K.P. SHK

Gunung Kidul: Sertifikasi Hutan Rakyat

Sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari (Dok.KpSHK)
Sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari (Dok.KpSHK)

Diskusi soal “Pengembangan Model Sertifikasi dalam Pengelolaan Hutan Lestari” yang diselenggarakan KpSHK di Bogor 10/02/2014. Zain Noor Rahman dari Perhimpunan SHOREA berbagi pengalaman kepada kita semua bagaimana kisah Sertifikasi Hutan Rakyat di Gunung Kidul : Peluang dan Tantangan.

Menurut Zain, Sertifikasi hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dimulai pada kisaran tahun 2005. Inisiatif sertifikasi bekerjasama dengan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) tersebut secara kebetulan gayut dengan inisiatif pengembangan Rancang Bangun Unit Manajemen Hutan Rakyat Lestari (RBUMHRL) yang dilakukan bersama oleh Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR) Fakultas Kehutanan UGM, ARuPA dan SHOREA mulai tahun 2004.

RBUMHRL secara umum berusaha melakukan penguatan kapasitas teknis dan penguatan kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat. Penguatan kapasitas teknis dilakukan dengan transfer pengetahuan dan keahlian dalam penataan kawasan, inventarisasi kayu, menyusun rencana kelola dan rencana pengaturan kelestarian hasil hutan.

Penguatan kelembagaan petani hutan rakyat dilakukan dengan membentuk atau mengaktifkan kelompok tani hutan di tingkat dusun, membentuk paguyuban petani hutan rakyat di tingkat desa dan membentuk koperasi di tingkat kabupaten.

Untuk menjadi unit usaha yang diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan anggotadibentuklah Koperasi Serba Usaha Wana Manunggal Lestari (KWML). Koperasi ini berusaha dalam bidang perdagangan kayu sertifikasi, penggergajian kayu dan lain-lain. Pada awal berdirinya, koperasi ini terdiri atas 3 Paguyuban Kelompok Tani Hutan Rakyat (PKTHR) yang ada di 3 Desa yaitu Desa Dengok Kec.Playen, Desa Kedung Keris Kec.Nglipar dan Desa Giri Sekar, Kec.Panggang dengan total anggota 635 orang.

KWML mendapatkan 2 sertifikat pengelolaan hutan rakyat, yaitu sertifikat Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML-LEI), dan sertifikat Legalitas Kayu pada Hutan Hak (SVLK). Hutan rakyat yang dikelola oleh KWML dibatasi penebangan pohonnya maksimal sebesar 120 meter kubik kayu per bulan, untuk menjaga kelestarian produksi dan kelestarian lingkungan.

KWML memperoleh sertifikat Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari – Lembaga Ekolabel Indonesia (PHBML-LEI) seluas 815,18 hektar, pada 20 September 2006 oleh Lembaga Sertifikasi Rheinland Indonesia. Selanjutnya pada tahun 2012, dilakukan penilikan dan perluasan areal hutan rakyat sehingga luas areal kerja menjadi 1.153,32 hektar.

KWML juga memperoleh sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu pada Hutan Hak seluas 594,15 hektar, pada 10 Oktober 2011, oleh Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) dari Sucofindo. Areal kerja hutan rakyat seluas 594, 15 hektar tersebut meliputi 3 desa, yaitu Dengok, Giri Sekar, dan Kedung Keris.

KWML telah dilakukan penilikan pertama pada tahun 2013, sekaligus dilakukan perluasan areal hutan rakyat seluas 642,10 hektar di  3 Desa, meliputi Banyu Soca, Tepus, dan Nglegi. Sampai saat ini, total luas hutan rakyat VLK seluas 1.236,25 hektar. Lingkup areal kelola KWML dengan sertifikasi VLK meliputi 6 desa, yaitu Dengok, Giris Skar, Kedung Keris, Banyu Soca, Tepus, dan Nglegi.

Kedua skema sertifikasi tersebut berusaha mendapatkan insentif pasar dengan memberikan jaminan bahwa hutan rakyat telah dikelola secara lestari menurut standar dan kriteria tertentu (PHBML) dan bahwa kayu rakyat yang diperdagangkan adalah legal, bukan hasil curian atau praktek illegal yang lain (SVLK).

Insentif pasar yang diharapkan muncul dengan sertifikasi adalah: 1).Keberpihakan pasar (sentimen positif) untuk membeli kayu tersertifikasi ketimbang kayu non-sertifikasi yang tidak jelas asal usulnya dan legalitasnya. 2).Premium price sebagai bentuk penghargaan terhadap pengelolaan hutan lestari dan produksi kayu legal.

Pada kenyataannya, yang berminat membeli kayu tersertifikasi adalah pasar khusus yang diwakili oleh asosiasi industri yang memiliki komitmen terhadap pelestarian hutan. KWML sudah pernah menjajagi pemasaran kayu sertifikasi dengan sebuah group perusahaan lokal yang mendapatkan order dari buyer asing. Ternyata order kayu sertifikasi hanya digunakan secara terbatas untuk membuat sampel produk berbahan kayu sertifikasi. Setelah itu order kayu sertifikasi terhenti. Sementara premium price tidak dengan mudah didapatkan karena sangat tergantung proses negosiasi harga. Harga kayu tersertifikasi hingga sekarang tetap mengikuti mekanisme pasar yang wajar.

Kendala sertifikasi terutama berpangkal pada biaya sertifikasi yang mahal. Selama ini kegiatan sertifikasi mendapatkan pendanaan penuh dari donor karena biayanya yang cukup mahal. Hingga sekarang pengelola hutan rakyat merasa belum mampu membiayai sertifikasi. Ini seperti mengulang sertifikasi tanah di wilayah pedesaan dimana sertifikat tanah warga desa dibuat dengan biaya Program Nasional (Prona).

Biaya yang mahal juga bisa disebut sebagai salah satu sebab mengapa skema sertifikasi sering terhenti pada skala pilot project dan selalu tersendat untuk perluasan skala kegiatannya. (Oleh: Zain Noor Rahman, Perhimpunan SHOREA)

Foto KpSHK. Pengelolaan Hutan Lestari
Foto KpSHK. Pengelolaan Hutan Lestari

Leave a Reply

Lihat post lainnya