Skema Perebutan Kawasan Hutan
Sebagai skema pembangunan yang lahir dari kecemasan global terhadap perubahan iklim, REDD+ mengundang debat yang tak kunjung usai di berbagai ranah; pembuat kebijakan, riset akademik hingga gerakan sosial. Hal ini sudah dapat diterka mengingat pengurusan hutan di Indonesia masih mewariskan “persoalan bawaan” yang belum terselesaikan akibat sektoralisme dan dominasi negara atas kawasan hutan. Khusus di wilayah desa-desa hutan, kehadiran beragam inisiatif pengaturan maupun upaya koreksi pembangunan kawasan baik negara maupun swasta seringkali saling bertentangan dan mengindikasikan bahwasanya proyek uji-coba pengaturan tersebut belum selesai dan berubah-ubah (unstable) (Li 2002). Kondisi ini seperti apa yang dipaparkan Vandergeest dan Peluso (1995), “seluruh (praktek) negara modern membagi wilayah mereka kedalam zona-zona politik dan ekonomi yang kompleks dan tumpang tindih, mengatur kembali penduduk dan sumberdaya dalam unit-unit, dan membuat aturan-aturan bagaimana dan oleh siapa wilayah tersebut dapat dimanfaatkan.” Untuk itu, negara menempuh strategi teritorialisasi sebagai upaya mengontrol kehidupan penduduk melalui survey dan pendaftaran tanah, pembuatan peta, penetapan dan pengawasan kawasan hutan dan sumber daya alam lainnya. Strategi itu sendiri menempatkan teknik pemetaan (cartography) modern menjadi instrumen utama bagaimana pengaturan dan pembatasan itu dilakukan.[1] Proses-proses pengaturan ini pada gilirannya merupakan upaya mengontrol (membatasi) akses sekaligus memutus (sejarah) hubungan tradisional penduduk terhadap sumber-sumber agraria/hutan yang menjadi sumber penghidupan utama.
Ciptaningrat Larastiti dalam tulisannya, alih-alih sebagai kebijakan pendukung skema REDD+, moratorium hutan di Kalimantan Tengah justru merupakan bentuk lain dari apa yang dirumuskan Vandergeest dan Peluso (1995) sebagai bentuk teritorialisasi negara. Tulisnya, “moratorium sebagai pengalaman abstrak mengulang teritorialisasi negara sebelum-sebelumnya yang tidak melibatkan konsep ruang masyarakat.” Lebih jauh, penetapan status dan fungsi kawasan hutan serta perencanaan ruang di Kalimantan Tengah telah mengabaikan beberapa penerbitan ijin konversi hutan sekalipun di atas kawasan moratorium. Baik pemerintah pusat atau daerah memiliki kehendak masing-masing atas kawasan yang didakunya – yang dalam hal ini dilihat sebagai sebuah kontestasi teritori. Pada kasus tertentu, kehendak dengan berbagai legitimasi-hukumnya justru menciptakan ruang abu-abu yang rentan konversi hutan dan ketidakadilan sosial. Pengalaman pengaturan ruang dan kawasan hutan di Kalimantan Tengah bukanlah satu-satunya contoh kasus bagaimana tarik ulur “bagi-bagi” ruang (abstrak) antara pemerintah pusat dan elite birokrasi lahan skala luas. Apalagi ketika pemberlakuan kebijakan otonomi daerah (termasuk otonomi khusus) berdampak terhadap cara pandang dan perilaku birokrasi pengurusan sumberdaya alam yang rawan korupsi, seperti yang hangat diberitakan di media massa akhir-akhir ini.
Selain mempopulerkan “korupsi perijinan” pejabat publik di daerah, politik desentralisasi dan kebijakan otonomi daerah di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini telah memungkinkan terbukanya partisipasi komunitas lokal/adat ikut ambil bagian, baik berupa advokasi maupun kampanye publik, penataan ruang dan perluas wilayah kelola rakyat. Paralel dengan upaya-upaya tersebut, pemerintah sendiri turut mengembangkan model pengelolaan dan akses terhadap kawasan hutan (negara) melalui program perhutanan sosial atau lazim disebut PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Diterbitkannya Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2007 tentang Tata Kelola Kehutanan, semakin banyak masyarakat lokal atau adat yang berada di sekitar dan di dalam kawasan hutan yang mengajukan ijin pengelolaan hutan dalam skema program-program kehutanan masyarakat (HKm), hutan desa (HD) dan hutan tanaman rakyat (HTR). Pemerintah sendiri telah menargetkan pencapaian pelaksanaan Program Kehutanan Masyarakat dan Hutan Desa seluas 2,5 juta ha (Rencana Kehutanan Nasional tahun 2013).
