Sistem hutan kerakyatan atau SHK adalah konsep kehutanan yang bertumpu kepada demokrasi kerakyatan. SHK lahir sebagai jawaban terhadap kegagalan pemerintah dalam menerapkan konsep kehutanan negara (di tingkat praktik) yang tidak demokratis dan memihak kepada kepentingan investasi dan ekonomi pasar (liberal dan orientasi ekspor).
Sebagai sistem pengelolaan yang menonjolkan keragaman bentuk pengelolaan sumberdaya hutan, SHK adalah sebutan bagi sistem-sistem pengelolaan kawasan yang ada di Nusantara, yang keberadaannya sudah berjalan ratusan tahun lalu sebelum masuknya penjajahan (VOC, Inggris, Belanda dan Jepang). Bentuk SHK sangat beragam sesuai dengan kondisi geografis dan demografis Indonesia yang beragam. Hingga saat ini, terindetifikasi lebih dari 150 model SHK di seluruh Indonesia.
SHK Bukan PHBM
Dalam konteks kehutanan negara, SHK digolongkan dalam kehutanan sosial (meminjam istilah Recoftc dan Departemen Kehutanan, kehutanan sosial sekarang disebut PHBM-Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Kehutanan sosial dalam paradigma kehutanan negara, masyarakat (adat dan lokal yang berada di sekitar kawasan hutan) didudukkan sebagai obyek penerima manfaat tak langsung dari hasil hutan melalui berbagai program pemberdayaan desa hutan. Padahal SHK membawa semangat pengakuan hak (akses, pengelolaan dan milik) terhadap kawasan hutan oleh negara. SHK bukan PHBM.
Empat puluh tahun lebih konsep kehutanan negara menekankan pembangunan kehutanan kepada industri kayu dan alih fungsi lahan (konversi dan konsesi) bagi industri perkebunan dan pertambangan (swasta dan badan usaha pemerintah). Bangkrutnya industri kehutanan pada era 1990-an, tidak membuat Pemerintah jera untuk menerapkan revitalisasi kehutanan pada industri kayu. Padahal industri kayu bagi pemenuhan pasar kayu dan industri kertas internasional setengahnya dipasok dari hutan alam (konservasi dan lindung) yang kini ditengarai tinggal 72 juta hektar.
Non Kayu, Komoditas Utama
Hasil hutan bukan hanya kayu. Hutan adalah tegakan pohon (kayu), ini merupakan konsep hutan yang masih dipegang teguh oleh kalangan kehutanan (sarjana kehutanan). Sehingga industrialisasi kehutanan lebih condong memilih hutan sebagai sumber komoditas kayu dibanding non kayu. Komoditas non kayu akhirnya menjadi produk sampingan industri kehutanan.
Hutan di Nusantara (tropis) bersifat heterogen. SHK yang beragam bentuk dan sistem pengelolaan berbasis pengetahuan setempat (adat dan lokal) sangat tepat untuk jenis hutan (ekosistem) yang beragam. SHK sebagai sistem pengelolaan kawasan hutan berbasis geografi-demografis (kekuatan ethnologis)seharusnya menjadi konsep mainstream kehutanan negara Indonesia (Indonesia menganut sistem demokrasi kerakyatan). Kehutanan Indonesia (konsep dan praktek) justru didorong bagaimana komoditas non kayu menjadi komoditas utama.
REDD Bukan Untuk SHK
Reduced Emission for Deforestation and Degradation (REDD), skema kompensasi yang diusulkan Indonesia sebagai upaya adaptasi dan mitigasi terhadap Perubahan Iklim (hasil Konferensi Iklim Bali, 2007) akan dijalankan dalam konteks kehutanan Indonesia dengan paradigma lama (konsep kehutanan berbasis industrialisasi kayu). REDD adalah insentif bagi pelaku industri kayu (HPH), HTI (hutan tanaman industri) -pemasok bahan baku kertas, perkebunan dan konservasi. Ini terlihat, sebelum dan sesudah Konferensi Bali semua pelaku industri kehutanan dan lembaga-lembaga konservasi sangat getol melakukan persiapan-persiapan adaptasi dan mitigasi dengan bersandar kepada pembangunan kehutanan yang ramah iklim (sustainability).
SHK yang menjujung tinggi keberlanjutan kehidupan rakyat sebagai antitesis dari konsep kehutanan negara (terutama soal klaim hak atas kawasan hutan), tentunya REDD bukan insentif bagi SHK. REDD, insentif yang akan diberikan kepada pelaku industri kehutanan (HPH, HTI, Perkebunan dan Konservasi) yang diakui secara hukum (kebijakan) sebagai pelaku kehutanan di Indonesia. “Reduced Emission from Deforestation and Degradation” bertendensi, deforestasi dan degradasi terjadi karena industrialisasi kayu dan alih fungsi lahan hutan. SHK tidak melakukan praktek industrialisasi kayu dan alih fungsi lahan.