REDD+ Galau? Pangale Konsisten!
Kalaua tidak galau, lebay. Semua masyarakat tahu sikap pemerintahan sekarang ini. Begitu pula terhadap lingkungna hidup, menggembar-gemborkan program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD/Reduction of Emissions from Deforestation and Degradation), tetapi di lapangan menyimpang dari tujuannya, misalnya lahan hutan gambut yang semestinya dilindungi justru diizinkan dibuka menjadi lahan perkebunan sawit. Sikap ini jelas tidak konsisten.
Kabar lainnya Kementerian Kehutanan membuka lebar pengelolaan hutan kepada masyarakat, yang disampaikan dalam Pertemuan Nasional Lingkungan XI Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jumat (13/4/12), di Balikpapan, Kalimantan Timur. Bagaimana faktanya? Yang pasti saatnya untuk membangkitkan kembali sistem hutan kerakyatan (SHK).
SHK selalu konsisten keadilan dan kelestarian. Salah satu SHK yang terkenal di indonesia adalah Pangale di Kawasan pemukiman Mpoa, Sikoi, Kablenga, Lintio, Lowu, Vatu Tanah, Uempipir di Bungku Utara, Morowali, Sulawesi Tengah. Menurut data SHK 2001 seluas 10.000 ha yang dihuni oleh 722 jiwa masyarakat. Berikut gambaran konsistensi SHK di Wilayah Dataran Bulang ini.
Tou Taa’ sebutan untuk masyarakat komunitas pemilik dan penghuni hutan adat di kawasan dataran bulang sebagai pengumpul hasil hutan berupa kemiri, rotan serta damar.
Tou Taa’ merupakan sebutan bagi komunitas masyarakat adat yang tinggal didalam kawasan hutan adat disebut juga “To Wana” berarti “orang dalam hutan”. Kehidupan masyarakat Tou Taa’ sangat tergantung pada hutan baik secara ekonomi maupun sosial sehingga untuk membuat hutan tetap lestari, masyarakat memiliki kearifan tradisional dalam mengelola hutan yang masih terpelihara dengan baik . Pola pengelolaan hutan itu dikenal dengan “Pangale” atau “Hutan adat”.
Pangale dalam pandangan Tou Taa’ adalah sesuatu yang bernilai sakral disamping rotan. Tou Taa’ meyakini bahwa hutan terbentuk melalui proses dari segenggam tanah yang berkembang menjadi dataran dan pegunungan hingga terbentuknya tumbuhan dan hewan menjadi hutan. Disamping keyakinan akan adanya roh-roh yang dapat menyembuhkan penyakit sehingga hutan dijadikan juga sebagi tempat berkomunikasi untuk meminta pertolongan. Keyakinan mistik inilah yang mempengaruhi pola tata ruang pemukiman dan kebun, dimana mereka membangun rumah ditengah-tengah kebun sebagai analogi “puser manusia” dan kebun mereka ibarat ” manusia penjaga kehidupan” dan hutan adalah “alam semesta yang menaungi kehidupan”. Tata ruang pemukiman dan kebun ini merupakan sebagian dari sistem Pangale.
Sistem perladangan padi masyarakat Tou Taa’ dilakukan secara tumpang sari dari jenis padi lokal dengan jagung dan ubi kayu. Hasil yang didapat masih digunakan untuk kebutuhan sendiri. Bentuk kebun lainnya seperti durian, langsat dan kemiri masih dirawat dan dijaga keberadaanya dan hasilnya dijual sebagi tambahan penghasilan bagi masyarakat begitu juga untuk hasil hutan lainnya berupa rotan dan damar.
Pangale adalah hutan adat yang menjadi wilayah tradisional Tou Taa’ yang dari segi fungsi terbagi menjadi:
Pangale Kapali (kawasan hutan adat yang diperuntukkan untuk kebutuhan ritual-sakral (keramat) dan tidak boleh diolah (kapali) untuk keperluan kebun dan lainnya.
Pangale Mogalu adalah kawasan hutan adat yang didominasi oleh tumbuhan rotan dan damar hasil budidaya leluhur dan berfungsi sebagai hutan produksi terbatas untuk keperluan komunitas. Pada kawasan ini tidak diperbolehkan penebangan atau dibuka untuk kebun.
