Skema hutan adat adalah jalan menuju pengakuan masyarakat adat oleh negara. Walau ada ketidaksetujuan soal pendefinisian hutan adat dalam Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999, yaitu hutan adat adalah hutan negara yang berada di wilayah hukum adat tertentu, gerakan masyarakat adat secara prinsip masih mengganggap pentingnya perlindungan hutan adat sebagai penyokong kehidupan masyarakat adat.
Begitupun dengan para pendukung masyarakat adat, organisasi masyarakat sipil. Beberapa kebijakan turunan dari Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999 seperti Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan lain-lain yang merupakan hasil antara dari proses intervensi masyarakat sipil dan masyarakat adat dalam reformasi kebijakan kehutanan adalah upaya yang sangat signifikan dimana pemerintah akhirnya “sedikit” memberikan peluang bagi masyarakat untuk dapat ijin mengelola kawasan hutan dan hutan.
Proses panjang intervensi organisasi masyarakat sipil dalam reformasi kehutanan, tidak sedikit mendapat cibiran sinis dari kalangan kehutanan yang masih menganut paham “hutan adalah domain negara”. Kelompok birokrat kehutanan ini menganggap masyarakat tidak mampu mengelola hutan secara lestari, seperti dimulainya sangkaan ini di jaman Hindia Belanda. Saat ada kasus pengrusakan hutan adat di Desa Buluhcina yang luasnya tidak kurang dari 3.000 ha atas ijin ninik mamak Negeri Enam Tanjung seperti yang diberitakan Harian Kompas (14/7 dan 15/7), unsur masyarakat adat di Kabupaten Kampar, Riau telah “mencemari” upaya demokratisasi pengelolaan hutan dan kawasan hutan.
Semangat dan dorongan untuk ke arah pengakuan keberadaan masyarakat adat dan wilayah hidupnya, sesuai dengan salah satu tema Kongres Masyarakat Adat I yang dilaksanakan pada tahun 1999 di Jakarta dimana ratusan masyarakat adat menghadiri pertemuan tersebut, yaitu “Bila Negara Tidak Mengakui Kami (masyarakat adat-red), Maka Kami Tidak Mengakui Negara”, kasus pengrusakan hutan adat Buluhcina adalah kondisi penurunan citra masyarakat adat. Kasus pengrusakan hutan Buluhcina adalah “karena nila setitik rusak susu sebelanga” bagi tuntutan pengakuan masyarakat adat oleh negara. (tJong)