Berita terakhir dari Pemerintah, baru lima propinsi yang sudah menetapkan rencana umum tata ruang melalui peraturan daerah, yaitu Sulawesi Selatan, NTB, Bali, DI Yogyakarta, dan Lampung. 28 propinsi lainnya belum ada karena substansi tata ruangnya masih berstatus revisi oleh Pemerintah Pusat. Pemberitahuan ini disampaikan Wakil Menteri Pekerjaan Umum, Hermanto Dardak, kepada media (22/6) di Jakarta.
Walau terkesan ada percepatan penyelesaian persoalan penataan ruang di Kementerian Pekerjaan Umum, publik dapat melihat perkembangannya di situs web Kementerian Pekerjaan Umum, namun ada hal substansial penataan ruang yang kronis membelit hubungan Daerah-Pusat. Dari penjelasan Dardak, pokok persoalannya pemerintah daerah tidak progresif merespon soal penataan ruang yang didasari kesepakatan antarsektor dengan sigap, selain masih terpakunya subtansi kehutananan sebagai ‘penghalang’ percepatan dari penetapan tata ruang daerah.
Koordinasi penetapan dari penataan ruang daerah (propinsi) terletak di tangan BKPRN yaitu Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional. Tugas utama BKPRN memberikan persetujuan substansi (peraturan daerah) RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), selain mengkoordinasikan antarsektor untuk penyusunan dan pelaksanaan tata ruang. BKPRN yang tidak begitu populer di mata publik dikukuhkan sebagai badan resmi penataan ruang melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.11/PRT/M/2009.
Belit REDD (+)
Substansi kehutanan (baca: pelepasan kawasan) selalu menjadi titik krusial penataan ruang di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Sedari dulu kawasan hutan dan hutan adalah obyek dasar dari alihfungsi dan peruntukkan lahan bagi pembangunan sektor-sektor non kehutanan seperti perkebunan, pertanian dan pertambangan. Tumpang tindih ijin pengusahaan hutan dan pemanfaatan kawasan hutan tidak dapat dielakkan yang hingga kini masih dapat dijumpai di banyak tempat. Penetapan areal beroperasinya ijin-ijin pengusahaan hutan dan non kehutanan (dalam istilah tata ruang, kawasan budidaya dan non budidaya) adalah pemicu dari peningkatan konflik sumberdaya alam dan hutan di Indonesia.
Mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan, REDD (+), menjadi satu keniscayaan sebagai pendekatan pembangunan kehutanan di Indonesia. Munculnya Peraturan Menteri Kehutanan No.30 dan No.36 tahun 2009 tentang REDD, adalah pengukuhan REDD dapat dilaksanakan melalui ijin-ijin pengusahaan hutan (termasuk ijin pengusahaan model perhutanan sosial). Berkaca kepada konflik sumberdaya hutan yang bertitik krusial pada pelepasan kawasan hutan (kunci utama penataan ruang), pelaksanaan REDD (+) pada lokasi kawasan hutan tertentu akan menambah jumlah kejadian konflik sumberdaya hutan.
Lokasi khusus
Skema perijinan pengusahaan hutan untuk REDD (+), Pemerintah seharusnya menetapkan areal kerja khusus yaitu di kawasan hutan negara yang belum terbebani hak atau ijin pengusahaan hutan dan non hutan lainnya. Atau di kawasan hutan negara selain fungsi produksi (konservasi dan lindung). Kebijakan tentang ijin pengusahaan hutan mutakhir juga tidak secara jelas mengklasifikasikan peruntukan kawasan hutan untuk REDD (+). Partisipasi masyarakat sebagai prasyarat pelaksanaan REDD (+), harus mendapatkan wadah hukum tersendiri, agar ada jaminan bagi masyarakat bahwa REDD (+) bermanfaat bagi masyarakat.
Selain itu, REDD (+) tidak dilaksanakan di kawasan hutan negara dengan konflik tinggi dan menahun. Beberapa lokasi seperti Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan beberapa wilayah yang terbelit persoalan tata ruang tidak seharusnya menjadi target lokasi pelaksanaan REDD (+).
Di Indonesia di luar proyek persiapan REDD (+) Pemerintah, ada belasan dan bahkan puluhan proyek persiapan REDD (+) secara sukarela. Untuk itu, Pemerintah Indonesia melalui kewenangan Kementerian Kehutanan atas kawasan hutan negara perlu menertibkan proyek-proyek REDD sukarela (baca: REDD liar) tersebut. Beberapa persiapan REDD liar telah memunculkan wacana ekonomi lokal dari jasa lingkungan yang semakin membuat masyarakat lokal (adat) dibingungkan dan hanya menjadi obyek legitimasi proyek-proyek tersebut.
Kembali kepada percepatan dari penetapan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), apakah tidak sebaiknya Pemerintah memprioritaskan lokasi-lokasi REDD (+) di propinsi-propinsi yang sudah mengeluarkan perda RTRW-nya? Terutama bagi kepastian pelaksanaan LoI REDD+ Indonesia-Norwegia yang saat ini sedang dalam pembicaraan kedua negara. Kawasan hutan negara di Sulawesi Selatan, NTB, Bali, DI Yogyakarta, dan Lampung adalah target pelaksanaan REDD (+) dari LoI Indonesia-Norwegia.
Tentang REDD liar. Dalam loknas (GTZ & RECOFTC), ada guyonan MARBON bukan saja markus toh yanga ada di indonesia ini. (MARBON = Makelar Karbon). REDD itukan transaksi jual beli ada barang/jasa, ada uang?.. Ada penjual ada pembeli toh yang siap bayar?…