K.P. SHK

Rempah dan Potensi Hasil Hutan Nusantara

Komoditi tanaman rempah dan obat-obatan maupun Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) lainnya, termasuk jasa lingkungan (pemanfaatan mata air, aliran sungai, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan kawasan) terbukti dapat memberikan dampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan sekaligus peningkatan kelestarian hutan dan memberikan kontribusi bagi devisa negara.

Pengelolaan hutan secara lestari adalah cara penurunan dan pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan serta pengurangan kemiskinan petani hutan. Masyarakat adat atau masyarakat lokal sejak dahulu telah aktif melakukan pengelolaan hutan secara lestari, walaupun dalam sekala kecil dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan ekonomi keluarga mereka yang sangat bergantung pada keberadaan dan kelestarian hutan. Sistem pengelolaan hutan yang dilakukan masyarakat ini disebut Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) yang perijinannya kemudian sekarang dikenal dengan skema Perhutanan Sosial.

Untuk mendorong kemandirian ekonomi Petani Hutan sebagai pelaku SHK dengan menggerakan sektor-sektor strategis di Unit SHK untuk meningkatkan nilai ekonomi, sosial, budaya dan keberlanjutan ekosistem. KpSHK (2014 – 2018) telah mengidentifikasi potensi kelola dari peta sebaran Unit SHK seluas 141.839,83 Ha pada 25 Unit SHK yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara, melalui skema Planvivo yang memuat prinsip kelestarian dari pengelolaan jasa ekosistem, melibatkan partisipasi masyarakat dalam pencegahan deforestasi-degradasi hutan, untuk pengurangan kemiskinan.

Selanjutnya sekitar 13 Unit SHK yang telah didorong melalui registrasi Plan Vivo seluas  102.325,58 Ha dan sejumlah 9.831 jiwa Petani Hutan, memiliki potensi jasa lingkungan serta potensi komoditi yang dapat dikembangkan sebagai sektor usaha Petani Hutan.

Tahun 2019 ada 5 Unit SHK melalui program Commodity Potential Identification for Livelihood in Social Forestry Scheme, KpSHK didukung ICCO-Cooperation Asia Tenggara  bekerjasama dengan NGO lokal Lembaga Kelopak di Bengkulu, Lembaga Tumbuh Alami (LTA) di Kerinci,  Lembaga Studi Dialektika Indonesia dalam Perspektif (SD-INPERS) di Jember, Institut Manua Punjung (IMP) di Sekadau dan Lembaga Bina Lingkungan di Kolaka, bersama-sama melakukan Identifikasi Potensi Komoditi Hutan untuk Pengembangan Usaha Kelompok Petani Hutan di Wilayah SHK.

5 Unit SHK tersebut yaitu Pengelolaan Hutan Bersama (PHBM) Hyang Argopuro di Desa Pakis, Kecamatan Pati, Kabupaten Jember, Jawa Timur, yang tahun ini (2019) baru saja mendapatkan SK Menteri berupa Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (KULIN KK), dengan Naskah Kesepakatan Kerjasama (NKK) antara Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Rengganis dan Perhutani KPH Jember. Sebelumnya pada Tahun 2009 pengelolaan lahan hanya berdasarkan Surat Perjanjian Kerjasama antara LMDH Rengganis dan Perhutani Jember tentang MoU Pemungutan Hasil Produksi Tanaman Kopi.

Di Kerinci dari 10 Hutan Adat, 2 Unit SHK dilakukan kajian potensi komoditi, yaitu di Hutan Adat Pungut Mudik dan Hutan Adat Hiang. Hutan Adat Pungut Mudik atau lengkapnya disebut Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Pungut Mudik yang Berenam  di Desa Pungut Mudik, Kecamatan Air Hangat Timur, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Hutan Adat ini pada Tahun 2013 telah dikukuhkan sebagai hutan hak Masyarakat Hukum Adat melalui SK Bupati. Selanjutnya pada Tahun 2016 mendapatkan SK  Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas ± 276  Ha. Kawasan Hutan Pungut Mudik termasuk zona buffer (buffer zone) dari kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), berdasarkan Rencana Tata Ruang Kabupaten Kerinci kawasan Hutan Adat Pungut Mudik diperuntukan sebagai zona penyangga dan sebagai cadangan air di Kabupaten Kerinci.

