K.P. SHK

Selamat Jalan Gus, Walinya Indonesia

Sosok Gus Dur atau Abdurahman Wahid, Presiden Indonesia ke-4, yang selalu menuai kontroversial dalam banyak hal menjadi bahan pelajaran tentang pluralisme dan humanisme di Indonesia. Kemangkatannya (30/12), menjadi duka setiap orang yang mengenalnya secara dekat maupun tidak. Satu LSM di Palembang, Puspa Indonesia menggelar Yasinan dan Inmemoriam Gus Dur bertepatan dengan jam pemakaman Gus Dur di Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur (31/12).

Acara tersebut diselenggarakan dalam rangka mengenang sosok Presiden ke-4 yang selalu menjadi sumber pemberitaan media dan keteguhannya membela kelompok-kelompok minoritas di negeri ini. Di jaman Presiden Kyai ini, etnis China dapat menjalankan budayanya seperti warga lainnya, Barongsai dan Imlek secara resmi di Indonesia. Di era Pemerintahannya, ada pencabutan beberapa kebijakan yang mendiskreditkan warga negara karena kepentingan politik masa lalu, pembebasan Tapol Tragedi 65. Di waktu itu lah Presiden menyimbolkan kerakyatan. Itu semua hal-hal yang terlontar dari pengagum Gus Dur yang hadir dalam acara 2 jam tersebut.

Gus Dur, sosok yang disetarakan dengan Soekarno oleh salah satu hadirin di Yasinan dan Inmemoriam Gus Dur. Bahkan, sebelum dimaksulkan dari kursi kepresidenan di 2002, Gus Dur melakukan langkah politik untuk membela pemerintahannya dengan mengeluarkan dekrit serupa jaman Pemerintahan Soekarno. Dan celakanya Megawati Soekarno Putri yang ‘menuai’ pemaksulan dirinya.

Gus Dur yang lahir dari keluarga kyai NU (Nahdatul Ulama), tentu mendapat prestise tersendiri. Bagi para pengikut NU tentunya, penghormatan terhadap guru dan keluarganya seolah-olah adalah balas jasa bagi orang tua-orang tua santri yang mondok di pesantren NU. Dan ini sangat kental dan menjadi satu karakter masyarakat jawa timuran. Walau terkadang terlihat berlebihan di mata kelompok masyarakat lain, tapi sikap hormat pada kyai dan keluarganya menjadi etika yang tertanam kuat dalam budaya masyarakat pesantren NU dimana guru didudukkan sebagai orang yang harus dihormati setelah nabi atau rasul. Sebutan ‘wali’ bagi kyai NU adalah guru yang dihormati karena jasanya memberikan pengetahun dan berpengetahuan lebih dibanding orang pada umumnya.

Gus Dur adalah wali bangsa dicermati dari kiprahnya selama ini. Gagasannya jauh melampaui masa kini. Kemampuannya membaca kondisi masa depan atau visioner, melebihii negarawan lainnya dan tak tergantikan. Wali Indonesia menjadi sebutan yang harusnya lekat pada dirinya. Walau pun sebagai manusia, pastinya Gus Dur tak luput dari salah dan tarik-menarik politik di Indonesia.

Gus Dur mempraktikkan egalitarian dalam tindak tanduk kehidupannya. Siapa pun bisa bertemunya di istana kepresidenan saat dirinya terpilih dan duduk sebagai Presiden Pertama di masa Reformasi. Jiwa kerakyatannya juga membuktikan bahwa dia dekat dengan siapa saja. LSM (lembaga swadaya masyarakat) sebagai kelompok kritis di Indonesia merangkulnya sebagai sesepuh dan orang yang selalu dimintai sarannya. Saat Gus Dur mangkat, kini LSM kehilangan soko guru kerakyatan yang egalitarian, yang mendampingi LSM selama ini. Selamat jalan Gus!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Lihat post lainnya