Bogor, Rabu, 30 Maret 2011. Dalam Diskusi berjudul “Peluang SHK dalam implementasi REDD+” yang dihadiri rekan-rekan dari CIFOR, DtE, KPA, LATIN, FKKM, RMI, FWI, JKPP, AMAN dan SAINS. Menegaskan bahwa SHK adalah solusi perubahan iklim, bukan REDD+.
Pola penguasaan-pengelolaan hutan dan kawasan hutan oleh rakyat (masyarakat) dalam kenyataannya tergambar dari beberapa temuan sistem kelola kawasan hutan yang berlandaskan aturan adat-istiadat setempat yang berlangsung secara turun-temurun.
Bentuk-bentuk hutan kerakyatan dengan nama-nama lokal seperti simpung (Kalimantan Timur), empus (Aceh), tembawang (Kalimantan Barat), pangale (Sulawesi Tengah), huma atau talun (Jawa), parak (Sumatera Barat), repong (Lampung), leuweng (Jawa Barat) dan lain-lain. Untuk mempermudah sebutan bagi pola penguasaan-pengelolaan hutan dan kawasan hutan oleh rakyat yang beragam tersebut, SHK (sistem hutan kerakyatan) menjadi pilihan sebutan yang pas bagi para penggagas dan pelaku dari bentuk-bentuk lokal yang beragam tersebut.
“Kepentingannya saat ini KpSHK ingin melihat kembali sejauh mana wilayah-wilayah yang dulu kita promosikan menjadi wilayah kelola rakyat dan didorong menjadi satu praktek pengelolaan dibawah maupun dikaitkan dengan REDD+ saat ini” jelas M.Djauhari (Koordinator KpSHK).
KpSHK semangatnya mendorong SHK sebagai suatu gerakan bagaimana masyarakat mendapat pengakuan atas hak wilayah kelola kawasan hutan. REDD+ belum menemukan konteks pengelolalan sumberdaya hutan. Ini sebenarnya yang mau disiapkan KpSHK mengawal SHK jangan sampai gerakan yang lebih dari 20thn ini rusak oleh gerakan REDD+.
KpSHK harus siap merespon ini sebagai suatu interfensi pembangunan di bidang kehutanan yang nantinya akan memberikan dampak kepada masyarakat sekitar hutan. Saat interfensi ini membentur SHK, masyarakat sekitar hutan terancam sumber energi, produksi dan konsumsinya, kita punya tawaran dengan model SHK yang sudah berjalan lama, mengawal SHK sebagai sistem yang selama ini kita promosikan untuk masyarakat mendapatkan pengakuan atas kawasan hutan.
Menurut Idham Arsyad (Koordinator KPA) bahwa istilah “Sistem Hutan Kerakyatan (SHK)” suatu konsepsi yang dibangun teman-teman yang bergabung dengan KpSHK untuk arena sekaligus ruang untuk advokasi pengakuan, termasuk sebenarnya mendorong praktek-praktek yang bisa dilegitimasi bahkan diakui oleh negara yang kita sebut dengan tenurial system.
“Menurut saya REDD+ ini suatu sistem yang dibangun yang sama sekali tidak membicarakan tenurial system terutama hal pengelolaan dan penguasaan, kalaupun dipaksakan REDD+ tidak punya dasar. REDD suatu jenis interfensi baru dalam perubahan tata ruang international, boleh jadi dia sebenarnya imaginer dalam bentuk soal sistem tenurial, tapi dalam bentuk wujud kegiatan bisa menjadi nyata. Mau tidak mau dia mempengaruhi tahapan-tahapan advoaksi kita, yang tadinya kita menjadikan Sistem Hutan Kerakyatan sebagai ruang untuk menunjukkan kepada rezim siapapun, bahwa hargailah tenurial system” tegas Idham Arsyad.
Arif Aliadi (LATIN) melihat dua hal disini, soal konteks SHK dalam REDD+, pertama SHK akan merespon antisipasi kelemahan SHK oleh REDD+. Kedua SHK meresponnya bahwa apakah REDD+ bisa memperkuat SHK? Keduanya itu membutuhkan kejelasan informasi kita tentang sejauh mana kekuatan organisasi masyarakatnya, misalkan untuk mengidentifikasi hak-hak masyarakat yang mungkin akan dilanggar oleh REDD+ atau yang mungkin bisa didapatkan oleh REDD, misalkan suatu informasi seperti FPIC, apakah memang sudah ada kejelasan dalam REDD tentang FPIC. “Apakah ketika REDD ada dalam SHK justru memperjelas kawasan yang dikelola oleh masyarakat, apakah akses masyarakat memperoleh sumber daya hutan juga diakui? Dengan adanya REDD justru memproteksi kawasan untuk dijadikan akses”, urai Arif.
Sejauh mana pengetahuan lokal yeng menjadi respon masyarakt atas REDD+. Masyarakat memiliki mitigasi dan adaptasi yang saat ini tidak terdokumentasi. Apakah ini diakui oleh proyek REDD, atau proyek ini program tersendiri yang tidak akan mengesampingkan kemampuan masyarakat tentang mitigasi, proteksi hutan sendiri.
