K.P. SHK

Rotan Adat

Rotan selain ditanam juga tumbuh alami di hutan-hutan di wilayah tropis. Hutan-hutan di Indonesia ditumbuhi rotan. Kalimantan Tengah yang sebagian besar berupa dataran rendah memiliki hutan rawa gambut tropis dimana rotan alam tumbuh. Sejak PLG (Proyek Lahan Gambut se-Juta Hektar) merubah peruntukan kawasan rawa gambut seluas 1, 4 juta hektar untuk pertanian padi intensif pada 1995, kawasan rawa gambut di Kalimantan Tengah mudah terbakar dalam setiap tahunnya hingga sekarang. Tumbuhan dan tanaman rotan masyarakat di bekas PLG pun tak luput dari ancaman kebakaran.

“Rotan alam hampir tak ada lagi. Sejak PLG bikin kanal-kanal panjang, gambut kering dan mudah terbakar. Dan sejak itu kami mulai menanam rotan,” ujar Uhing (40 th), masyarakat adat Kapuas, saat memberi alasan kenapa masyarakat adat di Kapuas mulai akrab dengan menanam rotan (budidaya) di kebun-kebun mereka (16/3).

Rotan alam yang masih ada dan hingga kini masih dipelihara adalah rotan yang tumbuh di hutan-hutan keramat di kawasan rawa gambut bekas PLG. Hutan keramat ini sangat dijaga masyarakat adat, karena di kawasan ini biasanya leluhur mereka disemayamkan.

“Rotan alam, rotan adat. Rotan adat ini ada di hutan keramat kami. Hanya orang-orang kami saja yang boleh ambil rotan ini, orang luar tidak,” jelas Uhing menerangkan keberadaan rotan alam di Kapuas.

Handil

Pengelolaan kawasan rawa gambut ala masyarakat adat di kawasan bekas PLG di Kalimantan Tengah dengan cara handil yang sudah dilakukan sejak lama oleh nenek moyang masyarakat setempat. Handil adalah kegiatan membuat parit kecil selebar ukuran sampan kecil (biduk) yang biasa menjadi alat transportasi air masyarakat adat dayak.

Pembuatan parit atau handil tersebut kemudian yang dikembangkan menjadi batas wilayah kelola antarmasyarakat (bahkan dalam perkembangannya handil menjadi batas administrasi keadatan) di kawasan rawa gambut di Kalimantan Tengah. Dalam satu wilayah kelola berdasarkan handil biasanya menggambarkan satu kesatuan keluarga besar dalam satu rumah betang dayak di Kalimantan Tengah. Dalam satu rumah betang ada sekitar 100 KK (kepala keluarga). Satu handil, milik satu rumah betang.

“Hutan keramat tidak kami apa-apain. Berladang, berkebun sampai batas hutan keramat. Kami hanya mampu mengelola 3-5 bahu (bahu, satuan lokal untuk luas ladang atau kebun, red), itu pun secara bersama-sama dengan waktu (tahun) bergiliran,” ujar Tomo (37 th), petani rotan asal Desa Keladan yang bersama Uhing sedang berada di Kapuas.

Leave a Reply

Lihat post lainnya