Emansipasi Rakyat atas Hutan dan Kawasan Hutan
Kawasan hutan meliputi 75% luas daratan Indonesia, yang penguasaan dan pengelolaannya berada di bawah kewenangan Departemen Kehutanan (pemerintah pusat). Dan dalam kenyataanya, Fay (2002) dari ICRAF, menyebutkan hanya 11% kawasan hutan yang bernar-benar dikuasai dan dikontrol langsung oleh Departemen Kehutanan, 56%-nya dalam kondisi coincide (secara bersamaan), berada dalam klaim-klaim masyarakat lokal (adat).
Sementara itu, dampak pembangunan kehutanan yang pro industri dan pasar (pertumbuhan ekonomi) yang ditandai lahirnya Undang-undang Pokok Kehutanan No.5 tahun 1967 (sekarang UU No.41 tahun 1999) telah menyebabkan berkurangnya luas hutan Indonesia, dari 143 juta hektar menjadi 72 juta hektar (Kementerian Lingkungan hidup, 2008) dengan laju kerusakan rata-rata 2 juta hektar per tahun (puncaknya terjadi di 1998-2001 dengan laju kerusakan 3,2 juta hektar per tahun).
Konsepsi Hutan Negara
Pola penguasaan-pengelolaan hutan dan kawasan hutan oleh negara (oleh Departemen Kehutanan atau konsepsi hutan negara) baik selama masa Orde Baru maupun Masa Reformasi, melalui 3 bentuk penguasaan-pengelolaan berdasarkan fungsi yaitu hutan produksi, konservasi dan lindung. Hutan produksi dijalankan dan dikuasakan negara kepada swasta melalui pemberian ijin HPH (Hak Pengusahaan Hutan), ijin HTI (Hutan Tanaman Industri), dan BUMN (Badan Usahan Milik Negara) semisal Perhutani dan Inhutani (sudah tidak jalan atau dicabut). Hutan konservasi dijalankan oleh Departemen Kehutanan (BKSDA-Balai Konservasi Sumberdaya Alam) dan program-program kerjasama dengan lembaga-lembaga konservasi internasional semisal JICA (Jepang), TNC, CI, WWF, FFI dan lain-lain. Hutan lindung dikuasakan kepada Pemerintah Daerah (setelah pelaksanaan otonomi daerah di tingkat kabupaten).
Pola penguasaan-pengelolaan hutan dan kawasan hutan oleh negara dalam bentuk-bentuk hutan-hutan tersebut merupakan konsepsi hutan negara sebagai terjemahan dari konstitusi negara tentang hak menguasai negara atas sumbedaya alam. Pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945, …(sumberdaya alam) yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Konsepsi Hutan Kerakyatan
Pola penguasaan-pengelolaan hutan dan kawasan hutan oleh rakyat (masyarakat) dalam kenyataannya tergambar dari beberapa temuan sistem kelola kawasan hutan yang berlandaskan aturan adat-istiadat setempat yang berlangsung secara turun-temurun. KpSHK (Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan) yang didirikan oleh banyak kalangan seperti akademisi, peneliti/praktisi kehutanan, tokoh masyarakat adat, aktivis lingkungan dan sumberdaya alam, dan mulai menggagas gerakan hutan kerakyatan di 1995 menemukan bentuk-bentuk hutan kerakyatan dengan nama-nama lokal seperti simpuqn (Kalimantan Timur), empus (Aceh), tembawang (Kalimantan Barat), pangale (Sulawesi Tengah), huma atau talun (Jawa), parak (Sumatera Barat), repong (Lampung), leuweng (Jawa Barat) dan lain-lain.
Untuk mempermudah sebutan bagi pola penguasaan-pengelolaan hutan dan kawasan hutan oleh rakyat yang beragam tersebut, SHK (sistem hutan kerakyatan) menjadi pilihan sebutan yang pas bagi para penggagas dan pelaku dari bentuk-bentuk lokal yang beragam tersebut. SHK memiliki prinsip-prinsip seperti pelaku utamanya masyarakat, memiliki nilai sosial-budaya setempat (adat) termasuk nilai religi, pengelolaan bersifat kolektif, berkelanjutan dan lestari secara ekologi, berkeadilan sosial, dan mendukung ekonomi kerakyatan (kemandirian, kebersamaan, keberlanjutan dan kelesatarian).