Betty Nababan (DtE), menilai peran SHK sentral di PI (perubahan iklim), bermain di isu PI yang lebih besar dari pada REDD+. Isu PI sebagai alat masuk kembali untuk memperkuat identifikasi SHK yang sudah ada. Dokumentasi 1.800 desa site SHK di indonesia diperkenalkan kembali kepada pengambil kebijakan. Penting KpSHK bersinergi dengan rekan-rekan lainnya. “REDD hanya bagian kecil dari isu perubahan iklim, justru SHK sebagai proyek besarnya” tegas Betty.
SHK, bicara suatu sistem yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, dan konon mampu melestarikan hutan. Berperan penting dalam mitigasi PI. “Bicara REDD+ malah memperkecil SHK”, jelas Andre Santosa (FKKM).
SHK adalah solusi perubahan iklim, bukan REDD+. Sebenarnya di indonesia perubahan iklim itu bisa diatasi dengan beberapa macam bentuk pengelolaan sistem hutan kerakyatan. “Solusinya bukan REDD+, solusinya adalah hutan kerakyatan yang ada di masyarakat” tegas Idham Arsyad.
Dian Intarini (CIFOR), yang saat ini sedang melakukan penelitian tentang Hutan Desa di Ketapang, ingin meneliti bagaimana nanti 35 tahun kedepan setelah implementasi Hutan Desa. Membayangkan di Brazil bagaimana sebuah negara memberikan hak-hak masyarakat lokal secara mutlak. “Bagaimana SHK menyikapi REDD, bisa positif atau negatif. Bisa dilihat dari trend perkembangan REDD, apakah lebih berpihak kepada masyarakat atau carbon corporate? Harus diwaspadai pendekatan REDD melalui additionality, karena hanya menghitung peningkatan carbon stock yang tinggi, dan mengabaikan lifelyhood”, urainya.
Pilot REDD+ pendekatannya pengambil keputusan di dareah. REDD+ sebagai pendekatan pembangunan yang membawa janji ‘uang redd’ menjadi ketertarikan baru bagi pengambil keputusan di daerah, jadi tawaran yang membawa suatu investasi, ada perlawanan atas investasi sawit. Kalau kita pandang project REDD memberikan suatu kekuatan, ada ruang KpSHK saat SHK didorong untuk masuk ke pilot project REDD, tapi ini menjadi suatu kesempatan yang tertutup bagi SHK saat ada investasi sawit masuk ke daerah, ada investasi REDD, maka si SHK menjadi korban dari dua invesasi ini. “Peluang yang bisa SHK dorong di daerah dari REDD+ dibanding investasi-investasi lain seperti sawit, dan tambang” terang Djauhari.
Perkembangan SHK di Kalimantan Timur, yang dulu ada rotan, sangat getol promosi SHKnya sampai internasional, sekarang sudah tidak ada karena dihajar oleh sawit dan tambang. Konteks promosi advokasi kita lebih maju di level nasional, tapi kewenangan di wilayah kita kalah dengan keputusan Gubernur, keputusan Bupati. Nah merebut ruang ini bagaimana? REDD+ bisa berdampak positif atau negatif dalam tenurial dikaitkan dengan kewenangan Bupati mengambil keputusan, ini harus dimunculkan. Dulu sejak Bupati boleh mengeluarkan IPK (baca: Ijin Pemanfaatan Kayu), si SHK dihajar habis, site-site SHK menjadi kebun sawit.
“REDD melihat hutan sebagai komoditas semata, SHK melihat hutan sebagi ibu mereka. Saya tidak bisa melihat hubungan SHK dengan REDD, sementara cara pandangnya berbeda”, ujar Betty.
“Hal yang disampaikkan Djauhari adalah tantangan konkrit realitas di masyarakat, bagaimana menyelamatkan SHK dari berbagai gempuran, sawit, tambang dan REDD juga. Karakter-karakter SHK yang ada dan sejauh mana profil SHK itu bisa menjadi alat untuk melindungi masyarakat sendiri dan mensiasati REDD, kalau memang REDD mau dianggap sebagai suatu cara untuk melindungi masyarakat”, Arif Aliadi menjelaskan.
Kejelasan hak pengakuan adalah sangat penting. REDD sama saja dengan ‘permainan-permainan’ sebelumnya, apapun permainannya, “Kita harus tetap mendorong pengakuan terhadap hak-hak masyarakat” Annas Radin Syarif (AMAN) menegaskan.
Sektor kehutanan yang sangat populer akan konflik, sektor kehutanan tidak punya nas hukum menguasai tanah diatas pohon-pohon. Diskusi hari ini diperlukan satu aksi konsolidatif, atas hal-hal yang disebut taktis kan strategis soal ranah, jika tidak ruwetnya kedalam (sesama NGO). “Diperlukan konsolidasi baru untuk melihat fenomena baru, saya menyebutnya sebagai suatu perubahan politik tata ruang internasional”, Idham Arsyad menegaskan.
KpSHK ingin mengangkat kembali soal site-site SHK. Diskusi ini akan menjadi suatu bahan bagi KpSHK. Sejak 2008 KpSHK mencoba mendampingkan semua inisiatif pengelolaan hutan yang berkait dengan masyarakat, baik yang datangnya dari perusahaan atau pemerintah dengan SHK yang ada, kita coba dampingkan, hingga diketemukan mana model yang paling baik.
Langkah-langkah selanjutnya menyusun agenda konsolidasi membuat perubahan politik tata ruang internasional. SHK adalah solusi perubahan iklim, bukan REDD+.