K.P. SHK

REDD, Kompensasi Pengamanan Hutan?

“Kompensasi” atau penggantian kerugian dengan uang selalu menjadi jalan akhir dari penyelesaian persoalan atau kemelut antarpihak dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Bentuk-bentuk pendekatan semisal, community development (CD), Corporate Social Responsibilty (CSR), dan Jasa Lingkungan Hidup dan Sosial lainnya adalah bentuk-bentuk kompensasi dari pembangunan sumberdaya hutan (alam) di Indonesia.

REDD, reduced emission from deforestation and degradation yang baru-baru ini gencar dimunculkan ke dalam wacana publik internasional (Pertemuan Perubahan Iklim PBB di Bali pada akhir tahun lalu) dapat dipandang sebagai bentuk pendekatan “kompensasi” baru dalam pembangunan kehutanan di dunia, utamanya di negara-negara ketiga yang masih memiliki kawasan hutan yang luas seperti Indonesia.

“Kompensasi” pada galibnya (konseptual) bertujuan sebagai “penyimbang” (harmonisasi) dari proses-proses pembangunan yang berdampak buruk terhadap lingkungan hidup (sosial). Dengan semangat harmonisasi, “kompensasi” dalam berbagai bentuk program pemberdayaan masyarakat menjadi alat justifikasi pembangunan yang ramah lingkungan dan sosial serta menjujung tinggi keadilan lingkungan dan sosial. Hal ini, sekaligus sebagai penyesuaian Pembangunan Indonesia dengan pembangunan dunia yang pada tahun 1972 mulai digencarkan Program Pembangunan Berwawasan Lingkungan.

Namun praktek puluhan tahun dari bentuk-bentuk kompensasi pembangunan sumberdaya hutan atau alam (CD, CSR, Jasa Lingkungan, Pemberdayaan Desa dan Masyarakat Sekitar Hutan) sedari 1967 tidak bisa memunculkan harmonisasi pembangunan. Pembangunan sektor kehutanan, perkebunan, pertanian dan pertambangan yang menggunakan kawasan hutan sebagai asset utamanya (penyediaan lahan dan produk) melalui konsesi dan konversi yang ijin hak pengusahaannya diberikan kepada swasta nasional dan asing (HPH, HTI, Kontrak Karya Pertambangan, PIR Transmigrasi, dll) tidak bisa membendung dampak kerusakan hutan, konflik perusahaan-masyarakat dengan alat-alat kompensasi tadi.

Praktek dari alat-alat kompensasi cenderung menggunakan penggantian kerugian (materiil atau uang) kepada pihak yang dianggap sebagai korban pembangunan (masyarakat sekitar). Sebut saja kasus-kasus besar di sektor pertambangan semisal, PT. KEM di Kalimantan Timur, PT. Freeport Indonesia di Papua, PT. Indorayon di Sumatera Utara, Proyek Lahan Gambut di Kalimantan Tengah, dan lain-lain ditengarai berakhir dengan adanya tuntutan ganti kerugian dalam bentuk materiil (uang).

Lalu, bagaimana dengan REDD? REDD sebagai skema “kompensasi” bagi sektor kehutanan sebagai dampak kesepakatan dunia untuk mempertahankan hutan sebagai areal penyerapan karbon yang sekaligus sebagai sumber pengeluaran emisi (kebakaran hutan dan lahan) tidak akan sekuat alat-alat kompensasi lainnya (CD dan CSR). CD dan CSR dijalankan dan menjadi tanggungjawab-tanggunggugat swasta, sedang REDD belum jelas akan dijalankan oleh siapa dalam pembangunan kehutanan di Indonesia.

Yang jelas, selama REDD akan dijalankan dengan semangat kesukarelawanan semua pihak pemangku kehutanan dan mengunggulkan kekuatan nilai penggantian kerugian atau uang, kita jangan terlalu banyak berharap hutan Indonesia masih utuh. Apalagi, investasi di sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan saat ini cenderung meningkatkan alih fungsi kawasan hutan (konversi dan konsesi) sebagai dampak Politik-Ekonomi Energi Dunia. REDD, kompensasi pengamanan hutan? Sepertinya perlu diamati jeli, kalau REDD jalan lain untuk menghabiskan hutan Indonesia!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Lihat post lainnya