Relasi Hutan Negara dan Kerakyatan
Kepentingan negara (pemerintah) yang membawa arah pembangunan kehutanan demi pertumbuhan ekonomi semata dalam praktiknya mengalami benturan-benturan dengan kepentingan rakyat (masyarakat), bahkan menimbulkan konflik kawasan yang berkepanjangan hingga sekarang. Beberapa ijin HPH dan HTI, perluasan kawasan konservasi, perluasan perkebunan besar sawit (pelepasan kawasan hutan) telah memunculkan tumpang tindih areal dengan kawasan kelola rakyat, peminggiran sistem hutan kerakyatan, dan kondisi lingkungan yang semakin buruk.
Pada tahun 1970-an, terjadi peristiwa penggundulan hutan besar-besaran oleh praktik HPH di Sumatera dan Kalimantan dimana kayu-kayu hasil tebangan menggenangi sungai-sungai besar di Sumatera dan Kalimantan atau yang terkenal dengan sebutan “banjir cap”. Pada tahun yang sama mulai dibuka daerah-daerah tujuan transmigrasi PIR (Perkebunan Inti Rakyat untuk sawit) di Sumatera, Kalimantan dan Papua untuk penduduk yang berasal dari daerah-daerah atau pulau-pulau padat penduduk seperti Jawa, Madura, Bali dan Nusatenggara, yang saat ini terjadi perluasan perkebunan sawit hingga 7,4 juta hektar (Sawit Watch, 2008). Dan dari tahun 1980-an terjadi perluasan hutan tanaman industri untuk pemenuhan bahan baku industri pulp-kertas yang selama 30 tahun belakangan ini tidak pernah berhasil dipasok dari hasil penanaman di areal-areal HTI, Kartodiharjo (2000) menyebutkan 60 % industri kehutanan dipasok dari hutan alam, dan LEI (2009) menyebutkan 70% industri kehutanan dipasok dari hutan alam. Bahkan pada rentang waktu 1982-1990, kerusakan hutan mencapai luasan hingga 108,5 juta hektar termasuk akibat kebakaran yang terjadi rentang tahun tersebut (FAO, 1991).
Merunut kepada temuan Fay (2002), 56% kawasan hutan dalam tarik-menarik klaim pemerintah dengan masyarakat lokal (adat), relasi Hutan Negara-SHK berada dalam zona abu-abu, dimana dalam kenyataannya (de facto) masyarakat dengan berbagai bentuk-bentuk SHK berlangsung tanpa pengakuan hukum (de jure), karena pemerintah belum memberikan pengakuan (rekognisi) baik status kawasan maupun sistem kelola SHK. SHK berstatus hukum jelas adalah SHK yang praktiknya berlangsung di tanah-tanah milik bersertifikat atau yang disebut hutan rakyat (pemerintah baru berhasil mensertifikasi tanah-tanah atau lahan-lahan sebesar 12% dari total luas tanah dan lahan di Indonesia yang sebagian besar adalah tanah-tanah privat di Pulau Jawa, AMAN-FPP, 2007).
Sistem Hutan Kerakyatan, Alternatif Pengelolaan Hutan
Sistem Hutan Kerakyatan tidak hanya sekedar penamaan dari berbagai bentuk-bentuk pengelolaan hutan dan kawasan hutan oleh masyarakat, tetapi juga merupakan sistem alternatif (antitesis dari sistem pengelolaan hutan yang dipraktikkan oleh pemerintah). SHK yang memiliki 4 prinsip besar yaitu kemandirian, kebersamaan, keberlanjutan dan kelestarian.
Prinsip kemandirian dalam SHK, setiap pengelolaan hutan dan kawasan hutan pelaku utamanya adalah masyarakat lokal (adat) dengan bersandar kepada kemampuan (daya lenting) diri masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (ekonomi-sosial-budaya).
