Kebakaran hutan berbeda dengan siklus haid. Siklus haid adalah proses alami yang memang harus terjadi secara berkala dan bermanfaat bagi stabilisasi kesehatan. Sementara, kebakaran hutan bukanlah sebuah siklus alami yang mesti terjadi rutin. Alih-alih memberi manfaat, kebakaran hutan yang kemudian diikuti bencana kabut asap justru berakibat buruk terhadap berbagai aspek. Mulai dari kerusakan lingkungan hingga kesehatan manusia.
Kurang lebih selama dua dekade terakhir, perkara kebakaran hutan (dan lahan) di Indonesia menjadi persoalan yang tak kunjung terselesaikan. Selalu berulang dan terus membesar. Upaya penanggulangan hanya berputar-putar pada cara teknis memadamkan api. Seolah-olah, dua dekade menghadapi kebakaran hutan berlalu tanpa melahirkan pembelajaran berarti.
Akibatnya, kabut asap menjadi bencana tahunan. Tahun ini ini sebanyak diperkirakan 25,6 juta jiwa terpapar asap. Kurang lebih 22,6 juta jiwa di Sumatera dan 3 juta jiwa di Kalimantan. Belum termasuk penduduk negeri tetangga seperti Singapura. Di propinsi Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan, bandara ditutup dan sekolah diliburkan selama musim kabut asap pekat.
Direktur Bina Perhutanan Sosial, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wiratno, menyebutkan bahwa 80% areal kebakaran berada di luar kawasan hutan. Sejumlah temuan selama ini, termasuk citra landsat keluaran NOAA tahun 2015, menguatkan pernyataan tersebut. Kebakaran hutan dan lahan terjadi skala besar terjadi di areal konsesi perusahaan. Baik perusahaan sawit maupun perusahaan pengelola hutan.
Di sisi lain, ada sejumlah masyarakat adat di Indonesia yang menerapkan pengendalian kebakaran hutan dengan pengetahuan tradisional tapi terbukti efektif. Sistem hutan kerakyatan terbukti mampu menjaga hutan dari kebakaran. Sayangnya, keberhasilan ini sering tak dianggap.
Dalam pandangan Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan mesti melampaui hal-hal teknis. Penanggulangan kebakaran hutan mesti dimulai dari merombak penataan wilayah kehutanan. Baik dalam hal tata kuasa maupun tata kelola hutan. Penataan wilayah kehutanan mesti memberi ruang bagi perluasan sistem hutan kerakyatan. Membuka sebesar mungkin ruang keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Pada gilirannya akan memberi kontribusi pada pencegahan kebakaran hutan.
Selain itu, tindakan konkrit perlu dilakukan melalui penegakan hukum terhadap pelaku kebakaran hutan yang telah terjadi. Perusahaan-perusahaan yang terbukti membakar lahan atau membiarkan kebakaran terjadi di arealnya, mesti dicabut izinnya. Pemilik perusahaan juga mesti diganjar hukuman.
Perombakan tata kuasa dan tata kelola kehutanan menjadi prasyarat penting untuk memutus siklus tahunan kebakaran hutan di Indonesia. Sebab, pada dasarnya siklus kebakaran hutan bukan ulah alam. Semata-mata kegagalan pengelolaan. (Syamar)