Meski Pemerintah telah membuka saluran-saluran pelibatan masyarakat disekitar hutan (negara), faktanya desa-desa di sekitar kawasan merupakan salah satu penyumbang konflik tenurial tertinggi. Perluasan pengusahaan tanah dan kekayaan alam skala luas yang tumpang tindih dengan tanah-tanah masyarakat di dalam dan sekitar hutan merupakan salahsatu faktor penyebab tingginya angka konflik tenurial antara masyarakat lokal/adat, pemerintah dan pengusaha, mengutip Li (2002), melalui program kehutanan masyarakat (HKM, HD dan HTR), pemerintah memberikan janji untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan mengizinkan penduduk melalukan beberapa kegiatan pertanian di kawasan “hutan” dibawah kontrol dan bimbingan Departemen Kehutanan. Pada waktu yang bersamaan, pemerintah tetap menerapkan kebijakan pemindahan secara paksa terhadap mereka yang melakukan kegiatan pertanian kecil-kecilan dalam kawasan “hutan.”
Terkait dengan pilihan kebijakan pengelolaan kawasan hutan “dari atas”, tulisan Yando Zakaria menjadi sangat relevan bagaimana memahami dinamika pilihan-pilihan kebijakan pengelolaan hutan di era desentralisasi dengan mengambil kasus Aceh pasca berlakunya otonomi khusus. Terlebih, sejak diterbitkannya kebijakan yang terkait langsung terhadap pengaturan tenurial dan wilayah kelola rakyat terhadap hutan diantaranya: Putusan Mahkamah Konstitusi No 45/PUU-IX/2011 mengenai kawasan hutan telah mendorong pemerintah melakukan perbaikan dan percepatan proses-proses pengukuhan kawasan hutan; Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 yang berimplikasi terhadap pengakuan negara terhadap hutan adat, dan yang terakhir UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang turut mengatur keberadaan hutan desa yang hingga saat ini masih ramai diperbincangkan – jika tidak ingin mengatakan memunculkan kegamangan – di berbagai ranah mengenai bagaimana implementasi konkrit kebijakan tersebut. Dengan menggunakan terminologi “jalur nasional” maupun ‘jalur lokal’ (hutan mukim), Zakaria menunjukkan peluang berikut limitasi yang terkandung dalam pilihan-pilihan tersebut.
Kontestasi yang terus berlangsung antara agenda pengaturan negara dengan wacana kritik terhadapnya, ditingkat komunitas sendiri masih ditemukan model-model pengelolaan kawasan hutan sebagai kebalikan dari cara-cara pengelolaan kawasan yang destruktif oleh ekspansi industri berbasis lahan skala luas, seperti dipaparkan Larastiti dan Zakaria dalam tulisannya. Merespon realitas tersebut, “Sistem Hutan Kerakyatan (SHK)” kemudian menjadi terminologi yang dipilih dan mulai dipropagandakan sejak tahun 1997 oleh para pelaku gerakan pendukungnya. Keterpilihan SHK sebagai sebuah terminologi gerakan meyakini, masyarakat lokal atau sekitar hutan dengan pengetahuan yang mereka miliki secara turun-temurun justru lebih handal dalam mengelola hutan secara lestari. Pengelolaan hutan secara lestari itu sendiri merupakan proses sosial dalam menata ulang sistem sosial-ekologi kawasan hutan yang hancur akibat intervensi pembangunan, dan dengan demikian SHK sebuah paradigma pengelolaan hutan berbasis rakyat menggantikan paradigma pengelolaan hutan oleh negara. (KpSHK 2003)
Penutup
Kehadiran mega proyek REDD+ sebagai alat pengaturan global atas penduduk di kawasan hutan sulit dielakkan disatu sisi.[2] Disisi yang lain, memandang kehidupan rakyat di sekitar hutan sebagai komunitas yang terisolir dari lingkungan luar (global) adalah cara pandang romantis yang menuntut cara pandang kritis terhadapnya, ada atau tidaknya REDD+. Seperti ditemui di beberapa tempat, selain kayu, pemanfaatan kawasan hutan oleh komunitas adalah tanaman komoditas perkebunan yang pasarnya tidak hanya lokal namun jadi komoditas eksport, misal kopi arabica, seperti yang diusahakan oleh penduduk desa di kecamatan Kayu Aro, Jambi Mengutip, Chayanov (1966: 258), “melalui kaitan-kaitan ini (hubungan perdagangan, red), setiap petani kecil menjadi bagian organik dari ekonomi dunia, mengalami dampaknya kehidupan ekonomi dunia, menjadi dikendalikan dalam pengelolaannya oleh tuntutan-tuntutan ekonomi kapitalistis global, dan pada gilirannya, bersama jutaan sesama petani, mempengaruhi seluruh sistim perekonomian global.”