Kebersamaan, praktik SHK dilakukan secara bersama-sama dalam satu kesatuan kelompok masyarakat atau komunitas yang masih memegang teguh adat-istiadat atau berdasarkan aturan setempat (kesepakatan bersama antar kelompok-kelompok di masyarakat) yang mana usaha-usaha ekonomi atas hutan dan kawasan hutannya diperuntukkan demi pemenuhan kebutuhan bersama dalam satu-kesatuan sistem sosial (kolektif dalam pengelolaan dan pemenuhan kebutuhan hidup kelompok-kelompoknya).
Keberlanjutan, praktik SHK mengandung tujuan untuk pemenuhan kebutuhan hidup (ekonomi-sosial-budaya) generasi berikutnya dari suatu komunitas lokal (adat) dan demi keberlangsungan sistem kelola hutan dan kawasan hutan yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Kelestarian, praktik SHK sebagai praktik pemanfaatan manusia terhadap sumberdaya alam membawa nilai-nilai penghormatan terhadap makhluk hidup lainnya (satwa dan tumbuhan yang dilindungi) dan turut menjaga alam dan lingkungan hidup dari kehancuran. SHK adalah sistem pengelolaan hutan dan kawasan hutan yang melandaskan keseimbangan ekosistem, dimana manusia adalah bagian dari penyimbang ekosistem alam yang ada.
Praktik SHK banyak ditemukan di daerah-daerah penyangga (buffer zone) kawasan konservasi (Taman Nasional). Bentuknya yang berupa kebun hutan (wanatani), praktik SHK adalah praktik multikultur dimana berbagai jenis tanaman (tanaman pangan, tanaman kayu, dan buah-buahan) ditanam dalam satu hamparan ekosistem.
Praktik SHK dalam kehidupan nyata masyarakat dapat ditemukan di beberapa tempat yang sempat di dokumentasi dalam 10 tahun terakhir ini, sebagai contoh adalah Repong Damar di Krui, Lampung Barat.
Contoh SHK, Repong Damar Pesisir Krui
Masyarakat Krui sebagian besar bermata pencaharian dari sektor pertanian dan perkebunan. Pesisir Krui identik dengan hasil getah/resin damar mata kucing (Shorea javanica) atau di kenal dengan istilah Repong (kebun ) Damar, dimana 80 % total produksi damar kucing di Indonesia berasal dari Krui. Mata pencaharian lainnya meliputi pemungutan hasil hutan (kayu, rotan, getah damar, obat-obatan, buah-buahan); Berburu dan mencari ikan serta menjadi buruh kebun damar.
Sistem Pengelolaan. Potensi agraris Krui yang khas dan paling dikenal baik di dalam maupun luar negeri adalah pengelolaan kebun damar (Repong Damar) mata kucing yang mutu getahnya terbaik diantara jenis damar di Indonesia. Lebih dari satu abad sudah masyarakat Krui mengelola repong damar dengan model pengelolaan yang berkelanjutan, menguntungkan secara ekonomis dan lestari secara ekologis terutama dalam proses konservasi air, tanah dan menjaga keanekaragaman hayati serta berfungsi juga sebagai buffer zone (daerah penyangga) bagi Taman Nasional Bukit Barisan yang sepenuhnya diciptakan oleh masyarakat lokal tanpa bantuan dan masukan dari pihak luar.
