Kasus korupsi sudah sedemikian akut di negeri ini, skandal Bank Century dan pemilihan deputi Gubernur Bank Indonesia, Gedung DPR, Wisma Atlet, dll, satu-demi satu kasus korupsi terkuak, sampai menyentuh elit partai berkuasa, bahkan korupsi ditubuh penegak hukum sendiri. Pantas lembaga survey Potiltical & Economic Risk Consultancy (PERC) mencatat bahwa indeks korupsi indonesia 9 dari skala 0 s/d 10.
ICW (Indonesia Corruption Watch), mengatakan kasus korupsi di sektor kehutanan mudah menguap. Pas seperti karbon menguap mencemari udara, tanpa jejak dan tak bisa ditangkap. Hanya ‘daun’ yang akan menangkap dan memenjarakannya sampai kedalam tanah.
Korupsi di Sektor Kehutanan
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyatakan ada 100 perusahaan yang terindikasi menyalahi aturan perambahan hutan. Akibatnya, negara diduga telah dirugikan Rp250 triliun. Angka kerugian tersebut muncul berdasarkan perhitungan akumulasi dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan (PSDH) di Kalimantan Tengah (Kalteng), Kalimantan Timur (Kaltim), dan Kalimantan Barat (Kalbar) yang mencapai Rp250 triliun. Ke-100 perusahaan yang terindikasi menyalahi aturan itu merupakan perusahaan tambang dan perkebunan baik dari dalam maupun luar negeri. Bentuk pelanggarannya yaitu menduduki kawasan tanpa izin dan menebang kayu tanpa prosedur. Pelanggaran itu menyalahi UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Berdasarkan hasil investigasi tim penyidik yang terdiri dari petugas Kemenhut, jaksa, dan polisi, diduga perusahaan-perusahaan tersebut terindikasi melakukan kolusi dan korupsi dengan pejabat pemerintah daerah (pemda) setempat.
Kasus korupsi penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Riau, bekas Kadishut Riau Syuhada Tasman selaku tersangka sudah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dua tersangka pejabat Riau yakni, Bupati Kampar Burhanuddin Husin dan Bupati Siak Arwin As.
Audit yang dilakukan oleh Ernst & Young pada tahun 1999 mendokumentasikan adanya kesalahan sistematis dalam pengelolaan keuangan, berbagai praktik kecurangan oleh penerima subsidi DR (Dana Reboisasi) dan mencatat kehilangan dana publik sejumlah US$ 5,2 miliar selama lima tahun periode tahun anggaran 1993/4-1997/8.
Selama Orde Baru, kurangnya transparansi dan akuntabilitas di seluruh sistem administrasi DR oleh Kementerian Kehutanan paling sedikit US$ 600 juta diyakini telah digelapkan, selain itu, Kementerian Kehutanan juga menyalurkan sekitar US$ 1,0 miliar untuk subsidi keuangan di bawah program HTI. Banyak perusahaan penerima DR yang menipu dengan melipatgandakan biaya investasi mereka dan/atau menambah luas lahan yang ditanami untuk memperoleh jumlah dana yang lebih besar daripada DR yang seharusnya mereka terima. Beberapa penerima subsidi DR juga menebang hutan di wilayah konsesi mereka dan tidak pernah menanamnya kembali sesuai dengan yang dipersyaratkan untuk mengembangkan HTI yang produktif. Sementara itu, Kementerian Kehutanan paling sedikit telah menyalurkan dana sebesar Rp 1,2 triliun dari DR sebagai pinjaman berbunga rendah selama periode Soeharto, tetapi sebagian besar perusahaan penerima telah menipu negara dengan tidak membayar hutang mereka.
Setelah masa pemerintahan Soeharto, korupsi dan penyimpangan masih terus mencemari berbagai proyek rehabilitasi lahan dan hutan yang didanai oleh DR. Dalam beberapa tahun terakhir, beredar berbagai laporan yang menyebutkan keterlibatan sejumlah pejabat kabupaten dan provinsi dalam penyalahgunaan DR untuk membiayai proyekproyek rehabilitasi hutan fiktif. Di beberapa daerah, sejumlah pejabat juga dilaporkan telah ‘membengkakkan’ biaya proyek DR, sementara para pejabat lainnya meminta suap atau imbalan yang tidak semestinya, selain itu, para pejabat yang korup diduga telah melakukan kecurangan mendepositokan sekitar Rp 2,3 triliun selama tahun 2002-2005 bukan menggunakannya untuk reboisasi atau rehabilitasi hutan.
