K.P. SHK

Sertifikasi Rotan: Fobia Tambah Beban

Inisiatif meningkatkan nilai tambah ekonomi rotan mulai dikenalkan kepada para pelaku sektor mebel dan kerajinan rotan. Bersama beberapa LSM yang mendukung pengembangan komoditas rakyat, Aliansi Organis Indonesia (AOI) dan KpSHK, NTFP-EP (Non Timber Forest Product-Exchange Program) bertemu dengan anggota-anggota asosiasi mebel dan kerajinan dari ASMINDO dan AMKRI untuk tujuan memperoleh masukan dari kelompok usaha mebel dan kerajinan rotan tentang sertifikasi rotan di Hotel Santika, Cirebon (10/1).

“Saat ini kami mulai bergairah lagi. Ini kemenangan bagi kami, sejak Nopember lalu waktu ditetapkan stop ekspor rotan bahan baku oleh Pemerintah, kami di Cirebon kedatangan banyak buyer,” ujar Sumarja dari ASMINDO Cirebon.

Pembicaraan tentang inisiatif sertifikasi rotan dalam kondisi politik sektor rotan masih berkubang di tarik-menarik “stop ekspor dengan buka ekspor” antar kelompok pelaku usaha rotan (mebel dan bahan baku), inisiatif sertifikasi rotan seperti inisiatif yang memberikan beban baru bagi pengusaha dan pengrajin mebel rotan.

“Bukan hanya rugi uang, pertimbangannya waktu tambah molor. Ijin angkut hingga pengapalan saja membutuhkan waktu lama dan uang yang tidak sedikit. Apalagi ditambah dengan perlu proses sertifikasi rotan,” Sumarja menjelaskan keenganan kelompoknya untuk mulai memikirkan tentang sertifikasi rotan.

Di tempat yang terpisah Julius Hoesan dari APRI juga mengungkapkan keberatan adanya sertifikasi rotan. Keberatan adanya sertfikasi rotan juga akan memberikan beban baru bagi pelaku usaha ekspor bahan baku rotan.

“Sekarang saja, kami mau kirim rotan dari Makassar dan Palu ke Jawa harus melalui pemeriksaan Sucofindo. Kirim rotan ke Jawa lebih sulit dibanding kirim narkoba,” ujar Julius Hoesan melalui pesan singkat kepada penulis beberapa waktu lalu sebelum ada pertemuan awal inisiatif sertifikasi rotan di Cirebon.

Rentetan pungutan sah dan tidak sah di sektor rotan sertfikasi rotan menjadi salah satu fobia “tambah beban biaya dan waktu”. Dalam perjalanan atau pengiriman rotan selain pelaku harus memiliki ijin pemungutan hasil hutan rotan, pelaku usaha rotan harus berhadapan dengan banyak pihak, dinas retribusi hasil bumi, dinas kehutanan setempat, polisi, dinas beacukai, dinas karantina dll.

“Berkaca ke mebel kayu, kami ini sekarang banyak mengeluarkan biaya soal sertifikasi produk kami. Untuk SVLK (sertifikasi, verifikasi, legalitas kayu) saja kami harus mengeluarkan biaya sekitar 400 juta, kalau pakai TFT bisa 12.000 dollar pertahun, nah bagaimana kalau nanti ada sertifikasi rotan, kami akan kena biaya lagi,” keluh Frans, pengusaha mebel dan kerajinan rotan yang merupakan anggota dari AMKRI. (tJong)

Leave a Reply

Lihat post lainnya