Proses pembentukan kebun/repong damar dilakukan melalui beberapa tahapan yang terdiri dari pembukaan lahan, penanaman tanaman pangan, penanaman tanaman perkebunan, penataan pohon damar dan diakhiri dengan terbentuknya susunan kebun damar. Pada intinya kebun damar dibuat dengan cara membuka hutan dan mengganti tanaman yang ada didalamnya dengan damar dan buah-buahan sambil mempertahankan tanaman-tanaman tua yang memberikan manfaat ekonomi. Setiap tahap dilaksanakan dalam jangka waktu yang berbeda. Adapun tahapan-tahapan pembentukan damar secara rinci dijelaskan sebagai berikut:
Tahun 1. Pengusahaan kebun damar dimulai dengan proses pembuatan kebun atau repong dalam istilah setempat. Pembukaan hutan dilakukan pada hutan primer atau sekunder di daerah yang berbukit. Kegiatan pembukaan hutan meliputi pemilihan dan penentuan lokasi, penebasan semak belukar, pemotongan pohon-pohon besar dan kemudian membakarnya pada akhir musim kemarau..Pekerjaan tersebut dilakukan secara berkelompok. Rat-rata hutan yang dibuka seluas 0.6 – 2 ha dengan waktu yang diperlukan 4,5 sampai 6 bulan, umumnya dilakukan pada musim kemarau pada waktu hutan tidak lebat oleh semak belukar. Lokasi yang dipilih adalah yang permukaan lahannya datar dan dekat sumber air sehingga diharapkan tanaman dapat tumbuh tegak, subur dan mudah penanganannya. Secara tradisional masyarakat pesisir menentukan tanah yang subur berdasarkan keberadaan pisang hutan atau bebadar (sejenis talas), tanahnya berwarna kehitamam, tidak begitu masam bila dicicipi, gembur dan tidak banyak bebatuan. Pembukaan hutan selesai di akhir musim kemarau. Diawal musim hujan mulai dilakukan penanaman padi huma dan pembuatan persemaian damar. Sedangkan kopi dan tanaman keras lainnya ditanam pada tahun kedua.
Tahun 2. Pada tahun kedua, penanaman tanaman pangan lebih intensif selain padi ditanam juga sayur-sayuran (tomat, mentimun, buncis).
Tahun 3. Pada tahun ini penanaman tanaman pangan mulai menurun dan beralih ke penanaman tanaman perkebunan seperti kopi dan buah-buahan (pisang, pepaya). Setelah kopi ditanam tanaman keras lainnya seperti jengkol, petai atau dadap berfungsi sebagai peneduh dan daunnya dimanfaatkan sebagai pupuk. Tanaman damar ditanam pada tahun ini setelah penanaman tanaman keras selesai. Terkadang pada tahun ketiga mulai membuka kembali ladang baru dengan tahapan proses yang sama sehingga kebutuhan pangan terpenuhi.
Dalam menanam damar, penduduk mengenal beberapa cara diantaranya adalah dengan cara menebar benih secara langsung ke lahan biasanya dilakukan pada daerah berlereng curam; dengan penyemaian terlebih dahulu dimana benih disemai dalam kantong plastik sampai mencapai tinggi kuranglebih 15 cm dan dilakukan pada kebun yang berelief datar dan tidak banyak bertebing; dengan mengambil bibit dari tanaman damar yang tumbuh di kebun yang sudah ada, cara ini biasanya dilakukan untuk tujuan menyulam atau menambah jumlah tanaman pada kebun yang sudah ada; cara pencangkokan, memerlukan waktu lebih lama (6 bulan) dan cara ini sudah jarang digunakan. Dari sekian cara, yang paling baik adalah sistem persemaian karena dapat memilih bibit jenis unggul dan kemungkinan tumbuhnya lebih besar.
Tahun 4-8. Pada tahun ini, kebun mulai menghasilkan kopi dan merupakan fase awal dari pertumbuhan damar selain itu dihasilkan pula sayuran dan buah-buahan berumur pendek dan hasil dari ladang yang baru.
Tahun 8-25. Masa ini merupakan masa pemanenan damar.Dan umur panen terbaik ada pada kisaran 25 tahun keatas.
Hasil Hutan. Komoditas dari sistem Repong Damar ini adalah getah damar “Mata Kucing”, kayo, rotan, obat-obatan, buah-buahan, dan binatang buruan.
Kelembagaan Pengelola. Kelembagaan pengelola masih menggunakan organisasi dan hukum adat.
Pemasaran Komoditas. Kegiatan perdagangan damar di Lampung Barat berpusat di daerah Krui, tepatnya di Pasar krui. hampir semua produksi damar Lampung Barat dibawa ke Pasar krui oleh petani maupun pedagang pengumpul desa yang tersebar di Pesisir Utara hingga Selatan.
