Bergulirnya berita pemberlakuan stop ekspor rotan di Desember tahun ini merupakan tamparan kesekian kalinya bagi semua pemangku kepentingan sektor rotan, terutama bagi pihak yang paling lemah posisinya, petani rotan. Petani rotan yang mengenyam hasil panen rotan setiap 3 tahun sekali dengan harga rotan yang tidak beranjak dari 1.000-1.500 rupiah/kg (basah) atau 3.000-5.000 rupiah/kg (kering). Pemberhentian ekspor rotan akan memberikan dampak signifikan, minimal harga rotan di tingkat petani menurun (tidak terjual sama sekali) dan harga di tingkat pengepul (pedagang) akan sejalan turun, dan stok rotan akan melimpah di wilayah-wilayah penghasil rotan.
Buka tutup ekspor rotan bukan hal baru. Ini merupakan dampak berkepanjangan dan berlarut-larut dari ketidakseriusan pemerintah mendata potensi produksi, perencanaan, pengembangan, peningkatan rotan Indonesia yang merupakan komoditi rakyat. Kebijakan perotanan selalu di bawah kendali kelompok kepentingan yang memiliki akses mudah di perijinan, pinjaman modal, dan pengembangan usaha terhadap sektor ini, sebut saja pengusaha mebel-kerajinan rotan dan pengusaha ekspor rotan. Dua kelompok pengusaha perotanan ini betarung untuk selalu meributkan dan memperebutkan buka-tutup ekspor rotan, tapi tidak pernah benar-benar memperbaiki kondisi sebenarnya dari sektor yang jaya di tahun 80-an ini.
Kondisi perotanan Indonesia mengalami pengurangan jenis, kualitas-kuantitas, serta semakin marginalnya petani-pemungut rotan alam. Ditengarai rotan-rotan alam dari hutan sudah berkurang jenisnya, dari 300-an jenis kini tinggal 80-an jenis (Kemenhut, 2007). Rotan alam yang sebagian besar untuk bahan baku mebel kini hanya mampu diserap oleh industri mebel lokal sebesar rata-rata 3% semisal di Gorontalo, Luwuk-Banggai, Mamuju dan Makassar. Industri mebel di Jawa atau Nasional hanya menyerap rotan alam sebesar 20%-30% dari total produksi rotan alam dan budidaya Indonesia, sisanya diekspor ke China, Jepang dan Taiwan, bahkan APRI berani menyebutkan 300.000 ton pertahun rotan yang sustainable (berkelanjutan) untuk ekspor (APRI, 2011).
Petani-pemungut rotan di daerah-daerah penghasil rotan alam berjumlah puluhan ribu KK. Hampir semua penduduk satu dusun di Sulawesi Tengah adalah pemungut rotan. Kalau satu dusun dihuni oleh 200 Kepala Keluarga (KK), dan di Sulawesi Tengah sendiri ada 5 kecamatan yang diidentifikasi sebagai penghasil utama rotan alam (Dinas Kehutanan Donggala, 2011), maka pemberlakuan stop ekspor rotan akan mematikan usaha produktif penduduk 40.000 KK di Sulawesi Tengah, karena sebagian besar rotan alam di Sulawesi Tengah untuk ekspor.
Matematis tersebut anggap saja salah atau jauh mendekati kebenaran dan tidak bisa dikaitkan dengan kebijakan buka-tutup ekspor rotan, namun sangat relevan bila kondisi carut-marut yang berkepanjangan ini terjadi karena Pemerintah malas mengurus sektor rotan, dalam hal ini tiga kementerian terkait yaitu Kementerian Kehutanan, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian, hingga sekarang tidak pernah memberikan solusi tepat untuk pembangunan sektor rotan Indonesia sebagai penyumbang terbesar devisa negara ke-2 setelah kayu dari ekspor non-migas Indonesia di tahun 1980-an.
‘Kemalasan’ Pemerintah bukan tidak bisa diterka, tetapi cukup bisa dipahami. Sejalan dengan orientasi pembangunan kehutanan, perdagangan dan perindustrian saat ini, yang mengedepankan nilai ekonomi komoditas tertentu dengan alasan komoditas tertentu tersebut memberikan nilai devisa yang lebih besar bagi negara. Sektor rotan tidak memberikan janji manis semanis komoditas lainnya semisal kayu, minyak kelapa sawit dan batu bara. Pengusahaan kebun rotan menghasilkan nilai ekonomi yang setara nilainya dengan sepersepuluh kali pengusahaan lahan kelapa sawit atau batu bara. Dan setiap konversi hutan alam menjadi kebun kelapa sawit atau batu bara, Pemerintah daerah (legal-ilegal) minimal dapat mengantongi setoran uang sebesar 2 millyiar rupiah untuk pembebasan lahan hutan (anonim, 2009).