Penyelidikan KPK (Desember 2009) menyatakan bahwa para pejabat senior di Kementerian Kehutanan dan DPR telah terlibat dalam proses pengalihan penipuan sekitar Rp 180 miliar dana anggaran yang disisihkan untuk program kontrak GN-RHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan atau GERHAN) tanpa tender dalam proyek pengadaan sistem komunikasi radio terpadu tahun 2007. Untuk mengamankan kontrak ini, direktur perusahaan Anggoro Widjojo telah membayar Rp 125 juta dan 220.000 dolar Singapura untuk menyuap sembilan anggota DPR Komisi IV, yang mengawasi persetujuan anggaran Kementerian Kehutanan pada bulan Februari dan November 2007 (Dipa dkk. 2009).
ICW (Indonesia Corruption Watch), Juli 2007, juga menyuarakan keprihatinan bahwa sekitar Rp 2,3 triliun DAK-DR (Dana Alokasi Khusus-Dana Reboisasi) yang dialokasikan ke pemerintah daerah selama tahun 2002-2005 telah disimpan dalam bentuk sertifikat di Bank Indonesia agar dapat menghasilkan bunga dan/atau diinvestasikan di pasar modal, menunjukkan bahwa sejumlah besar DR tidak diinvestasikan untuk merehabilitasi sumber daya hutan di Indonesia, melainkan digunakan oleh pejabat di berbagai tingkatan untuk menghasilkan keuntungan investasi.
Korupsi pada Alih Fungsi Lahan Gambut untuk Perkebunan Sawit
Luas lahan gambut di indonesia lebih dari 24,5 juta ha yang tersebar di Sumatera 8,25 juta ha, Kalimantan 6,79 juta ha, Papua 4,62 juta ha, daerah lainnya 1,74 juta ha. Saat ini, Indonesia memiliki 64,2 juta hektar hutan primer, 24,5 juta hektar lahan gambut, serta 36,6 juta hektar hutan sekunder. Pemerintah mempersilakan para pengusaha, termasuk pengusaha kelapa sawit, untuk memanfaatkan hutan sekunder sebagai lahan sawit. Sekitar 3,5 juta hektar gambut telah dialihfungsikan khusus menjadi perkebunan sawit, jutaan hektar hutan gambut berubah fungsi menjadi perkebunan sawit mulai dari Sumatera, Kalimantan, hingga Papua.
Laju konversi lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia berlangsung besar-besaran. Menurut SW (Sawit Watch) tiap tahun, sedikitnya 50.000 hektar lahan gambut jadi kebun sawit. Alih fungsi lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit terjadi di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalbar, dan Riau. Alih fungsi dilakukan oleh perkebunan besar. Karena pelanggaran dibiarkan, masyarakat sekitar perkebunan di beberapa daerah ikut membuka lahan gambut untuk kebun sawit rakyat.
Selain kerusakan ekologis, ekspansi perkebunan kelapa sawit juga menimbulkan konflik dengan masyarakat adat. SW mengatakan, sepanjang tahun 2010 sudah 12 warga adat di Tapanuli Selatan, Jambi, Riau, Sumsel, dan Kalbar ditangkap petugas karena menuntut hak adat. Hingga tahun 2010, ada 630 komunitas terlibat konflik dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit karena mempertahankan hak mereka.
Korupsi pada Alih Fungsi Lahan Gambut untuk Tambang Batubara.
Industri batubara di Indonesia ditempatkan sebagai dua dari tiga besar eksportir terbesar batubara thermal pada tahun 2015 (Wood Mackenzie). Enam dari sepuluh perusahaan pemasok batubara dunia berasal dari Indonesia. Peningkatan produksi di tambang ditambah proyek lahan hijau akan mendorong Indonesia untuk account dengan bagian terbesar dari pertumbuhan produksi batubara thermal untuk ekspor. Indonesia terus menarik investor baru untuk mempertahankan dalam meningkatkan produksi dari pesaing terbesar Australia. Pada tahun 2020, 60% produksi baru dari proyek lahan hijau akan digunakan untuk pasokan ekspor.
