Raffles (1826) membawa tumbuhan jenis palma (sekarang disebut tanaman sawit) dari hutan pedalaman Afrika. Jenis palma liar yang kini mempengaruhi ekonomi 5000-an lebih petani di Indonesia ini sebelum ditanam sebagai tanaman koleksi Kebun Raya Bogor, sudah berkembang menjadi tanaman budidaya perkebunan di Sumatera Utara oleh orang-orang Belgia (1811). Bahkan di masa Republik Indonesia Serikat (1950-an), sektor perkebunan sawit menjadi andalan Sumatera Tengah sebagai politik ekonomi berdikari.
Momok Perkebunan Sawit
Lepas dari catatan sejarah masa silam yang sedikit mengharumkan Sumatera tentang ekonomi berdikari tersebut, sejarah baru bercerita lain, pembukaan besar-besaran perkebunan sawit yang berindikasi kepada konversi kawasan hutan besar-besaran menyebabkan kebakaran terdahsyat di 1997 dengan laju deforestasi mencapai 3,8 juta ha/tahun. Dan tidak dapat dipkungkiri ada hampir 8 juta ha kebun sawit dalam kondisi produktif dengan target kapasitas terpasang mencapai 14 juta ha di dua wilayah besar yaitu Sumatera dan Kalimantan (6 juta ha diantaranya berada di ekosistem rawa gambut).
Kekhawatiran meluasnya konversi hutan menjadi perkebunan sawit, sudah lama dilontarkan berbagai pihak. Tanaman sawit yang rakus air, pembangunan pengairan (kanal) di lokasi-lokasi hutan gambut, penggurunan kawasan dan penggunaan pestisida-herbisida serta zat unorganik beracun lainnya telah pula menambah momok bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat di sekitarnya dan lingkungan hidup.
Di Riau sempat diberitakan gajah mati karena memakan tanaman sawit. Di Kalimantan Tengah, buruh semprot sawit sering keracunan pestisida. Dan banjir rutin di jalan utama yang menghubungkan beberapa kabupaten di daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Malaysia, karena wilayahnya tiada berhutan lagi. Semua contoh-contoh kejadian ini dampak meluasnya perkebunan sawit di beberapa wilayah.
Bahkan adanya dorongan minyak sawit sebagai salah satu BBN (bahan bakar nabati) terutama sebagai dampak energi alternatif bukan fosil (salah satunya komitmen Uni Eropa untuk memakai BBN dalam kebijakan energinya), juga menyuburkan investasi perkebunan sawit di Indonesia walau saat ini World Bank menghentikan sementara (moratorium) pinjaman atau kredit untuk sektor perkebunan di Indonesia. Dari 22,73 juta juta ha kawasan hutan yang dikonversi (Hutan Produksi Konversi) untuk non kehutanan, 10,74 juta ha untuk perkebunan sawit (Dephut, 2005).
Hutan Tanaman Sawit
Wahyudi Wardoyo (Litbang Departemen Kehutanan) dalam sebuah kesempatan menjelang UNFCCC Bali (2007) menyebutkan, salah satu bentuk pengelolaan kawasan hutan yang akan mendapat kompensasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam KTT Perubahan Iklim PBB via skema REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) adalah (HPK) Hutan Produksi Konversi untuk perkebunan sawit.
Sebelum adanya pernyataan tersebut, desas-desus sektor perkebunan sawit termasuk usaha kehutanan (baca: sawit komoditas kehutanan) bergulir di Indonesia tidak lama setelah Malaysia mendeklarasikan sawit termasuk tanaman budidaya kehutanan Negeri Jiran. Bertepatan dengan itu, produksi CPO (Crude Palm Oil) Indonesia mengalahkan Malaysia (walau yang mengenyam peringkat ini perusahaan sawit asal Malaysia, karena banyak perusahaan perkebunan sawit asal Malaysia yang beroperasi di Indonesia).
Kementerian Kehutanan dibawah Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II akan segera mengeluarkan Peraturan Menteri tentang perkebunan sawit termasuk areal kehutanan. Langkah ini dapat sejalan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintan No.10 tahun 2010 tentang Tata Perubahan Fungsi dan Peruntukkan Kawasan hutan yang didalamnya mengatur ‘tukar-guling’ kawasan hutan dengan non-hutan (yang sudah dilepaskan dari kawasan hutan) atas kepentingan negara.
Suatu keniscayaan politik kebijakan kehutanan akan merengkuh perkebunan sawit dalam pangkuan otoritas penguasa 70% daratan Indonesia, Kementerian Kehutanan. Tak ayal perkebunan sawit dengan dalih pendekatan keilmuan dan hukum akan menjadi Hutan Tanaman Sawit.