Dan hal tersebut bukan rahasia lagi di berbagai daerah dimana sering terjadi konversi besar-besar hutan atau kebun rotan ke perkebunan kelapa sawit dan batu bara semisal di Kalimantan Timur dan Kalimantang Tengah–konversi hutan ke perkebunan kelapa sawit rata-rata pertahun di Kalimantan Timur sebesar 300.000 ha sejak dicanangkannya Program Kelapa Sawit Satu Juta Hektar (1,8 juta ha) di Wilayah Perbatasan Indonesia-Malaysia pada 2008.
Kebijakan Coba-coba
Adanya ‘perang’ tiga asosiasi pengusaha rotan (mebel, kerajinan dan eskpor) tentang tuduhan ada monopoli di sektor rotan hingga KPPU (Komisi Persaingan Pelaku Usaha) merekomendasikan Pemerintah perlu: 1) merevisi Permendag No.36 tahun 2009; 2) perlu masa transisi sebelum revisi yaitu pembentukan badan penyanggah rotan; 3) dan penutupan ekspor rotan pada awal tahun 2012, merupakan konsekuensi logis yang harus dipikul oleh semua pemangku kepentingan rotan.
Namun konsekuensi logis tersebut tidak seharusnya diterima pemangku kepentingan rotan yang paling lemah posisinya, petani rotan dan petani-pemungut rotan, karena produksi rotan sangat bergantung dengan ketersediaan lahan hutan dan keinginan-kemampuan petani rotan untuk tetap mengusahakan. Salah satu pemicu petani tetap mengusahakan rotan, rotan masih dipandang menjadi sumber eknomi kedua utama oleh petani walau harga rotan tidak pernah naik drastis di tingkat petani.
Dalam sepuluh tahun terakhir sudah ada tiga kali revisi kebijakan (Peraturan Menteri Perdagangan), yaitu dalam rentang masa panen rotan (3-5 tahun sekali). Permendag No.12 tahun 2005 adalah kebijakan yang memperbolehkan ekspor bahan mentah rotan, kemudian direvisi kembali menjadi Permendag No.36 tahun 2009 yang memperbolehkan ekspor tapi dengan sistem kuota (pembatasan), dan pada tahun 2011, Pemerintah melarang ekspor yang akan dimulai awal tahun 2012.
Revisi kebijakan perotanan tersebut tidak memberikan dampak yang nyata bagi perbaikan sektor rotan, harga rotan, tata produksi dan distribusi, jaminan pasar dan pengolahan tidak terjamin. Tindakan stop ekspor rotan sudah menuai turunnya harga rotan di tingkat pedagang/pengepul, semisal di Kota Waringin Timur-Kalimantan Tengah dari 250.000 rupiah/100kg menjadi 150.000 ribu rupiah/100kg (Harian Tabengan 1/11).
Rekomendasi KPPU agar Pemerintah segera membentuk Badan Penyangga Rotan (yang ditengarai Pemerintah akan menunjuk BUMN tertentu untuk menjadi BPR) adalah sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi segera, dalam kondisi hampir semua BUMN yang ada diorientasikan untuk swastanisasi karena cenderung pailit. Bahkan dengan terang-terangan pihak Kementerian Peindustrian menyatakan, kebijakan stop ekspor ini akan dilihat kembali setelah enam bulan kemudian (Kontan, 2011). Dan tak salah bila kemudian, Pemerintah malas mengurus secara serius sektor rotan dan mengorbankan pemangku kepetingan rotan paling rentan, yaitu petani rotan dengan kebijakan coba-coba.
Pada pertemuan dengan AMKRI (Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia) di Bogor 07 Des 11 atas undangan Kementerian Kehutanan, dalam acara Workshop “Ekonomi Politik Perdangan Rotan”, AMKRI membantah adanya penumpukkan rotan di daerah.
Mantan pendiri AMKRI menyatakan “Kami kekurangan bahan baku!”
Sesumbarnya lagi “Kalau ada rotan hari ini 30.000 ton kami beli. hubungi AMKRI”
AMKRI menilai tidak ada petani rotan di Kalimantan.
Dari pertemuan itu nampak jelas politik stop ekspor rotan atas inisiasi dan advokasi pengusaha industri mebel di Cirebon.
AMKRI menolak semua data-data yang dibeberkan oleh para pendukung penolakan stop ekspor rotan. AMKRI mengaku memiliki data valid dari Balitbang Kemenperind.