Dalam waktu dekat Indonesia akan memiliki strategi nasional tentang REDD Plus sebagai langkah konkrit Letter of Intens Norwegia-Indonesia. Saat ini sudah dibentuk Satuan Tugas (Satgas) REDD Plus. Satgas REDD Plus bertujuan menyusun kerangka kerja nasional tentang mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan, pertanian dan sumberdaya alam. Bahkan seperti yang dilansir media (Kompas 4/11), Sekretaris Satgas REDD Plus Heru Prasetyo meyakinkan diri sebelum pertemuan COP 16-UNFCCC Cancun, Mexico akhir tahun ini, Indonesia sudah punya konsep tentang REDD Plus. Dan benarkah?
Menengok tidak lama dibentuknnya Satgas REDD Plus yang melibatkan sekitar 7 sektor di pemerintahan dan bidang terkait, kekhawatiran terbesar Satgas REDD Plus ini adalah lembaga ‘latah’ yang akan tidak efektif bekerja seperti lembaga-lembaga bentukan pemerintah sebelumnya tentang mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Alasan kuat, mari kita berkaca kepada proses-proses tahun sebelumnya. Pemerintah melalui DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) dan unit-unit di masing-masing sektor sejak 2007 pasca COP 13-UNFCCC Bali, sangat terlihat agresif melahirkan konsep, ujicoba, percontohan REDD dan sosialisasi pemahaman mitigasi perubahan iklim.
Semisal voluntary REDD, REDD preparadness, REDD demonstration activities, aforestation dan reforestation adalah program-program agresifitas Pemerintah (NGO Internasional dan konsultan dagang karbon). Program-program tersebut saat ini tidak ada satupun yang benar-benar membawa kepentingan nasional merespon mitigasi perubahan iklim dan dapat menjelaskan prosesnya kepada publik Indonesia bahwa program-program tersebut secara signifikan menunjukkan Indonesia mampu berupaya memitigasi perubahana iklim dari sektor kehutanan.
Bahkan banyak pihak meragukan Indonesia tidak bisa memenuhi janjinya kepada dunia tentang penurunan emisi karbon dioksida hingga 26% seperti janji Presiden di Pertemuan G20 lalu. Dari sumber yang dapat dipercaya Indonesia hanya mampu menurunkan 14% emisi karbonnya dari sektor kehutanan hingga 2020. Dari sektor lainnya Indonesia tidak memiliki angka tetap penurunan emisi karbon terutama dari sektor pertambangan, energi dan transportasi.
Keyakinan Heru Prasetyanto, juga harus berkaca kepada dinamika REDD Plus yang merupakan pengembangan dari REDD sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. REDD Plus adalah perluasan pendekatan mitigasi perubahan iklim dari kehutanan kepada sektor lainnya yaitu pertanian, perkebunan, pertambangan dan energi, atau pemanfaatan lain dari sumberdaya hutan. Persoalannya kemudian REDD Plus menjadi alat legitimasi bahwa konversi kawasan hutan dan hutan masih dianggap tidak menghalangi upaya mitigasi perubahan iklim melalui penurunan emisi dari pencegahan deforestasi dan kehancuran hutan.
Padahal pada kenyataannya di Indonesia dengan merunut ke kebijakan kehutanan dan sumberdaya alam yang berlaku, sektor pertanian, perkebunan, dan pertambangan adalah sektor yang paling besar mengakibatkan deforestasi dan degradasi sedari tahun 80-an (tertinggi 3,8 juta ha pertahun pada 1998), jika LULUCF( Land Used, Land Use Change and Forest) memang menjadi poin utama terjadinya kerusakan hutan dan melajunya deforestasi.
Hingga saat ini tidak ada komitmen Pemerintah merubah dan mencabut beberapa kebijakan yang mendorong terjadinya konversi kawasan dan hutan semisal Permentan No.14 tahun 2009 tentang Budidaya Kelapa Sawit di Lahan Gambut, PP No.2 tahun 2008 tentang Pendapatan Bukan Pajak di Sektor Kehutanan, PP No.10 tahun 2010 tentang Peruntukan dan Pemanfataan Kawasan Hutan (berisi tukar guling tanah hutan), Perpress No.36 tahun 2006 tentang Tanah untuk Kepentingan Umum, dan lain-lain.
Selain itu, yang menjadi pertimbangan pentapan REDD Plus sebagai konsep mitigasi perubahan iklim nasional adalah adanya kebijakan baru yang kemungkinan besar akan mengkonversi kawasan hutan dan hutan menjadi areal perkebunan komoditas hortokultura (adanya Undang-Undang Hortikultura), masih berjalannya Program Perkebunan Kelapa Sawit Perbatasan 1,8 juta ha, mulai berjalannya MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) 1,3 juta ha, dan lain-lain program konversi hutan.
Moratorium Kerusakan
Tidak dipungkiri, kegelisahan yang ditunjukkan kelompok pengusaha kayu (Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia-APHI) dan pengusaha perkebunan kelapa sawit (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) mengenai adanya prasyarat moratorium hutan dan gambut dalam LoI REDD Plus, sebuah kemajuan di banding REDD dari sisi politik pengelolaan sumberdaya alam.
Namun, kalau saja Pemerintah hanya akan melakukan moratorium hutan dan gambut untuk masa dua tahun, ini upaya basa basi demi melaksanakan komitmen LoI REDD Plus saja, bukan untuk penyelamatan hutan Indonesia dan mitigasi perubahan iklim jangka panjang hingga mencapai janji Indonesia kepada dunia, penurunan emisi karbon 26%.
Deforestasi dan degradasi hutan mencapai puncaknya pada tahun 1998, yaitu hingga mencapai angka deforestasi 3,8 juta ha pertahun dengan cara penghitungan kerusakan per ha tutupan hutan yang saat itu luas tutupan hutan masih mencapai 143 juta ha. Jika kini kawasan hutan yang masih bagus tinggal separuhnya (Kemenhut dan KLH, 2009) dan laju deforestasi masih 1,2 juta ha pertahun artinya tidak ada penurunan laju deforestasi saat ini. Tanpa LoI REDD Plus pun Indonesia harus melakukan moratorium kerusakan hutan. Kalau diperbandingkan dengan REDD, REDD lebih signifikan dengan moratorium hutan dan gambut.