Petani yang kebun damarnya dekat dengan desa umumnya akan menjual damar langsung kepada pedagang pengumpul desa. Sedangkan petani yang kebunnya jauh dari desa sebagian besar menjualnya kepada penghadang (perpanjangan tangan dari pedagang pengumpul desa. Pedagang pengumpul desa memberikan modal kepada penghadang untuk membeli damar dari petani di kebun untuk dibawa kepada pedagang pengumpul desa. Setiap penghadang mendapat imbalan antara Rp. 25-30 dari setiap kilogram damar yang dikumpulkan (Agustus 1994).
Ada dua sistem jual beli damar dari pedagang krui dengan pedagang desa, yaitu:
- Sistem pembelian langsung (cash) dimana pedagang Krui membeli langsung damar yang dimiliki pedagang desa dengan harga yang berlaku saat itu Sistem peminjaman modal dimana pedagang Ktui memberikan pinjaman modal kepada pengumpul desa untuk membeli damar dari petani.
- Setelah berada di tangan para pedagang Krui, perjalanan damar dilanjutkan ke pedagang atau eksportir di Bandar Lampung atau di jual langsung ke Jakarta atau kota-kota lainnya di Jawa.
Mekanisme penetapan harga sampai saat ini masih merugikan petani karena harga ditentukan secara sepihak oleh pedagang dimana para pedagang mengambil harga patokan berdasarkan apa yang disampaikan oleh eksportir.
Pada tahun 1999, Repong Damar Krui mendapat Pengharagaan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Departemen Kehutanan menetapkan kawasan 16 Marga Adat Krui sebagai Kawasan Dengan Tujuan Istimewa (KDTI).
Perkembangan SHK
Sepuluh tahun terakhir, gerakan SHK yang bertujuan untuk meningkatkan emansipasi rakyat dalam pengelolaan sumberdaya hutan (hak pengelolaan) dan demi pengakuan hukum (hak penguasaan) dari negara mendorong berbagai inisiatif kebijakan pemerintah semisal Hutan Adat, HKm (hutan kemasyarakatan), Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), HTR (hutan tanaman rakyat), dan Hutan Desa.
Reformasi yang dimulai sejak 1998 adalah peluang untuk mendorong perubahan kebijakan kehutanan pro rakyat. Revisi Undang-undang Pokok Kehutanan No.5 tahun 1967 menjadi Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999 adalah salah satu hasil dari dorongan gerakan SHK, walaupun secara substansial negara (pemerintah) tidak memberikan hak penguasaan hutan kepada masyarakat terutama tentang Hutan Adat.
Sejalan dengan reformasi kehutanan, praktik SHK berkembang dengan mulai memasukkan kepentingan ekonomi dan pasar dari komoditas kehutanan yang lebih luas. Non timber forest product (NTFP) adalah komoditas yang dikembangkan dari situs-situs SHK di seluruh Indonesia dengan menyediakan jalur distribusi khusus (kamar dagang alternatif – kadal).
Jalur perdagangan alternatif tersebut bertujuan untuk memotong rantai biaya distribusi produk-produk SHK yang masuk ke pasar umum. Beberapa anggota KpSHK maupun jaringan ornop lain berkonsolidasi saling memperkuat jalur perdagangan komoditas SHK ini.
SHK, Perluasan HTI, Perkebunan Sawit dan Perubahan Iklim
Deforestasi dan degradasi hutan akibat konversi hutan dan kawasan hutan untuk perluasan Hutan Tanaman dan Perkebunan Sawit dalam 30 tahun terkahir ini telah menuai hasilnya. Puncak deforestasi dan degradasi hutan terjadi pada 1997-2003, dimana selain terjadi kebakaran hutan akibat pembukaan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri, maraknya penebangan liar telah menyebabkan kondisi hutan semakin parah, hutan berkurang hingga setengahnya, yaitu dari 143 juta hektar kini tinggal 72 juta hektar (Kementerian Lingkungan Hidup, 2007). Padahal sekitar 80 juta jiwa penduduk Indonesia masih bergantung langsung terhadap keberadaan hutan (LATIN, 2000), dan 48,8 juta diantaranya adalah penduduk miskin (Brown, 2004).
