K.P. SHK

Ukur Karbon Demi Pengakuan

Perubahan iklim tak hanya dibicarakan para birokrat di meja-meja perundingan tingkat regional dan internasional. Petani hutan pun kerap lebih jauh mempersiapkan diri dalam bentuk tindakan. Petani hutan SHK Lestari di Lampung sudah belajar menghitung karbon dari hutan yang mereka kelola.

Pada pertemuan Rembuk Nasional Keadilan Iklim 23-24 September 2013 bertempat di Hotel Sahati, Ragunan-Jakarta Selatan, yang diselenggarakan 12 organisasi non pemerintah (ornop) yang tergabung dalam Civil Society Forum fo Climate Justice, para wakil masyarakat lokal (adat) dari beberapa wilayah Sumatera, Kalimantan, Nusatenggara Timur, Jawa dan Bali memaparkan perkembangan di masyarakat terkait isu perubahan iklim dan respon mereka.

“Kami dibantu LSM internasional belajar ukur kandungan karbon hutan. Kami perlu tau itu, karena kami alami perubahan pola tanam dan panen. Tanaman coklat dan kopi kami berubah,” ujar Agus Guntoro dari SHK Lestari, Lampung, saat mengikuti Rembuk Nasional Perubahan Iklim di Sahati.

Kelompok SHK Lestari adalah kelompok yang terdiri dari 200-an kepala keluarga (KK) yang mengelola Blok Community Forestry di Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdurahman di Lampung. Selama hampir 10 tahun kelompok petani yang berbekal surat kesepatan dengan Dinas Kehutanan Lampung telah mengelola areal ratusan hektar hutan tersebut secara mandiri. Petani menanami area khusus Tahura dengan tanaman jangka panjang yaitu, kopi, coklat dan durian.

“Dulu kami dianggap perambah, tapi sekarang tidak. Walau mindset Pemerintah tak seluruhnya berubah, mereka juga belum begitu percaya pada pemberdayaan. Jadi kami masih butuh dampingan teman-teman,” ujar Agus lebih lanjut.

Mitigasi untuk Pengakuan

Pandangan Pemerintah yang menganggap petani hutan akan merusak hutan masih berkeliaran dan belum sirna. Mengakui dan memberikan kepastian hukum bagi petani SHK Lestari, Pemerintah masih berbuat setengah hati. Pada 2 tahun lalu (2011) berkembang usulan untuk melahirkan peraturan daerah tentang PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarkat) di Lampung tidak memuaskan para pihak.

“Kami, dulu berharap perda itu bisa meningkatkan posisi tawar kami (petani hutan yang bergabung di SHK Lestari-red), terakhir itu jadi mainan politik saja. Makanya kami berjuang dengan cara lain. Kami turuti semua yang dingini pihak Tahura, termasuk mulai menanami pohon asli tanaman di Tahura,” kata Agus.

Saat ini SHK Lestari sudah punya hitungan karbon hutan. Dengan membuat 6 contoh plot atau blok alami di areal kelola kelompok dan dibantu secara penghitungan ilmiah oleh WWF (World Wildlife Fund) dari Jakarta, kelompok tani hutan SHK Lestari, Pesawaran Lampung, diketahui ada 15.000 ton stok karbon di hutan mereka.

“Ini langkah yang kami ambil. Hitung karbon kami lakukan agar Pemerintah melek (baca: melihat) dan memberikan kepastian hukum atas hak kami mengelola Blok Forestry di Tahura. Walau banyak orang dinas tak paham apa itu REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Degradation-red),” jelas Agus.

Masyarakat mengelola sebagian dari areal konservasi hutan menjadi masalah sedari dulu bagi Pemerintah. Dan tak segan pemerintah mengusir dan menidas mereka. SHK Lestari yang sudah melakukan pendekatan sejak lama dengan Dinas Kehutanan Lampung, masih tetap meyakin Pemerintah mereka bisa mengelola hutan dengan lestari.

“Kami ini butuh areal produksi, kami bergantung. Semua larangan pemerintah kami turuti. Dulu kami dianggap pengganggu, kami buktikan kami bukan pengganggu. Menghitung karbon juga agar kami diakuinya,” kata Agus. (tJong)

Leave a Reply

Lihat post lainnya