Sementara Hutan Adat Hiang atau lengkapnya disebut Hutan Adat Nenek Limo Hiang Tinggi-Nenek Empat Betung Kuning Muara Air Dua di Desa Hiang Tinggi dan Desa Betung Kuning, Kecamatan Sitinjau Laut Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, pada Tahun 2018 baru ditetapkan sebagai Hutan Adat berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas 645 Ha yang berada di kawasan Hutan Produksi Tetap (±373 Ha) dan berada pada Aeral Penggunaan Lain (±272 Ha), sebelumnya sudah ditetapkan sebagai Hutan Adat oleh Bupati Kerinci pada Tahun 1993.

Sebelumnya dalam SK Bupati Tahun 1993 luas Hutan Adat Hiang adalah 885 Ha namun dalam SK Menteri Tahun 2018 menjadi 645 Ha saja, dengan mengeluarkan sekitar 240 Ha wilayah dibawahanya, yang menurut Depati Kademang yaitu wilayah yang telah ditanami kayu manis oleh masyarakat, selain pohon durian, kayu surian, pohon jengkol, pete, karet, dll.

Hutan Kemasyarakatan (HKm) Tebat Monok, di Kepahiang, Bengkulu.  Kelompok tani pengelola HKm yang ditetapkan dalam SK Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) dari Bupati pada tahun 2009 terdiri dari 2 Desa yaitu Desa Tebat Monok dan Desa Kelilik. Desa Tebat Monok 149 Ha dan Desa Kelilik 61,5 Ha, kedua desa ini berbatasan dengan Hutan Lindung Bukit Daun Register 5.

Unit SHK HKm Beganak, di Sekadau, Kalimantan Barat. Areal kerja HKm terletak di sebelah selatan Dusun Meragun, Desa Meragun, Kecamatan Nanga Taman, Kabupaten Sekadau, yang berada di dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Naning. Legalitas perijinan akses kelola masyarakat dengan skema HKm ini melalui SK Menteri Kehutanan Tahun 2011 dengan Penetapan Areal Kerja HKm (PAKHKm) seluas ± 2.375 Ha dan SK Bupati Sekadau Tahun  2012 tentang IUPHKm atas nama Kelompok HKm Beganak.

Unit SHK HKm Sakuli, di Kolaka, Sulawesi Tenggara. IUPHKm pada areal kerja HKm pada kawasan hutan (produksi/lindung), hak pengelolaan tersebut melalui SK Menteri LHK Tahun 2017 seluas 1.660 Ha yang diberikan hak kelolanya kepada Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Poluloa di Kelurahan Sakuli, Kecamatan Latambaga, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara

Beberapa potensi komoditi Rempah Nusantara dari Petani Hutan di 5 Unit SHK tersebut antara lain Kayu Manis, Lada, dan Pala. HHBK Nusantara tersbeut Cengkeh, Kopi, Karet, Damar dan Gaharu.

Rempah-rempah di Hutan Adat Pungut Mudik dan Hutan Adat Hiang, potensi Kayu Manis, HKm Tebat Monok potensial Lada dan Pala, PHBM (Kulin KK) LMDH Rengganis Hyang Argopuro dan HKM Beganak potensi Jahe dan Kunyit, di HKm Sakuli potensi Cengkeh dan Pala.

HHBK di Hutan Adat Pungut Mudik dan Hutan Adat Hiang potensi Kopi dan Karet,  HKm Tebat Monok juga potensial Kopi dan Pinang, untuk PHBM (Kulin KK) LMDH Rengganis Hyang Argopuro ada Kopi dan Durian, HKm Beganak masih ada potensi Damar dan Gaharu,  di HKm Sakuli potensi komoditi Kakao masih ada walau mulai menurun.

Mengembalikan kejayaan Rempah dan HHBK Nusantara yaitu melalui peningkatan produktifitas dan mutu komoditi rempah dan HHBK Nusantara dengan mendukung adanya akses promosi, infrastruktur, jaminan pasar, jaminan harga, dan akses pembiayaan.

Perlu dukungan baik dari pemerintah pusat dan daerah, sektor swasta, perusahaan/asosiasi, perbankan, peneliti, NGO dan Petani Hutan untuk kebangkitan kejayaan Rempah dan HHBK nusantara.

#Ari/Byou/Inal/Roni#

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Lihat post lainnya