Sementara itu praktik SHK walau pada kenyataannya ada namun belum mendapat pengakuan hukum dari pemerintah, dari tahun ke tahun semakin mendapat acaman serius dari perluasan hutan tanaman industri yang pada 2009 ini pemerintah menargetkan ada perluasan hingga 5 juta hektar (Departemen Kehutanan, 2007) dan perkebunan sawit yang kini telah mencapai 7,4 hektar (Sawit Watch, 2008).
Pemerintah melalui program pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKm) untuk tahun 2009 hanya menargetkan pemberian ijin HKm seluas 400.000 hektar, yang pada 2012 diharapkan mencapai 2 juta hektar. Dan melalui pengembangan HTR (hutan tanaman rakyat), pemerintah menyediakan 9 juta hektar kawasan hutan yang kritis (6 juta hektar untuk masyarakat miskin dan 3 juta hektar untuk industri) dan baru pada tahun 2009 ini baru masuk tahap identifikasi kawasan hutan yang kritis.
Selain itu, pada pertemuan PBB di Bali di 2007 tentang Perubahan Iklim, Pemerintah Indonesia mengusulkan skema REDD (Reduction Emission from Deforestation and Degradation) bagi negara-negara maju sebagai kompensasi (biaya) atas pembuangan gas emisi rumah kaca mereka bagi pembangunan kehutanan di Indonesia (mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan). Sekalipun REDD ini diperuntukkan (insentif) bagi perusahaan pelaku industri kehutanan (HTI dan Perkebunan), dalam skema REDD sukarela, ada yang diperioritas untuk hutan-hutan yang dikelola oleh masyrakat semisal HKm, HTR, dan Hutan Desa. Beberapa pilot project untuk REDD sedang berlangsung di beberapa tempat semisal di Aceh, Riau, Kalimantan Tengah dan Papua.
Melihat berbagai hal di atas, tantangan dan peluang bagi praktik SHK sebagai model alternatif bagi pengelolaan hutan dan kawasan hutan untuk kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan sangat bergantung kepada kemauan politik pemerintah terutama tentang pemberian pengakuan terhadap sistem-sistem kelola kawasan dan hutan yang telah dikembangkan masyarakat secara turun temurun.
Akses pengelolaan atas hutan dan kawasan hutan yang difasilitasi oleh kebijakan pemerintah seperti HKm, HTR dan Hutan Desa bagi masyarakat lokal (adat) adalah peluang. Namun ada beberapa skema-skema kebijakan tersebut yang memprioritaskan untuk revitalisasi industri kehutanan, HKm cenderung didorong untuk community logging sebagai pemenuhan bahan baku industri meubel dan kerajinan skala besar, HTR diprioritaskan untuk perluasan hutan tanaman industri (HTR Kemitraan) untuk pemenuhan kebutuhan kayu sebagai bahan baku industri pulp-kertas yang saat ini dalam kondisi over kapasitas. Industri kehutanan yang bertumpu kepada penyediaan komoditas kayu secara ekologi sudah terbukti gagal dalam mendorong pembangunan kehutanan yang berprinsip kepada pembangunan berkelanjutan.
Skema-skema kebijakan tersebut menjadi peluang yang pas bagi pengembangan praktik SHK dan berprinsip kepada pembangunan berkelanjutan bila ada prioritas peningkatan ekonomi dan pasar bagi komoditas-komoditas non timber forest product (NFTP) semisal, madu, jelutung, kerajinan tikar, rotan, damar atau getah-getahan, buah-buahan, karet, coklat dan lain-lainnya, yang selama ini hanya menjadi bagian yang tidak dilirik oleh industri kehutanan. (Materi untuk Ekonomi-Sosial-Politik Pembangunan Berkelanjutan: Community Forestry oleh Program Lead-YPB)