K.P. SHK

Tarik Kalpataru Hutan Buluhcina

Timpakan Sanksi bagi Ninik Mamak

Hutan Adat Buluhcina yang pada tahun ini telah membawa pemangku adat Negeri Enam Tanjung mendapat Kalpataru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebulan sebelum masa pencontrengan Pemilu Presiden 2009 tersandung pengrusakan. Seperti dilansir Harian Kompas (14/7), hutan Buluhcina dibelah untuk pembangunan jalan. Ribuan batang pohon hutan Buluhcina ditebangi atas ijin ninik mamak, walau mendapat tentangan keras dari warga masyarakat adat Negeri Enam Tanjung.

Keputusan adat yang melibatkan pemangku adat Negeri Enam Tanjung di Kabupaten Kampar tersebut sepertinya masih feudalistik. Bukti adanya keberatan warga adat atas keputusan adat tentang penyerahan sebagian lahan hutan Buluhcina yang merupakan lahan cadangan desa kepada Pemerintah Propinsi Riau adalah keputusan sepihak dari pemangku adat Negeri Enam Tanjung. Dan ini memperkuat tidak berjalannya sistem hukum adat setempat, terutama dalam pengambilan keputusan adat yang ditengarai (dipahami) umum sebagai sistem politik yang egaliter (musyawarah untuk mufakat).

Konsep pembangunan berkelanjutan yang sering didengungkan dan menjadi dasar kriteria pemberian atau penghargaan dalam penyelamatan lingkungan hidup, semisal satya lencana pembangunan, kalpataru, dan lain-lainnya adalah “membangun tanpa merusak”. Saat hutan Buluhcina sebagai hutan adat yang mendapat penghargaan Kalpataru dari Presiden Republik Indonesia pada masa yang tidak jauh berselang dengan adanya kerusakan atas hutan Buluhcina, Pemerintah Pusat dalam hal ini kementerian lingkungan hidup harus mencabut kembali penghargaan tersebut dari tangan penerimanya.

Merujuk kepada Undang-Undang No.41 tahun 1999, ranah penyalahgunaan peruntukan kawasan ini hendaknya menjadi wilayah hukum Departemen Kehutanan. Dalam undang-undang kehutanan disebutkan hutan adat adalah hutan negara yang berada di wilayah hukum adat tertentu. Hingga kini belum satu pihak pun menerangkan ada pelepasan kawasan hutan Buluhcina untuk pembangunan jalan.

Kejadian pemberian ijin secara adat (sepihak) harus menjadi perhatian penegakan hukum sesuai aturan-perundangan. Dalam kasus hutan Buluhcina ada pelanggaran dan kemungkinan (kejahatan pidana) bila penebangan hutan tanpa ijin negara yang dalam UU No.41 diatur sebagai berikut:

* Pasal 50 Ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 menyebutkan, “setiap orang dilarang: menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang”;

* Pasal 50 Ayat (3) huruf f UUK menyebutkan, “setiap orang dilarang: menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan yang diambil atau dipungut secara tidak sah”;

* Pasal 50 Ayat (3) huruf h UUK menyebutkan: “setiap orang dilarang: mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan”.

Dalam kasus hutan Buluhcina yang mendapat Kalpataru pada tahun ini hendaknya Departemen Kehutanan bersama Kementerian Lingkungan Hidup segara melakukan tindakan “check and balances” dan memberikan tindakan hukum bagi para pelaku kerusakan hutan Buluhcina. (tjong)

One thought on “Tarik Kalpataru Hutan Buluhcina

  1. saya sangat setuju kalau penghargaan atau piagam yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada masyarakat buluh cina diambil lagi,, karena sudah menyalagunakan apa yang telah diberikan oleh pemerinta pusat.,. dan saya berharap kepada pemerintah pusat tolong ditindaklanjuti masalah penjualan hutan ulayat yang ada didesa wisata buluh cina.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Lihat post lainnya