K.P. SHK

SHK Vs Izin Sawit oleh Negara

ELSAM (Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat) dan Sawit Watch, menyelenggarakan diskusi terbatas mengenai Revisi Permentan 26/2007 soal “Pedoman Pemberian Izin Usaha Perkebunan” di Wisma PGI-Jakarta, Rabu 29 Mei 2013. Tampak hadir WALHI [Zenzi], Sawit Watch [Mario, Ronald, Saefuloh, Bondan, Fatilda], IHCS [Priadi], TUK Indonesia [Edi Sutrisno, Wiwin], PIL-Net [Iki Dulagin, Wahyu Wagiman, Andi Muttaqien, Judianto Simanjuntak], ELSAM [Indriaswati], KpSHK [Inal], YLBHI [Ridwan Bakar], HuMa [Malik], ICW [Emerson Yuntho], UKP4 [Lakso, Aldilla].

 

Revisi Permentan 26/2007
SHK vs Izin Sawit Oleh Negara

Wahyu Wagiman, SH. dari ELSAM  selaku Deputi Direktur Pembelaan HAM untuk Keadilan,  dalam pengantarnya menyebutkan  bahwa Revisi Permentan 26/2007 harus  dicermati, “Permentan ini dianggap salah satu penyebab maraknya konflik-konflik agraria” ujarnya. Berkaitan dengan perizinan, beliau menegaskan “Banyak penyalahgunaan oleh dirjendbun dan pengusaha-pengusaha perkebunan yang melanggar hak-hak  masyarakat” tambahnya. Beliau mencontohkan dimana banyak masyarakat  tidak pernah tahu akan adanya rencana pembukaan perkebunan di wilayahnya.

 

Mas Achmad Santosa dari Deputi VI UKP-PPP (UKP4, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan), dalam presentasinya menyebutkan bahwa pada dua Permentan sebelumnya, (Kepmentan No.357/Kpts/HK.350/5/2002 dan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.107/KPTS-II/1999 tentang Perizinan Usaha Perkebunan) telah diatur pembatasan kepemilikan lahan sebesar 20.000 hektar dalam satu propinsi atau 100.000 hektar untuk seluruh Indonesia untuk perusahaan/kelompok perusahaan.

“Permentan 26/2007 memiliki perbedaan dengan dua peraturan sebelumnya karena tidak lagi memberikan pembatasan penguasaan lahan untuk perkebunan pada kelompok perusahaan, melainkan hanya pada satu perusahaan saja”, tegas  Mas Ota panggilan rekan-rekan LSM.

“Hal ini berakibat pada akumulasi lahan di kelompok perusahaan tertentu, hal mana tidak sejalan dengan konsep kepemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara berkeadilan yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan”, tambahnya.

Renstra Dirtjenbun 2010-2014, pengembangan 15 Komoditas (Karet, Sawit, Kakao, Kelapa, Jarak Pagar, Teh, Kopi, Jambu Mete, Lada, Cengkeh, Kapas, Tembakau, Tebu, Nilam & Kemiri Sunan).  Imam Syafei (Praktisi Perkebunan) menyebutkan “Perkembangan sawit tahun 2011 seluas 8,9 juta ha. Tahun 2012 telah melampaui target menjadi 9,3 juta ha dari target 8,5 juta ha. Hal ini menimbulkan konflik agraria, konflik terbesar di Kalteng di susul Sumut, Kaltim, Kalbar, dan Kalsel”.

Mas Ota, juga menyikapi soal penetapan sepihak atas status tanah (termasuk Kawasan Hutan) oleh Negara bahwa, banyak tanah yang dikuasai masyarakat adat/lokal yang “ditunjuk” sebagai kawasan hutan [33.000 desa berada di kawasan hutan], proses penetapan kawasan hutan lambat [baru 14,2 juta Ha /12% yang temu gelang], dll.  Contoh yang disebutkan dalam presentasi beliau adalah konflik Kesepuhan/adat Lebak-Banten dengan Pemerintah terkait perluasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, dan Konflik Pulau Padang terkait pemberian HTI pada PT.RAPP.

Diakuinya bahwa jumlah tanah masyarakat yang memiliki bukti kepemilikan formal masih terbatas (proses sertifikasi belum tuntas), dan pengambilalihan tanah masyarakat oleh penjajah Belanda dan tidak adanya proses pengembalian atas tanah tersebut pasca kemerdekaan kerap menimbulkan masalah lanjutan hingga kini.

Mengenai permasalahan dalam pemberian izin dan hak, diidentifikasi adanya pemberian izin dan hak di tanah yang masih dimiliki dikuasai masyarakat, misalnya: izin kebun, tambang atau perumahan. Deputi UKP4 ini menyebutkan kasus Bima konflik antara masyarakat dengan PT.Newmont, sebagai contohnya.