Panamuya Tou Taa adalah kawasan perkebunan adat yang terdiri atas jenis tanaman durian, langsat, sagu dan kemiri. Hanya boleh dipetik hasilnya tetapi tidak boleh ditebang atau dimusnahkan.
Yopo adalah kawasan hutan adat yang diperuntukkan sebagai areal perladangan dan perkebunan bagi anggota komunitas dan terdiri dari:
– Navu Tou adalah kawasan perladangan dan perkebunan komunitas yang cukup luas dan terdapat lipu (kampung adat) dan totos (ladang ukuran kecil yang ditanami padi ladang, jagung dan palawija) untuk masing-masing anggota komunitas.
– Wakanavu, bekas ladang berumur antara 1-5 tahun yang dicadangkan sebagai Navu Tou sesuai waktu rotasi gilir balik. Tetapi jika Navu Tou belum mensukupi kebutuhan komunitas atau Totos yang dibuka gagal panen maka Wakanavu diizinkan untuk dibuka menjadi Totos meskipun belum tiba waktu gilir balik.
– Yopo Mangura, bekas ladang berumur 6-10 tahun dicadangkan sebagai Bonde (ladang/kebun berukuran sedang bagi masing-masing komunitas), ditanami padi ladang, jagung, palawija dan tanaman keras seperti kemiri, nangka, dll.
– Yopo Masia, bekas kebun dan ladang yang telah menjadi pangale dan siap dibuka kembali untuk Navu Tou atau Bonde.
Seperti kehidupan masyarakat adat lainnya pola hidup Tou Taa’ pun masih dengan sistim kommunal, hidup sederhana dalam kelompok-kelompok pemukiman (Lipu). Satu kelompok pemukiman terdiri dari 5 rumah pemukiman terdiri dari 7 KK. Setiap kelompok memiliki seorang pemimpin bergelar “Tau Tua Lipu” yang bertanggungjawab dalam urusan dan pelaksana ritual adat serta menentukan waktu dan wilayah gilir balik rotasi dan melindungi kelompok.
Bentuk-bentuk upacara ritual yang biasa dilakukan oleh masyarakat adat Tou Taa’ antara lain upacara ritual Mobolog yang bertujuan untuk pengobatan melalui proses supranatural dan tatacara adat lain yang juga disakralkan seperti upacara adat membuka lahan, adat menanam padi, dan adat panen yang dipimpin oleh seorang Bworotanah (pelaksana adat tanah).
Menurut data SHK 2001 konsistensi Pangale ini digerogoti eksploitasi hutan adat oleh perusahaan HPH dan HTI seperti PT.Bina Balantak Raya, PT.Palopo Timber, Tanjung Raya dan Tri Tunggal menjadi areal HPHJ dan HTI. Serta ancaman objek proyek “Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Suku Terasing”, transmigrasi sisipan, transmigrasi lokal, HPH bina desa ataupun proyek tani menetap (kanitap). Adanya proyek “Kawasan pengembangan ekonomi terpadu” (KAPET) dimana lahan rakyat termasuk menjadi bagian dari lahan yang akan direlokasikan untuk tujuan tersebut.
– Inal Lubis –
gembar-gembor REDD dan praktek penyingkiran akses kontrol dan partisipasi masyarakat dalam kelola proyek pasar karbon memang memberikan peluang bagi shk untuk masuk sekaligus memberikan intervensi pembaruan atau dengan kata lain kembalikan daulat komunitas melalui pembumian gerakan shk. bagus kalau sekretarian menfasilitasi proses konsolidasi para pendukung dan pelaku shk untuk pembumian ini. sebab jika tidak tidak mustahil di berbagai wilayah akan ada yang namanya cagar REDD dalam berbagai model yang semakin menghilangkan kedaulatan komunitas atas tanah, air, lahan serta hutan hingga kedaulatan atas kebebasan memutuskan yang terbaik.
salandoa
ardin tahir
evergreen indonesia
Jl.Lasoso No.17 Kelurahan Kabonena
Kec. Palu Barat – Kota Palu. 94227
Sulawesi Tengah. Indonesia
komunikasi antar pemangku kepentingan menjadi kunci pengelolaan kawasan, so perlu kemauan saling mendengar dan bicara dengan data serta efektivitas kerja untuk kesejahteraan bersama bukan menumpuk modal buat segelintir orang dengan energi serakah yg membabi buta… Selamat cek n mericek…
Play inrftmaoive for me, Mr. internet writer.