Proses alih fungsi lahan hutan menjadi kawasan tambang, makin membuat program penghutanan kembali menjadi tak berarti. Pemerintah mengeluarkan kebijakan pembabatan hutan alam tersisa, lewat PP No 02 tahun 2008, yang menyewakan hutan lindung untuk dikeruk dan menggunakan kayu alam untuk industri pulp dan kertas. Kebijakan lain yaitu UU No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, serta kebijakan penggunaan lahan gambut untuk kebun besar kelapa sawit.
Fakta menunjukkan tidak ada daerah makmur karena tambang di Indonesia, banyak contoh seperti Bangka Belitung yang tinggal lubang-lubang besar peninggalan tambang timah, Papua yang gunungnya sudah menjadi danau dikeruk oleh Freeport, tapi masyarakat setempat tetap miskin.
Moratorium Alih Fungsi Gambut
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan hampir setengah dari luas lahan gambut di Riau, yang mencapai 4 juta hektar, telah hancur, kehancuran lahan gambut disebabkan perubahan fungsi menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit. Hampir dua per tiga lahan gambut di Pulau Sumatera ada di Riau. Sebagian besar lahan gambut ini memiliki kedalaman lima meter atau lebih sehingga tidak layak dijadikan perkebunan sawit atau HTI.
Kementerian Kehutanan sudah melakukan moratorium pada lahan gambut Indonesia yang satu meter untuk tidak dikoversi menjadi kawasan lain, bahkan sebelum kesepakatan ini ditandatangani Indonesia dan Norwegia. Pemerintah mensyaratkan lahan gambut dengan ketebalan minimal 1 meter tak boleh lagi dialihfungsikan. Ini tertuang dalam kebijakan moratorium yang diumumkan presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Oslo, Norwegia. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan, pemerintah akan melakukan pengawasan ketat termasuk pemberian sanksi bagi pelaku yang melanggarnya.
Dana sekitar 9 triliun rupiah lebih sudah digelontorkan pemerintah Norwegia untuk membantu memelihara kawasan hutan Indonesia. Dana tersebut, akan digunakan untuk mencegah pembalakan dan kebakaran hutan, juga untuk pengelolaan lahan gambut dan penghutanan kembali.
Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim Agus Purnomo mengatakan, pemerintah, bekerja sama dengan aparat penegak hukum, termasuk kepolisian dan kejaksaan, akan melakukan monitoring terhadap pelaksanaan Inpres Moratorium.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi diminta pemerintahan Norwegia untuk mengawasi dana bantuan hibah sebesar US$ 1 miliar untuk reboisasi. Pasalnya, Norwegia khawatir dana itu diselewengkan.
KPK kesulitan untuk mengungkap kasus dugaan korupsi dana reboisasi di Kementerian Kehutanan. Karena, Indonesia tidak memiliki peta baku untuk wilayah hutan, peta baku itu sangat penting. Lewat peta hutan yang tetap dan valid, KPK dapat mengetahui kawasan-kawasan yang diduga mengalami penyalahgunaan wewenang dan izin.
Korupsi sektor kehutanan itu terjadi karena banyaknya izin bermasalah. Moratorium itu direalisasikan, maka diharapkan izin-izin penggunaan kawasan hutan yang dikeluarkan kepala daerah yang berpotensi terjadinya korupsi bisa dihambat.
Penutup
Christiana Figueres, Sekretaris Eksekutif UNFCCC, mengatakan transparansi, adalah penting untuk memastikan bahwa masyarakat miskin dan rentan dapat membangun sendiri masa depan yang berkelanjutan dalam menghadapi perubahan iklim.
Bongkar dan tuntaskan penanganan kasus korupsi di indonesia, termasuk di alih funsgi lahan gambut untuk perkebunan sawit dan tambang. Ganyang koruptor hutan, penjarakan dalam tanah!
Perlu mendorong dan mendesak pemerintah bekerja untuk rakyat, dan memperkuat berbagai lembaga termasuk LSM untuk turut serta menumpas tuntas dan mencegah berbagai bentuk korupsi yang terkait dengan hutan.