Menurutnya, diperlukan suatu pengaturan yang lebih baik dan jelas mengenai sanksi administratif bagi pelanggaran kewajiban perusahaan dan pemberi izin. Dalam hal ini, sering ditemui permasalahan bahwa pemberian izin dilakukan tanpa memperhatikan kelengkapan syarat-syarat yang diatur di dalam Permentan 26/2007. Karenanya, diperlukan peran aktif pemerintah pusat untuk memastikan pengawasan dan penegakan hukum adminsitratif yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah berjalan dengan baik. Diperlukan sanksi adminsitratif yang lebih ketat dengan dilengkapi mekanisme second-line administrative enforcement oleh Pemerintah Pusat. UKP4 memberikan rekomendasi bahwa ketentuan pembatalan perizinan dan pemberian sanksi oleh pemerintah pusat.

Dalam kesempatan diskusi Aftrinal Sya’af Lubis dari SHK Promoting Programe (KpSHK), menggambarkan semakin terkepungnya SHK (Sistem Hutan Kerakyatan) oleh semakin mudahnya perusahaan perkebunan kelapa sawit mendapatkan izin. Inal (panggilannya) mencontohkan “Tembawang (kebun karet masyarakat) di Kalbar berada di tengah-tengah (engklave) perkebunan sawit, bukan karena kesadaran perusahaan untuk mempertahankan kearifan lokal, tapi semata karena belum ada kesepakatan harga tanah dengan pemilik tembawang”,  ujarnya.

Inal juga mempertanyakan kelemahan Dirtjenbun Kementerian Pertanian dalam penyusunan prinsip dan kriteria ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil), prinsipISPO yang dianggap sesuai dengan keseimbangan PLANET, PEOPLE AND PROFIT yang lestari, padahal terlalu rendah pengawasannya dan nampaknya semata hanya syarat diatas kertas untuk meloloskan perusahaan dari tanggung jawabnya atas prinsip legalitas hukum, kriteria pengelolaan terbaik, prinsip pemantauan dan pengelolaan lingkungan, prinsip tanggung jawab terhadap pekerja, prinsip tanggung jawab sosial dan  komunitas, prinsip pemberdayaan masyarakat, dan prinsip keberlanjutan.

Ada perusahaan yang disebutnya “hamil duluan” bahkan melahirkan duluan, baru mengurus surat-surat nikah ibaratnya. Contoh perusahaan X belum bisa menunjukkan salinan atau copy sertifikat HGU (Hak Guna Usaha) karena masih dalam proses pengajuan ke Bupati setempat (sampai 2013), sementara IUP (Izin Usaha Perkebunan) baru keluar tahun 2010 dan ijin lokasi tahun 2012, anehnya sekarang sejak awal 2013 perusahaan ini sudah panen TBS (tandan buah segar) kelapa sawit, padahal panen pasir (perdana) kelapa sawit minimal berumur 4-5 tahun. “Enak jadi pengusaha sawit, modal kertas sakti dari Jakarta bisa mengambil ribuan hektar tanah dan menguasai hutan masyarakat (akunya hutan negara), dan dengan uang dari (Bank) Negara pula”, celoteh inal.

Inal mengusulkan kepada UKP4 agar dibentuk kembali Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, tujuannya bukan hanya untuk menindak perusahaan yang tidak memenuhi legalitas, tapi juga untuk menjerat pejabat-pejabat pembuat peraturan ini yang memberikan peluang penyelewengan peraturan, karena proses pengadaan tanah / izin usaha untuk perusahaan perkebunan merupakan lahan basah bagi para pejabat di pusat dan daerah.

Presiden SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit) Darto mneyebutkan “Rencana ekspansi perkebunan kelapa sawit terus dilanjutkan oleh pemerintah, target 20 juta ha pada tahun 2020 dengan produksi CPO 40 juta ton”.  Ini ekspansi besar-besaran dari sawit untuk terus menghabisi SHK-SHK yang masih ada sekarang.

Darto juga menggambarkan posisi tawar CPO indonesia dengan dunia luar, “Di Amerika ada standar CPO, bahwa CPO yang dihasilkan indonesia tidak bisa menurunkan emisi karbon, sehingga produk sawit indonesia tidak bisa masuk dalam klasifikasi ramah lingkungan”.

Diluar pro-kontra yang disebut black campaign, yang jelas SHK adalah praktek terbaik dalam pengelolaan hutan.

(Salam adil & lestari, Inal)

 

Permentan Pedoman Pemebrian Izin Usaha Perkebunan
SHKvs Izin Sawit Oleh Negara

 Revisi Permentan sumber konflik agraria

Revisi Permentan 26/2007 tidak sejalan dengan konsep kepemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara berkeadilan yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan.

 Revisi Permentan 26/2007

SHK vs Izin Sawit. Tahun 2012 telah melampaui target menjadi 9,3 juta ha dari target 8,5 juta ha.

 SHK vs Sawit

SHK vs Sawit. Bentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.

 SHK Vs Perkebunan Sawit. Ekspansi perkebunan kelapa sawit terus dilanjutkan oleh pemerintah.

SHK vs Perkebunan Sawit. Ekspansi perkebunan kelapa sawit terus dilanjutkan oleh pemerintah, target 20 juta ha pada tahun 2020.

  SHK vs Izin Sawit oleh Negara

SHK Vs Perkebunan. “Banyak penyalahgunaan oleh dirjendbun dan pengusaha-pengusaha perkebunan yang melanggar hak-hak masyarakat”.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Lihat post lainnya