Otonomi adalah jawaban pemajuan dan kemandirian daerah. Di awal reformasi, otonomi daerah bak ‘kemerdekaan kecil’ bagi daerah untuk mengatur diri dan sumberdaya alamnya. Namun belakangan, kemerdekaan kecil tersebut menjadi bumerang yang memperuncing konflik pusat-daerah.
Bupati dan gubernur sebagai pemimpin pemerintahan daerah di tingkat kabupaten dan propinsi berkarakter ‘raja kecil’. Bupati memiliki kewenangan tak luas namun tak terbatas. Ijin penebangan kayu keluar begitu saja sehingga dalam 3 tahun setelah otonomi, Pusat (Departemen Kehutanan) disibukkan untuk menarik kembali kewenangan pengeluaran IPK dan melakukan penertiban IPK-IPK bermasalah yang dikeluarkan bupati.
Begitupun di sektor kebun (utamanya HGU sawit), ijin prinsip begitu gampangnya lepas dari tangan bupati ke tangan-tangan perusahaan yang tak taat aturan, belum ada HGU (Hak Guna Usaha) sudah menjadi tanaman sawit siap produksi. 3 juta hektar hutan di Kalimantan hilang kayunya untuk perkebunan sawit, sementara yang dibangun sawit hanya 10% dari luas yang dicadangkan.
Di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah perkebunan sawit adalah jalan emas memajukan daerah yang merusak hutan masyarakat dan lingkungan. Ini terbukti kasus-kasus besar penyerobotam lahan masyarakat (adat) dan kasus-kasus kekerasan kemanusiaan masih berlanjut di dua propinsi ini. Kasus Semunying Jaya (wilayah perbatasan Malaysia-Indonesia) dan Kasus Manis Mata dan lain-lain adalah sengketa tiada akhir dari pembangunan sawit yang menyerobot lahan masyarakat (adat).
Pertumbuhan Ekonomi Ilegal
Beberapa waktu lalu, Propinsi Kalimantan Tengah menggelar satu acara tentang Tata Ruang Kalteng. Kalimantan Tengah membuat usulan 56% wilayah Kalteng adalah hutan dan sisanya non-kawasan hutan. Usulan ini ditolak Pusat (Departemen Kehutanan) mengenai substansi kehutanannya. Pusat melalui Tim Terpadu Tata Ruang Kalteng menyebutkan wilayah Kalteng 82% adalah kawasan hutan dan 12%-nya non-kawasan hutan.
Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah dalam paparan di acara yang turut mengundang pemkab dan propinsi lainnya menolak temuan Tim Terpadu. Ketentuan hasil Tim Terpadu tidak mengakomodir usulan Pemprov Kalteng. Dan akhirnya, karena tidak ada kebijakan (aturan) tentang Tata Ruang Kalteng saat ini, maka yang menjadi acuan kembali menurut aturan sebelumnya yaitu tata guna hutan kesepakatan (TGHK) dimana untuk wilayah Kalteng, 91% adalah kawasan hutan.
Sementara dalam laporannya, Kalimantan Tengah termasuk propinsi yang pertumbuhan ekonominya di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional saat ini, yaitu 6,16%. Hal ini seperti yang disampaikan Profesor Emil Salim yang hadir dalam acara tersebut dan mengusulkan pembangunan di Kalteng perlu mendasarkan kepada Kalteng sebagai pusat Hutan Dataran Rendah (torpical lowland forest) yang kaya akan sumberdaya hayati (biodiversity). Pemda Kalimantan Tengah diharapkan melakukan forest enrichment bukan sebaliknya.
Dengan nilai pertumbuhan ekonomi yang jauh di atas rata-rata nasional, Propinsi Kalteng berindikasi mengalami pembangunan daerah yang sangat baik dan maju dibanding propinsi lainnya. Sudah menjadi rahasia umum perluasan perkebunan sawit dan pertambangan batu bara di Kalteng menjadi trend pembangunan berorientasi pertumbuhan ekonomi daerah. Berjalannya pembangunan daerah di atas konflik tata ruang (bahkan konflik penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam), pertumbuhan ekonomi dapat dianggap melalui jalan ilegal.