K.P. SHK

Tahun Hutan Internasional

Ditetapkannya tahun 2011 sebagai Tahun Hutan Internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mempergunakan momentum 2011 dan skema pengurangan emisi deforestasi dan degradasi hutan (REDD+), untuk mempererat komunikasi dengan publik dalam usahanya membenahi sektor kehutanan.

REDD-Indonesia memuatnya dalam situs jejaring sosial facebook (fb), tentang hal ini dan seorang milist menulis “Masyarakat setempat harus sebagai tokoh utama dan penerima kesejahteraan pertama.”

Hal itu tercermin dalam visi Kementerian Kehutanan “Hutan Lestari untuk Kesejahteraan Masyarakat Yang Berkeadilan”, yang penjabarannya dituangkan dalam dokumen Renstra Kemenhut 2010-2014. Harapan kita tentunya dapat terwujud dengan komitmen para pihak terkait. REDD-Indonesia menjelaskan.

“Visi & Fakta di lapangan ternyata bertolak belakang, jauh dari kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan, sebagai contoh petugas keamanan PT. Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki), pengelola proyek percontohan REDD+ di Jambi, menangkap empat warga Dusun Tiga, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Batanghari. Lahan pertanian warga dianggap ada di area konsesi PT.Reki. Sebagian besar masyarakat adalah Suku Anak Dalam, yang sejak dulu tinggal di sana.” tulis dalam tautan seorang milist di fb, (namun tautan yang dijadikan contoh ini nampaknya sudah didelete).

REDD-Indonesia menjelaskan pemberdayaan masyarakat sudah menjadi salah satu prioritas pembangunan kehutanan dan dituangkan dalam bentuk fasilitasi program HKm dan Hutan Desa sebagai sasaran strategisnya.

Pemerintah akan selalu berbenah diri untuk mewujudkan visi dengan menyelesaikan persoalan yang ada. Namun, komitmen pemerintah saja tentu tidak cukup tanpa dukungan pilar Good Governance yang lain yaitu swasta dan masyarakat sipil. Intinya: integrasi, sinergi dan komitmen serta meletakkan segala sesuatunya di atas kepentingan bangsa dan negara (bukan pribadi atau golongan). Itu harapan kita semua kan? Sulit memang, namun jangan pernah berhenti bermimpi (lewat visi), karena keberhasilan dicapai dimulai dari mimpi dulu…. tulis REDD-Indonesia di FB.

Pengelolaan hutan yang memisahkan warga desa dari hutan selalu mendapatkan perlawanannya dari petani yang tinggal di sekitarnya. Konflik paling mendasar adalah persoalan tenurial.
SHK (Sistem Hutan Kerakyatan) yang menjujung tinggi keberlanjutan kehidupan rakyat sebagai antitesis dari konsep kehutanan negara (terutama soal klaim hak atas kawasan hutan), tentunya REDD bukan insentif bagi SHK. REDD, insentif yang akan diberikan kepada pelaku industri kehutanan (HPH, HTI, Perkebunan dan Konservasi) yang diakui secara hukum (kebijakan) sebagai pelaku kehutanan di Indonesia. “Reduced Emission from Deforestation and Degradation” bertendensi, deforestasi dan degradasi terjadi karena industrialisasi kayu dan alih fungsi lahan hutan. SHK tidak melakukan praktek industrialisasi kayu dan alih fungsi lahan.

REDD yang dijalankan dengan mengunggulkan kekuatan nilai penggantian uang, maka masyarakat lokal tidak bisa berharap hutan Indonesia masih utuh.

Apalagi, investasi di sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan saat ini cenderung meningkatkan alih fungsi kawasan hutan (konversi dan konsesi) sebagai dampak Politik-Ekonomi Energi Dunia.

Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang  diselenggarakan pada tanggal 7-8 Mei 2011 di Jakarta, kita berharap ASEAN harus menerapkan reformasi kebijakan lahan dan lebih mengutamakannya para petani kecil, dikhawatirkan kebijakan negara-negara ASEAN hanya memihak investor bukannya rakyat lagi.

Leave a Reply

Lihat post lainnya