K.P. SHK

Stigmatisasi dan Apresiasi Kehutananan Sosial

Pemerintah Beri Citra Buruk Pada Masyarakat

Belum pupusnya anggapan Pemerintah yang cenderung menganggap masyarakat di sekitar hutan sebagai perusak hutan masih terasa hingga kini. Dalam beberapa pemberitaan media massa (elektronik dan cetak) mengenai kebakaran hutan dan lahan dalam sebulan terakhir ini, semisal di Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Jawa Tengah, penyebabnya karena masyarakat punya kebiasaan membuka lahan di musim kemarau dengan cara membakar.

Bahkan, dua hari lalu (25/7) dikabarkan kebakaran hutan Perhutani di Jawa, yang tidak dapat ditangani dengan baik oleh petugas kebakaran hutan pemerintah, adalah karena ada masyarakat yang sengaja membakar supaya kayu jati mudah dicuri.

Sangkaan yang demikian, adalah bentuk stigmatisasi pemerintah kepada masyarakat di sekitar hutan. Setiap kebakaran hutan dan lahan pelakunya masyarakat. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Mukri Fiatna dari WALHI Eksekutif Nasional dalam diskusi “Community Forestry Indonesia Sudah Dimana?” di Bogor (23/7), pemerintah tidak percaya kepada masyarakatnya.

“Di Lampung, di beberapa tempat. Termasuk Tahura Wan Abdurrahan yang kritis, kelompok SHK (Sistem Hutan Kerakyatan-red) berhasil merehabilitasi kawasan itu,” tutur Mukri Friatna, Faslitator Regional Sumatera untuk WALHI.

“Krisis air, banjir dan kekeringan bahkan kebakaran hutan, selalu dituduhkan ke masyarakat. Masyarakat pelaku kerusakan hutan,” sergah Mukri menanggapi belum berubahnya sangkaan Pemerintah (Lampung) terhadap upaya-upaya kelompok masyarakat di sekitar hutan.

Pencitraan buruk terhadap masyarakat sekitar hutan oleh Pemerintah, ini yang kemudian semakin mempersulit adanya pengakuan-pengakuan terhadap keberhasilan masyarakat dalam mengelola hutan. Dan ditambah oleh masih saratnya perijinan usaha kehutanan dengan tradisi kolusi pemerintah-swasta.

“Pemerintah tidak melihat bukti-bukti di lapangan. Di Tanggamus, yang merusak Taman Nasional Was Kambas dan Bukit Barisan Selatan, adalah bukan masyarakat, tetapi perusahaan pulp-kertas,” jelas Mukri lebih lanjut tentang sikap Pemerintah di Lampung.

Sementara itu, stigmatisasi buruk, apresiasi, dan pembuktian bagi hubungan masyarakat dengan hutan dan kawasan hutan, perlu terobosan baru yang tidak hanya mendapatkan dukungan dari nasional tetapi internasional.

Beberapa pengalaman tentang keluarnya KDTI (Kehutanan Dengan Tujuan Istimewa) untuk kebun hutan (Repong Damar) di tahun 1999 dan pemberian anugerah Kalpataru bagi masyarakat 16 Marga Krui, Lampung Barat, pada 1997 adalah apresiasi terhadap iniasiatif masyarakat dalam pengelolaan hutan yang lestari. Walau, ada dampak-dampak yang tidak diinginkan dari bentuk-bentuk apresiasi tersebut.

“KDTI dan Kalpataru Krui, adalah apresiasi bagi masyarakat saat itu. Tapi dampaknya banyak. Masyarakat kemudian tak puas dengan KDTI. Kalpataru bikin konflik antarkelompok di masyarakat,” imbuh Arif Aliadi dari LATIN, yang di tahun-tahun tersebut LATIN bersama lembaga lainnya seperti WALHI, ICRAF, LP3AE-UI, dan WATALA dalam wadah Tim Krui melakukan dorongan ke arah pengakuan salah satu bentuk kehutanan sosial di Indonesia.

Kehutanan sosial di Indonesia perlu mendapat dorongan dari Internasional. Kebutuhan ini cukup mencuat dalam diskusi “Community Forestry Indonesia Sudah Dimana?” yang dilaksanakan KpSHK, yang dihadiri tidak kurang dari 20 orang pegiat kehutanan sosial di nasional. Bahkan Arif Aliadi dalam komentarnya memperjelas, saat ini dukungan internasional yang sangat dibutuhkan semisal yang terjadi di isu masyarakat adat. Masyarakat adat cukup progresif mencari dukungan Internasional. (tJong)

Leave a Reply

Lihat post lainnya