Baik SHK maupun kebijakan kehutanan tidak berada dalam ruang hampa dan berajalan sendiri-sendiri. Namun, cara pandang para pengambil kebijakan terhadap proyek-proyek tersebut masih berkutat pada persoalan-persoalan teknis ukur-mengukur belaka. Dilain pihak, alih-alih menerimanya sebagai sebuah keniscayaan atau kumpulan pengetahuan masa lalu atas keberadaan SHK, menyisakan pertanyaan mendasar, apakah sistem hutan kerakyatan (SHK) masih cukup handal sebagai model pengelolaan hutan lestari sekaligus sebagai kritik-aksi terhadap pengaturan baik negara hingga institusi ekonomi-politik global atas hutan yang melahirkan pemiskinan warga dan degradasi lingkungan? Bagaimana interaksi SHK merespon dinamika baik yang tumbuh dari dalam maupun didesakkan dari luar? Dan sejauh mana kontribusi gerakan pendukung dan pelaku SHK dalam merespon dinamika tersebut? Tentu saja pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan untuk dijawab dalam sekali waktu, namun diharapkan dapat mendorong refleksi kritis para pihak yang menaruh perhatian terhadap keberlangsungan pengelolaan hutan di Indonesia. Selamat Membaca !!
Referensi
Ampri, Irfa, et al. 2014. The Landscape of Public Climate Finance in Indonesia. An Indonesian Ministry of Finance and CPI Report, Indonesia.
Astuti, Rini. 2013. REDD+ sebagai Strategi-Strategi Kepengaturan dalam Tata Kelola Hutan di Indonesia: Sebuah Perspektif Foucauldian. Wacana, Jurnal Transformasi Sosial, No. 30, Tahun XV, 2013. Yogjakarta: Insist
Bryant, Raymond L. and Sinead Bailey. 1997. Third World Political Ecology. Routledge, London.
Chayanov, A. 1966. The Theory of Peasant Economy. In Daniel Thorner, Basile Kerblay, and R.E.F. Smith (eds). The American Economic Association, Illinois.
Corson, Catherine. 2011. Territorialization, enclosure and neoliberalism: non-state influence in struggles over Madagascar’s forests, The Journal of Peasant Studies, 38:4, 703-726.
KpSHK. 2003. Lebih Dekat dengan KpSHK. Bogor: KpSHK
Li, Tania. 2002. Proses Tranformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Muhajir, Mumu. 2010. REDD di Indonesia: kemana akan melangkah. Seri Hukum dan Keadilan Iklim. Jakarta: HuMA
Peluso, N.L. 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan di Jawa. Jakarta: Konphalindo.
UNEP. 2014. Building Natural Capital: How REDD+ can Support a Green Economy. Report of the International Resource Panel, United Nations Environment Programme, Nairobi, Kenya.
Vandergeest, Peter and Nancy Lee Peluso. 1995. Territorialization and state power in Thailand. Theory andSociety 24: 385-426.
Zoomers, Annelies. 2010. ‘Globalisation and the foreignisation of space: seven processes driving the current global land grab’. Journal of Peasant Studies 37(2), pp. 429-447, 2010.
[1] Konsep teritorialisasi berbeda dengan analisis spasial maupun analisis ekonomi-politik geografi. Para geogarfer perhatiaannya lebih berpusat pada distribusi spasial kegiatan ekonomi dan strategi spasial modal tanpa melihat peran negara dalam mengatur dan mengontrol hubungan penduduk dengan sumberdaya lahan. Sementara, analisis spasial bertumpu pada teknik pemetaan modern. Praktek teritorialisasi negara modern kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai ruang abstrak. Ruang abstrak ini bersifat linear, seragam dan dapat dipotong-potong dalam unit-unit yang diskrit (satuan luas maupun koordinat letak) sehingga dapat diukur melalui teknik pemetaan modern. Hasil dari pemetaan ruang (abstrak) tersebut kemudian menjadi alat verifikasi status wilayah dan pembanding menggunakan rasio-rasio pengukuran kepada pihak-pihak lain, seperti status desa/ kota, topografi, jenis tanah dan sebagainya. Sementara masyarakat pada dasarnya tidak mengenali ruang abstrak dan tidak memiliki akses terhadap peta-peta yang dibuat oleh agen-agen pemerintah maupun militer. (Vandergeest dan Peluso 1995)
[2] Selain didorong desakan konversi hutan skala luas untuk perkebunan berorientasi eksport, ekspansi “bisnis hijau/ konservasi” skala luas seperti bisnis ekowisata, maupun ijin restorasi ekosistem merupakan salah satu mekanisme “pengambil-alihan lahan” (land grabbing) rakyat disekitar hutan. Pemaparan ragam proses perampasan lahan, dapat dilihat pada Zoomers (2010).
* Naskah yang ditulis oleh Muhammad Yusuf (aktivis/peneliti KpSHK) diambil dari prawacana Seri Kajian SHK Seri I yang terbit pada November, 2014. Bagi para pegiat maupun para pihak yang berminat dapat menghubungi redaktur pelaksana di dapat mengunjungi kantor redaksi Seri Kajian SHK, Jl. Abiyasa No. 66 Indraprasta, Bogor atau dapat mengunduhnya di https://drive.google.com/file/d/0B-AG_iv0noBrMHJ2clFkVUJQN2c/view?usp=sharing
(mys)