Rawa gambut sebagai areal padang gembala dan pertanian sonor (sistem bertani khas di rawa gambut) di Sumatera Selatan sudah lama dikenal masyarakat setempat. Kondisi alam rawa gambut yang sering disebut kawasan sulit dibangun karena akan menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan, hanya memungkinkan masyarakat menjadikannya sebagai padang gembala kerbau dan sapi, dan pertanian musiman saat kemarau panjang. Dan sebagian lagi yang sudah menjadi tanah gambut atau talang (mengeras), masyarakat mengusahakan karet dengan pola selang-seling dengan tanaman sayuran, pisang, cabai, dan tanaman semusim lainnya saat tanaman karet belum mencapai usia produksi (di bawah 10 tahun).
“Di Riding, terkenal masyarakat mengusahakan karet. Untuk yang banyak airnya, orang hanya pakai untuk lapangan kerbau dan sapi. Di sini banyak yang punya,” tutur Topriyansyah, salah seorang petani karet yang punya lahan berkonflik dengan salah satu perusahaan pengembang Hutan Tanaman Industri (HTI) di Desa Riding, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.
Seluas 10.000 ha lahan rawa gambut di Desa Riding milik masyarakat diakui oleh anak perusahaan Sinar Mas Group (Divisi Forestry) sebagai lahan konsesi HTI dari beberapa tahun lalu. Saat ini status lahan tersebut dalam statusquo, masyarakat maupun perusahaan tidak boleh mengelola hingga ada penyelesaian.
“Sebelumnya lebak (rawa gambut -red) itu digunakan untuk tempat gembala dan ambil purun untuk jadi tikar. Sejak jadi lahan sengketa, jarang ada yang gembala kerbau dan ambil purun ke sana, ” jelas Topriyansyah.
Walau sudah beberapa kali dipertemukan antara masyarakat dan pihak perusahaan, belum ada hasil kesepakatan untuk mencari penyelesaian tentang lahan sengketa tersebut. Perusahaan pengembang HTI dari Sinar Mas Group masih menganggap lahan masyarakat yang berada di luar Desa Riding tersebut sebagai bagian dari konsesi HTI-nya untuk ‘tanaman kehidupan’ dimana ini menjadi kewajiban pemegang konsesi HTI menyisihkan sebagian lahan konsesinya sebagai areal lindung (bukan untuk produksi).
“Kami sudah terbiasa dengan usaha karet. Saat ini karet mencapai 12.000 rupiah per kilo gram. Kami, petani di sini kalau bisa lahan itu jadi lahan karet. Karena kanal perusahaan sudah membuat kering di beberapa tempat,” tegas Topriyansyah sebagai harapan ke depannya atas lahan yang dipaksa tak bertuan tersebut karena masuk dalam daftar sengketa.
Dalam beberapa tahun terakhir, dari pengamatan WALHI Sumsel terhadap persoalan masyarakat dengan anak perusahaan dari group pengembang HTI terbesar di Indonesia ini, Sinar Mas Group, WALHI menyebutkan belum ada pembicaraan lanjutan antarpihak yang bersengketa.
“Saya kira ini akan kami coba bantu untuk dijawab dengan kebijakan kehutanan yang baru. Dalam waktu dekat bersama masyarakat di Riding, kami akan melakukan analisis ruang atas kawasan hutan di Riding,” tutur Fadli, Deputy WALHI Sumsel kepada penulis.