K.P. SHK

SHK Cegah Desa Tidak Sakit

Catatan Syam Asinar Radjam

“Sakit mata seorangan, sakit mata penghidupan sekampungan,” tutur Supiyani, lelaki 60-an tahun, warga desa Muara Siran. Ucapannya bukan tanpa alasan.

Desa Muara Siran berada di wilayah kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Perjalanan ke desa ini memakan waktu sekitar 4 jam dari Samarinda sampai ibukota kecamatan, kemudian dilanjutkan dengan perahu motor menghulu Sungai Mahakam berbelok ke Sungai Ancalong sampai muara sungai Siran, tempat desa ini berada.

Wilayah seluas 42.201 hektar ini dihuni oleh 369 keluarga. Jumlah penduduk saat ini sebanyak 1.356 jiwa. Sebagian besar warga hidup sebagai nelayan. Dengan wilayah yang hampir sepanjang tahun tergenang air, ikan tersedia seolah tak ada habisnya. Kawasan tangkap ikan berada di Sungai Ancalong, Sungai Siran, dan terutama Danau Siran yang berada dalam ekosistem hutan rawa gambut.

Ekosistem dan sistem hutan kerakyatan yang telah eksis didalamnya mendatangkan berkah bagi penduduk. Dari danau dan sungai, rata-rata sebanyak 8 ton ikan air tawar berhasil ditangkap setiap hari. Jenis ikan air tawar yang ditangkap antara lain, gabus, baung, lais, biawan, dan lele. Hasil tangkapan ikan melonjak di musim hujan. Terutama, ikan lele dan ikan biawan. Berton-ton ikan didapat sekali tangkap.

Para nelayan Muara Siran menggunakan alat tangkap tradisional. Rawai, tempirai, dan jenis perangkap tradisional lain. Penangkapan ikan dengan menggunakan racun maupun cara “setrum” terlarang bagi mereka.

Selain untuk konsumsi, ikan hasil tangkapan dijual dalam keadaan segar (basah) maupun diproses menjadi ikan kering dan ikan asap (salai). Produksi ikan dari desa ini semakin beragam dengan dimulainya kegiatan budidaya ikan mas dalam kerambah.

Kepala Desa Muara Siran, Hairil atau akrab dipanggil Pak Uhai, mengaku bahwa kegiatan ekonomi utama warganya adalah perikanan air tawar. “Bisa dibilang, hampir semua warga sini nelayan. Ada yang nelayan penuh, ada yang mencari ikan sembari menekuni profesi lain”, ujarnya. Sebelum menjabat kepala desa, Hairil juga bekerja sebagai nelayan.

Disadari, berkah alam yang dirasakan masyarakat Muara Siran seluas ini amat berkait dengan kelestarian ekosistem rawa gambut. Danau Muara Siran yang memiliki luas sekitar 750 hektar merupakan habitat bagi ikan untuk hidup dan berkembang biak. Kelestarian ikan di danau ini amat bergantung pada kelestarian hutan rawa gambut yang mengelilinginya.

Karena itu, Desa Muara Siran menolak tawaran masuknya investasi pembukaan kebun kelapa sawit yang mengubah bentang alam sekaligus berpotensi merusak kelestarian hutan rawa gambut. Menurutnya, bila hutan rawa gambut rusak maka persediaan ikan akan habis. Beberapa rawa di desa-desa tetangga telah dialihfungsikan untuk kebun sawit. Akibatnya para nelayan mesti mencari ikan sampai ke luar desa mereka, termasuk ke wilayah ke Muara Siran.

Pilihannya, masyarakat dan pemerintahan desa ini merancang tata ruang desa terkait pengelolaan sumber daya alam mereka. Termasuk mempertahankan kelestarian hutan rawa gambut yang ada. Sesuai rencana tata ruang dan tata wilayah, desa Muara Siran membagi wilayahnya menjadi beberapa zona pengelolaan sumber daya alam sesuai fungsinya. Pembagian zona tersebut meliputi (1) kawasan agroforestry, (2) cagar alam, (3) ekowisata gambut, (4) kebun energi, (5) perhutanan masyarakat, (6) pemanfaatan kayu, (7) pemukiman, (8) zona perlindungan inti, (9) zona pertanian semusim, (10) pusat pendidikan gambut, dan (11) zona rencana pengembangan pemukiman.

desa_muara_siran

“Rancangan ini sangat dibutuhkan untuk melindungi masa depan sumber penghidupan penduduk Muara Siran,” terang kepala desa Muara Siran. “Jangan sampai sumber perikanan, sumber kayu, wilayah pertanian, dan lain-lain beralih fungsi.

Ibarat tubuh manusia, bila ada organ yang terganggu fungsinya, maka secara keseluruhan tubuh akan merasa dampak. Demikian juga dengan ekosistem sebuah kawasan yang memiliki fungsi alam, sosial, dan ekonomi pada masyarakat di sekitarnya. Bila fungsi alamnya terganggu, dampak buruknya akan dirasakan masyarakat.

Benar apa yang dikatakan Supiyani. Sakit mata dirasakan per orangan, sakit sumber mata pencaharian dirasakan orang sekampung.”

# # #

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Lihat post lainnya