Hutan Indonesia semakin tahun semakin berkurang. Hutan Indonesia sekarang ditengarai tinggal 72 juta hektar yang berupa tegakan pohon. Dalam kurun waktu tidak lebih kurang 10 tahun, laju deforestasi pertahun meningkat dari 1,8 juta hektar pertahun menjadi 3,2 juta hektar pertahun (puncak deforestasi terjadi pada periode 2000-2005), sehingga luas kawasan hutan seluas 143 juta hektar pada 1997 kini berkurang sebanyak 71 juta hektar.
Hal tersebut terjadi diakibatkan oleh laju investasi dan regulasi di sektor kehutanan yang mengabaikan keseimbangan ekologi (harmonisasi manusia-alam). Investasi sektor kehutanan (HPH-Hak Pengusahaan Hutan dan HTI-Hutan Tanaman Industri) serta alih fungsi lahan hutan (konsesi dan konversi) kepada sektor perkebunan dan pertambangan.
Investasi untuk HTI
Revitalisasi kehutanan yang dicanangkan Pemerintah sejak 2004 bertumpu kepada pemulihan industri kehutanan terutama pengembangan HTI (hutan tanaman industri) yang mendukung industri Pulp-Paper. Over kapasitas industri kertas telah menyebabkan setengah bahan baku kertas dipasok dari hutan alam, untuk memenuhi permintaan pasar yang cukup tinggi (China dan Amerika).
Pengembangan HTI yang mendukung Pulp-Paper dengan target capaian seluas 3,57 juta hektar pada 2006 telah memunculkan investasi senilai 18 milliar dollar Amerika (Lutoifi, 2008). Sementara untuk periode 2004-2009 Pemerintah menargetkan 5 juta hektar untuk pengembangan HTI. Artinya, hingga akhir 2009 Pemerintah masih membuka peluang investasi bagi pembukaan HTI baru. Dan ini belum ditambah dengan nilai investasi di sektor perkebunan dan pertambangan.
Regulasi Perkuat Investasi
Selain investasi , regulasi Pemerintah di sektor kehutanan cukup signifikan dalam mempercepat deforestasi (alih fungsi lahan). Keputusan Pemerintah No.41 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.1 tahun 2004 telah memberikan peluang baru dibukanya hutan untuk konsesi pertambangan di kawasan hutan (lindung) tercatat ada 13 perusahaan pertambangan yang sudah beroperasi di 12 propinsi hingga kini.
Pada Maret 2008, kembali pemerintah mengeluarkan Pertaruran Pemerintah No.2 tentang Penerimaan Nasional Bukan Pajak (PNBP) dari pemanfaatan kawasan hutan untuk penggunaan lain (versi Pemerintah, PP ini untuk 13 perusahaan yang mendapat ijin konsesi menurut Kepres N0.41/2004) dan Peraturan Pemerintah No.3 tahun 2008 (revisi dari PP No.6 tahun 2007) tentang Penyusunan dan Perencanaan Pengelolaan Kawasan Hutan (implementasi dari sistem blok atau KPH-Kesatuan Pengelolaan Hutan).
Regulasi kebijakan Pemerintah tersebut bertujuan untuk meningkatkan investasi di sektor kehutanan (industri) sesuai tujuan revitalisasi (kepentingan pemerintah pusat). Sekalipun PP No.3 tahun 2008 tidak mendapat respon publik sedahsyat PP. No.2 yang memunculkan polemik para pihak (pusat, daerah dan masyarakat sipil, bahkan asosiasi gubernur se-Kalimantan menolak PP No.2 tersebut), PP No.3 tampak memiliki tujuan lain dari Dephut. Dengan mempersiapkan sekitar 5.000 tenaga kehutanan yang akan ditempatkan di KPH-KPH di tingkat Kabupaten, Departemen Kehutanan akan “mengambil alih” kembali kewewenangnya atas kehutanan daerah (dinas) seperti sedia kala, saat masih pengelolaan kawasan hutan terpusat lewat Kanwil-kantor wilayah.
Dengan demikian, investasi (asing) lebih mudah mendapatkan jalan implementasinya melalui Pusat. Pelaksanaan otonomi daerah menuai gambaran (citra) buruk. Banyak daerah yang “gagap” (tidak siap) menjalankan otonomi. Sehingga pada akhirnya otonomi daerah di sektor kehutanan membuat investor ragu melakukan investasi.
