Balaikota Bogor, 10 November 2012.
Penulis sejarah Pahlawan indonesia yang bukan indonesia ini adalah Peter Carey yang saat itu tengah bersiap menggarap tesisnya usai pulang dari Universitas Cornell, AS, tentang Revolusi Prancis di Trinity College, Oxford, justru disarankan Profesor Richard Charles Cobb yang khatam sejarah Revolusi Prancis, untuk mendalami soal Perang Jawa.
Sumber lain menyebutkan Peter Carey langsung datang ke Indonesia pertama kalinya pada 1970 di Solo, dan menikahi gadis pribumi dari Surakarta pada 1972. Sempat menetap di Yogyakarta untuk meneliti sejarah dari sumbernya langsung, sang penulis buku yang lahir di Irlandia 1948 ini, kemudian menulisnya dalam kurun waktu yang panjang, yaitu sekitar 40 tahun.
Pertemuan saya dengan penulis sejarah Pangeran Diponeogoro adalah dalam Seminar Sejarah Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro, yang menghadirkan Dr. Peter Carey (Prof.Em. ; Oxford University-UK), yang diselenggarakan oleh Satya Citra Indonesia dan Petisi Raden Saleh di Balaikota Bogor, Sabtu 10 November 2012.
Peter Carey, dalam tulisan seminarnya menyebutkan tertarik mengkaji dampak Revolusi Perancis di Tanah Jawa selama pemerintahan Napoleon yang bukan Perancis. Awalnya Peter Carey membaca Sejarah Umum Indonesia (“Geschiedenis van Indonesie”, Bandung: Van Hoeve, 1949) di sebuah perpustakaan terkenal Olin Library di Universitas Cornell, Amerika Serikat.
Akunya ada kontak bathin saat ia melihat gambar Pangeran Jawa Sejati, Pangeran Diponegoro, sang pemimpin lima tahun pertempuran melawan penjajah Belanda (1825-1830). “Siapakah tokoh misterius penunnggang kuda yang berjalan di depan memimpin pasukan melawan Belanda?” tanyanya saat itu, yang kini menjadi salah-satu Pahlawan Nasional terkemuka.
Selama 40 tahun Peter Carey mendalami sosok Pangeran Diponegoro, pada 2007 tulisannya pertama berjudul “Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the Endof an Old Order in Java, 1785-1855” yang diterbitkan KITLV (Lembaga Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia), di Leiden-Inggris. Kemudian pada Maret 2012 terbit edisi dalam Bahasa Indonesia “Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855” yang diterbitkan Gramedia.
Menurutnya, Jawa semasa Pangeran Diponegoro hidup (abad 18-19), merupakan gambaran yang tepat untuk menggambarkan suatu arus baru bagi dunia menuju ke zaman modern ini. Masa itu yang diawali dengan Revolusi Perancis, revolusi yang terjadi selama Pangeran Diponegoro hidup, revolusi kembar, revolusi industri dan politik, yang merobek rezim lama di eropa dan asia. Menyapu habis Jawa dengan kedatangan Daendels 1808.
Revolusi inilah yang mengubah Jawa menjadi salah satu daerah jajahan paling menguntungkan di dunia. Hanya dalam 40 tahun setelah akhir perang Jawa, Belanda meraup untung sekitar 100 milyar dolar Amerika (dalam kurs sekarang) dari hasil sistem Tanam Paksa (1830-1870).
Keserakahan dan kekejaman Tanam Paksa ini memicu pecahnya Perang Jawa, dimana kekuatan kembar Nasionalisme Jawa dan Islam berpadu di bawah panji Perang Suci Pangeran Diponegoro.
Seminar ini juga dihadiri Keluarga Pangeran Diponegoro dari generasi kelima dan ketujuh. Inilah hadiah hari Pahlawan tahun ini kepada warga Bogor.
Satu pertanyaan yang urung saya utarakan kepada Peter Carey dan Keluarga Pangeran Diponegoro, apakah Pangeran Diponegoro dan Para Pahlawan Nasional kita akan menangis terharu dalam kuburnya jika mereka tahu bahwa negara ini sudah merdeka tahun 45? Atau akan marah dan bangkit saat diberitahu bahwa penjajahan dan pola tanam paksa di tanah nusantara ini masih berlangsung sampai hari ini?…
Bahwa tanah-tanah rakyat, sumber-sumber kehidupan rakyat berupa hutan, air, tanah dari mentawai sampai merauke, dari Sumatera sampai Papua, sampai hari ini dikuasai oleh penjajah yang datang justru dari bangsa sendiri. Penjajah yang menjelma sebagai grup-grup perusahaan perkebunan besar dan tambang yang bekerjasama dengan cukon-cukong kayu internasional membonceng atas nama proyek pembangunan merampas tanah-tanah rakyat pribumi di Merauke, merampas hutan sebagai sumber kehidupan rakyat, atas nama food & energy.
(inal)