Lukman Basri mewakili Dewan Rempah Indonesia saat dijumpai KpSHK di Sekretariat DRI, Gedung Pusat Informasi Agribisnis, Kantor Kementerian Pertanian RI, Jakarta menyambut baik niat KpSHK (18/02/2020).
Sejarah rempah sangat panjang bahkan jauh sebelum indonesia berdiri, menurut Lukman mulai Revolusi Industri 3.0 Tahun 1850 tentang perubahan besar-besaran termasuk dibidang pertanian di seluruh dunia.
Rempah-Rempah dan Sejarah Terusan Suez
Rempah juga menurutnya terkait sejarah dibangunnya Terusan Suez (1869), terusan yang memisahkan antara benua Asia dan Afrika, menawarkan rute perdagangan maritim terpendek antara Eropa dan daerah-daerah yang berbatasan dengan Samudera Hindia dan Samudra Pasifik Barat.
Rempah-Rempah dan Sejarah Kerajaan Padjadjaran
Termasuk sejarah Pelabuhan Sunda Kelapa, pelabuhan sejak zaman Tarumanagara diperkirakan sudah ada sejak abad ke-5 yang saat itu disebut Sundapura. Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai “Pelabuhan Lada” tersibuk milik Kerajaan Sunda, saat itu ibu kotanya berada di Pakuan Padjadjaran atau Padjadjaran yang saat ini menjadi Kota Bogor.
Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.
Sekitar tahun 1859, Sunda Kalapa (kini dikenal Sunda Kelapa) sudah tidak seramai masa-masa sebelumnya, apalagi sejak dibukanya Terusan Suez pada 1869 yang mempersingkat jarak tempuh berkat kemampuan kapal-kapal uap yang lebih laju meningkatkan arus pelayaran antar samudera.
Selain itu Batavia juga bersaing dengan Singapura yang dibangun oleh Raffles sekitar tahun 1819. Maka dibangunlah pelabuhan samudera Tanjung Priok (1873), yang jaraknya sekitar 15 km ke Timur dari Sunda Kelapa untuk menggantikannya.
Rempah-Rempah dan Sejarah Perhutanan Sosial
Lukman sangat hapal dengan sejarah karena terkait dengan rempah-rempah, begitu runut cerita mengalir darinya hingga cerita Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang mengatur mengenai tentang hak-hak atas tanah.
Undang-undang No 5 Tahun 1960 adalah penegasan bahwa penguasaan dan pemanfaatan atas tanah (air, dan udara) harus dilakukan berdasarkan asas keadilan dan kemakmuran bagi pembangunan masyarakat yang adil dan makmur. Hal tersebut sejalan dengan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” jelas Lukman kembali.
Lukman juga paham betul sejarah Perhutanan Sosial, banyak saran beliau kepada Bambang Supriyanto (Dirjen PSKL-KLHK saat ini), dimana hutan Indonesia yang mencapai 126 juta hektare itu hanya 10% atau sekitar 12,7 juta hektar yang dijadikan perhutanan sosial, untuk masyarakat sekitar hutan.
Menurutnya sesuai peraturan Menteri LHK No.83/2016, negara memberikan akses kepada masyarakat mengelola hutan dengan 3 tujuan utama yaitu terlaksananya tutupan hutan (ekologi), meningkatkan ekonomi petani dan mengurangi konflik, baik konflik antar penduduk dan konflik antara rakyat dengan negara.
KpSHK didukung oleh ICCO-Cooperation Tahun 2019 melakukan Kajian Produksi, Distribusi dan Rantai Pasar Komoditi Rempah dan Hasil Hutan Bukan Kayu pada 5 Wilayah Perhutanan Sosial yaitu di Kerinci, Kepahiang, Jember, Sekadau dan Kolaka.
Hasil kajian tersebut disajikan dalam berbagai bentuk diantaranya buku “Potensi Rempah di 5 SHK” selanjutnya diharapkan dapat menjadi rekomendasi dari kebijakan pemerintah untuk mengintegrasikan Rempah kedalam Perhutanan Sosial menjadi suatu Model “Pengelolaan Perhutanan Sosial Berbasis Rempah” untuk itu KpSHK berdialog dengan para pihak diantaranya dengan Dewan Rempah Indonesia.
Lukman Basri memberi taggapan mengenai Model Pengelolaan PS Berbasis Rempah, menurutnya rencana komoditi yang akan dikembangkan harus sesuai dengan nomenklatur binaan dari Kementan, ada keselerasan dengan program pemerintah tentang tanaman yang menjadi prioritas dan kesesuaian lahan.
“Potensi sangat strategis, masa keemasan rempah pada 2045” jelas Lukman.
Kebijakan yang harus didorong menurutnya oleh pemerintah sesuai UU No. 7 Tahun 1994, bahwa Indonesia sebagai anggota WTO (World Trade Organization) harus mengikuti peraturan WTO mengenai sustainibility, tradeability, accesability, traceability dan sanitary.
#inal-KpSHK