Dilema Mitigasi Perubahan Iklim
Departemen Kehutanan membutuhkan payung hukum untuk mencabut ijin-ijin usaha pembukaan hutan tanaman yang terlanjur merusak hutan gambut. Hal ini disampaikan Darori, Direktur Jenderal PHKA Departemen Kehutanan di Jakarta seperti dilansir Kompas (25/11).
Pernyataan ini sebenarnya cukup menyedihkan. Departemen Kehutanan sebagai departemen teknis seharusnya lebih mengetahui dampak pembukaan hutan gambut bagi pelepasan emisi karbon. Pertimbangan utama sebelum adanya pemberian ijin, perlu ada pengecekan secara seksama ke areal-areal yang diperuntukkan hutan tanaman terutama di hutan rawa gambut.
Wetland Internasional pada kesempatan yang sama juga mengingatkan, seperti jauh hari sebelum pergunjingan perubahan iklim dan rawa gambut meruncing hingga kepada persiapan nasional untuk COP 15- Copenhagen pada Desember nanti, hasil amatan dan studi Wetland Internasional (2007) mengindikasikan Indonesia adalah emitor ke-3 dari kebaran lahan dan hutan, utamanya dari kebakaran gambut di Sumatera dan Kalimantan.
Tutup Kanal Dorong Anaerob Gambut
Keterlanjuran Presiden menyebutkan angka 26% untuk penurunan emisi karbon Indonesia di kancah G20 pada Maret lalu menimbulkan tanda tanya. Bahkan banyak pihak kurang percaya Indonesia mampu menurunkan sebesar angka tersebut hingga 2020. Alasannya, salah satunya secara bersamaan muncul Permentan (peraturan menteri pertanian) No.14 tentang Perluasan Kebun Sawit di rawa gambut sebanyak 6,7 juta hektar.
Terlepas Indonesia tidak punya kewajiban menurunkan emisi karbon selayaknya negara-negara maju dalam perundingan perubahan iklim di bawah PBB (perserikatan bangsa-bangsa), pernyataan tersebut memunculkan spekulasi tindakan pengurangan emisi karbon di hutan gambut yang sudah terbangun kanal-kanal pengeringan gambut.
Wetland menyebutkan, untuk mencapai penurun 26% emisi karbon Indonesia hingga 2020, pemerintah perlu melakukan penutupan kanal-kanal di wilayah-wilayah yang hutan gambutnya sudah dibuka semisal Riau dan Kalimantan Tengah (Kompas 25/11).
Usaha rehabilitasi dan mengembalikan kepada kondisi awal fungsi rawa gambut sebagai reservoir air melalui penutupan kanal-kanal pengeringan gambut secara ekologi ditengarai akan menimbulkan dampak lain. Salah satunya akan menyebablan kondisi semakin berkurangnya densitas oksigen dalam air gambut hingga pada kondisi anaerob (tanpa oksigen sama sekali). Dan di wilayah-wilayah di rawa gambut yang sudah terlanjur untuk sawit, kondisi anaerob gambut semakin cepat, karena material racun dari pestisida dan pupuk yang digunakan untuk pertumbuhan tanaman sawit.
Dalam kondisi air gambut anaerob tersebut tidak memungkin biota air gambut berlangsung hidup, secara drastis akan berdampak kepada keberlangsungan hidup satwa liar dan dilindungi yang berada di kawasan tersebut.
Menhut Baru, Peraturan baru
Saat ini dalam masa 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu II. Merespon angka 26% pengurangan emisi karbon dan kesulitan Dephut menarik kembali ijin-ijin operasi hutan tanaman di hutan rawa gambut, ditengarai Menteri Kehutanan yang belum satu bulan menjabat, Zulkifli Hasan, sudah berencana mengeluarkan peraturan baru tentang konservasi gambut yang kedalamannya lebih dari 3 meter. Ini memperkuat asumsi umum publik di Indonesia, ganti pejabat ganti peraturan.
Pembukaan gambut untuk hutan tanaman dan perkebunan sawit baik di gambut dengan kedalaman 30 cm akan berdampak kepada peningkatan pelepasan emisi karbon, yaitu 160 ton/ha/tahun.
Untuk mengatasi ijin-ijin pembukaan hutan gambut untuk hutan tanaman yang tidak mungkin secara cepat ditarik atau terlanjur diberikan oleh Departemen Kehutanan, pemerintah perlu memberikan arahan kepada perusahaan untuk bertanggung jawab secara lingkungan. Dalam syarat memperoleh kelayakan usaha bagi perusahaan kehutanan dan perkebunan agar tidak merusak lingkungan melalui analisis dampak lingkungan (amdal) yang kewenangannya berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup, sudah selayaknya ada peraturan lintas departemen dan kementerian yang menegakkan kepentingan lingkungan dan sosial.