Clean Energy Transitions (COMPACT) yang akan digunakan sebagai pendoman atau prinsip untuk mempromosikan dan mendukung implementasi transisi energi.
Selanjutnya Mentri Hartarto juga menyampaikan bahwa transisi ke sumber energi ramah lingkungan mampu menciptakan jutaan pekerjaan, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan mendorong transfer teknologi sehingga membangun keterampilan tenaga kerja terutama di negara berkembang.
Dalam rangka mengakselerasi transisi energi, pemerintah terus mendorong semangat pemanfaatan energi terbarukan (renewable energy) yang salah satu caranya adalah memperbanyak pemakaian limbah biomassa sebagai campuran bahan bakar (co-firing) pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Metode ini diharapkan mampu mengakselerasi transisi energi di Indonesia.
Apa itu teknologi ‘co-firing? co-firing merupakan teknik substitusi PLTU batubara dengan bahan biomassa pada rasio tertentu yang biasa dilakukan dengan membakar secara bersamaan kedua bahan tersebut. Sumber biomassa yang digunakan bisa beragam seperti pelet kayu, serbuk gergaji, cangkang kelapa sawit, hingga sampah atau limbah.
Menurut Ridwan Djamaluddin (Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) seperti dilansir dalam situs Direktorat Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi bahwa pemanfaatan teknologi co-firing ini menegaskan komitmen Indonesia untuk mempercepat target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060, apalagi selama ini PLTU merupakan salah satu penyumbang emisi CO2 terbesar. [1]
Teknologi co-firing memanfaatkan biomassa sebagai substitusi parsial batubara untuk dibakar di boiler pembangkit listrik. Biomassa tersebut dapat diperoleh dari beragaram bahan baku, seperti limbah hutan, perkebunan, atau pertanian yang dapat mengurangi emisi metana yang disebabkan oleh degradasi limbah biomassa itu sendiri.
Di sisi lain, penerapan teknologi co-firing ini ternyata memiliki dampak yang sangat serius bagi kehidupan masyarakat terutama bagi mereka yang tinggal atau berada di sekitar PLTU yang menggunakan teknologi co-firing. Koalisi untuk Energi Bersih (Kutub) Jawa Barat menyatakan bahwa co-firing biomassa, merupakan akal-akalan untuk memperpanjang Umur PLTU. Kutub Jawa Barat menolak teknologi co-firing karena dianggap solusi palsu untuk menurunkan emisi, dan hanya akal-akalan untuk memperpanjang usia PLTU. Hal tersebut disampaikan Amalya Reza Oktaviani dari Trend Asia pada saat pemaparan persoalan co-firing biomassa yang dinilai akan menggunakan Hutan Tanaman Energi (HTE) dan menimbulkan deforestasi, di Hotel Tebu, Bandung, Rabu (15/3/2023).[2]
Mengapa penerapan teknologi tersebut akal-akalan? Amalya lebih jauh menjelaskan bahwa co-firing yang merupakanproses substitusi batu bara sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan produk biomassa seperti pelet kayu, serbuk gergaji atau serbuk kayu, Refuse Derived Fuel (RDF), sekam padi, cangkang sawit, dan lainnya. Ternyata, substitusi bahan bakar dengan biomassa pada teknologi co-firing hanya 10%, sisanya, 90% menggunakan energi utama yaitu batu bara.
Selain itu, penerapan teknologi “co-firing” memiliki dampak serius bagi masyarakat sekitar area PLTU. Amalya saat menjadi pemantik dalam acara FGD yang bertema “Urgensi transisi energy berkeadilan untuk pencegahan kerusakan sumber daya alam yang diselenggarakan di IPB” dalam paparannya menagaskan bahwa teknologi tersebut bedampak pada berbagai bidang kehidupan seperti kesehatan, pertanian, kelautan / perikanan, menghasilkan limbah, dan dapat meningkatkan deforestasi. Dalam bidang kesehatan misalnya, hasil riset Walhi yang dilakukan di desa-desa terdekat dengan PLTU 1 Indramayu dan PLTU Sukabumi menunjukkan bahwa setelah kegiatan pembangkitan listrik efektif berjalan, gangguan kesehatan masyarakat, seperti infeksi saluran pernapasan (Ispa), sakit mata, serta gatal-gatal meningkat.
Di bidang pertanian, Amalya juga menyampaikan bahwa teknologi co-firing berdampak terhadap pertanian, antara lain menurunnya produktivitas pertanian contohnya hasil panen padi di Indramayu, yang sebelumnya hasil panen padi rata-rata 9 ton turun menjadi 4 ton / Ha. Demikian juga dengan sayur-sayuran yang cenderung sulit tumbuh. Sedangkan di bidang perikanan/kelautan, kini masyarakat nelayan semakin sulit untuk bisa menangkap rebon (udang kecil).
Belum lagi polusi yang dihasilkan akibat penerapan teknologi co-firing, masyarakat nelayan di sekitar PLTU Indramayu dan PLTU Pelabuhan Ratu menyatakan bahwa udara kini menjadi semakin buruk, warga masyarakat sering kali melihat abu pekat hitam yang keluar dari cerobong PLTU setelah co-firing.
Dengan adanya fakta-fakta tersebut di atas, bisakah transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan untuk mencegah kerusakan sumber daya alam diwujudkan? Sementara transisi energi yang bersih saja belum bisa diterapkan, jadi bagaimana mungkin transisi energi berkeadilan dan berkelanjutan bisa diwujudkan? Ini menjadi tantangan bersama bagi seluruh elemen (pemangku kepentingan), yaitu pemerintah, perusahaan, akademisi, masyarakat, serta organisasi masyarakat sipil (OMS) untuk bisa mewujudkan transisi energy berkeadilan dan berkelanjutan untuk mencegah kerusakan sumber daya alam.
Penulis: Asyikin (KM)
Sumber:
Bahan presentasi (PPT)- Urgensi transisi energy berkeadilan untuk pencegahan kerusakan sumber daya alam
[1] https://ebtke.esdm.go.id/post/2022/08/30/3238/akselerasi.transisi.energi.co-firing.biomassa.di.pltu.jadi.teknologi.pilihan
[2] https://bandungbergerak.id/article/detail/15213/co-firing-biomassa-akal-akalan-memperpanjang-umur-pltu
Penulis: Asyikin
Editor: Alma