Belum lagi dampak disahkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) beberapa waktu lalu oleh pemerintah. Dalam salah satu pejelasan, investasi atau modal asing dapat dijalankan hingga mencapai masa kontrak seratus tahunan.
(SHK) Resistensi terhadap Kehutanan Negara
Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) adalah penyebutan (naming) bagi beranekaragamnya sistem pengelolaan kawasan hutan berbasis masyarakat (adat dan lokal) yang ada di Indonesia. SHK sebagai “konsep dan model tanding” bagi kehutanan negara membawa misi devolusi atau mendorong terjadinya demokratisasi pengelolaan sumberdaya hutan. Masyarakat didorong sebagai pelaku utama dalam pengelolaan kawasan hutan.
Upaya mempertahankan keberadaan dan perluasan SHK (gerakan pendukung SHK) dalam berbagai pendekatan seperti: promosi; advokasi kebijakan; pengembangan dan penguatan komoditas hutan non kayu; pembentukan jalur pedagangan alternatif non-kayu; dan mendorong pengakuan hak kelola, SHK telah memunculkan resistensi terhadap konsep dan praktek kehutanan negara terutama terhadap praktek kehutanan negara seperti HPH, HTI, Konservasi dan Perkebunan Besar serta model derivativenya (HPH Bina Desa, Perbedayaan Masyarakat Desa Hutan, Koperasi Hutan, Hutan Tanaman Industri Rakyat, dll).
Resistensi SHK semakin lama kian melemah. Ini diakibatkan oleh berbagai proses pendekatan menuju pengakuannya (rekognisi hukum) “terhegemoni” oleh pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah semisal Kehutanan Sosial, PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) dan Hutan Kemasyarakatan (HKM). Selain itu keberadaan SHK juga mendapat serbuan jenis-jenis peruntukkan kehutanan lainnya (perluasan perkebunan kelapa sawit, konsesi pertambangan baru, dan perluasan kawasan konservasi).
Kontrak Sosial, Solusi Konflik Kawasan
Konflik kawasan terjadi akibat benturan antara investasi, regulasi dan resistensi. Benturan dari ketiganya membawa konsekuensi buruk baik dilihat dari sisi sosial maupun lingkungan.
Sisi sosial, konflik kawasan semakin memiskinkan komunitas di sekitar dan dalam kawasan hutan yang sangat bergantung terhadap keberadaan hutan. 48,8 juta penduduk Indonesia berada di sekitar dan dalam kawasan hutan, 10, 2 juta-nya dalam keadaan miskin (Brown via Cifor, 2006).
Sisi lingkungan, konflik kawasan telah menimbulkan kerusakan lahan dan berkurangnya luasan hutan. Selama satu dekade hutan Indonesia mengalami deforestasi rata-rata 2,8 juta hektar pertahun (Lutoifi, 2008).
Resolusi atas konflik kawasan bukan tidak pernah dilakukan oleh berbagai pihak. Beberapa model pendekatan yang bersifat programatik (pilot project) semisal ACM (adative collaborative management)-Cifor, Manajemen Kolaborasi-Latin, Program Kehutanan Multipihak -Departemen Kehutanan/DFID, Desa Konservasi -RMI, Hutan Konservasi Adat -WWF, dll sudah pernah dilakukan. Upaya-upaya resolusi ini tidak optimal, regulasi dan investasi mendominasi kepentingan resistensi (sistem-sistem kelola kawasan yang belum pernah mendapat rekognisi), serta tidak adanya komitmen yang kuat dari para pihak terutama pemangku kepentingan regulasi dan investasi untuk menjalankan kesepakatan-kesepakatan bersama yang telah dibangun.
Konflik kawasan dapat dipandang positif jika penyelesaiannya berpegangan teguh kepada tekanan (good forest governance, good corporate governance, dan sustainable development) dan aturan-aturan (Ecosob, Duham dll) Internasional. Pemangku regulasi dan investasi memiliki modal sosial (Community Development, Corporate Social Responsibility) yang dapat mendorong adanya jaminan pengakuan hukum/kebijakan (kontrak sosial atau perjanjian) bagi keberadaan pemangku resistensi.
Investasi Sosial Bersama (joint social investment) melalui perjanjian (kontrak sosial) antarpihak dalam menyelamatkan kawasan hutan terutama bagi keberadaan SHK sebagai model dan sistem kelola hutan yang khas Indonesia adalah jalan tengah.