K.P. SHK

READ

Seribu delapan ratus desa berada di sekitar dan di dalam kawasan hutan. Itu temuan KpSHK pada 2005 dari program Registrasi Wilayah Kelola Rakyat yang didukung oleh Ford Foundation. Desa-desa tersebut adalah desa-desa hutan dimana sumberdaya hutan menjadi tumpuan ekonomi dan ekologi masyarakatnya.

Desa-desa hutan yang sebagian besar masih dihuni oleh masyarakat lokal (adat) secara turun-temurun merupakan potensi Indonesia untuk tetap komit menurunkan emisi karbonnya hingga 26% pada 2020.

Pemerintahan saat ini sedang menjalankan beberapa uji coba REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) di beberapa wilayah berhutan semisal di Jambi dan Kalimantan Tengah. Namun ujicoba REDD yang sebagian ditengarai sudah didanai oleh negara-negara maju seperti Australia, Belanda, Finlandia, Norwagia dan Inggris ini belum mendatangkan informasi yang signifikan kaitannya dengan upaya penurunan emisi karbon dari penurunan kerusakan dan penyusutan hutan. Kecuali dalam bentuk-bentuk persiapan berupa penghitungan serap-lepas karbon, diskusi-diskusi pemahaman isu, dan lobi-lobi politik kebijakan.

Implementasi REDD yang sangat lekat dengan soal teknis manajemen hutan (versi akademis) seharusnya mulai muncul bentuk dan model aplikasinya di lapangan. Karena perubahan iklim terjadi karena “kekacauan pengaturan” dari manajemen pembangunan fisik sektor kehutanan, pertanian, energi, kelautan dan pesisir, serta lingkungan hidup, baik di negara-negara maju maupun berkembang.

Walau hingga kini wilayah desa-desa tersebut masih berada dalam tumpang tindih tenurial antara masyarakat dengan pemerintah (seharusnya pemerintah segera memberikan kepastian tenure bagi mereka), alternatif implementasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dari sektor kehutanan sudah terjadi sedari dulu. Ada sekitar 16,04 juta hektar lahan yang diupayakan dalam kehutanan rakyat yaitu berupa kebun hutan (agroforest) dengan berbagai fungsi sebagai lindung dan produksi (non timber). Dari 1.800 desa hutan di 14 taman nasional di Indonesia, ada 300-an model kebun hutan yang hanya diambil hasil hutan bukan kayunya (KpSHK, 2005).

READ

Dari 300-an model kebun hutan tersebut hadir nama-nama lokal sistem hutan kerakyatan semisal Seunebok, Empus, Lampoh, Uteun, Kebun Kemenyan, Talang, Parak, Rombong, Sonor, Kebun Karet, Lubuk-Hutan Larangan, Kebun Kulit Manis, Humo, Sesap, Repong Damar, Kebun Durian di Sumatera; Leweung, Huma, Hutan Rakyat di Jawa; Simpuqn, Natai dan Tembawang di Kalimantan; Hinoe dan Lopu Lehe di Sulawesi; dan lain-lainnya. Kesemua model kelola ini relatif tidak menyebakan kerusakan hutan, dari pengalaman dan kajian beberapa lembaga yang bergelut di agroforestry dan kehutanan sosial.

Mengingat Kementerian Kehutanan (beberapa tahun lalu Departemen Kehutanan) saat ini sedang mendorong dan membuka akses bagi masyarakat dan desa di sekitar dan di dalam kawasan hutan agar dapat memanfaatkan kawasan hutan (terutama yang berhutan dan berfungsi produksi dan lindung), sangat memungkinkan desa-desa hutan dengan model-model kelola tersebut menjawab dan menjadi jalan keluar bagi janji Presiden, Indonesia bisa menurunkan emisi karbonnya hingga 26% tanpa bantuan (dukungan finansial) dari luar dengan cukup bermodalkan mengakui sistem-sistem kelola tersebut.

Reduksi emisi ala desa (READ) adalah peluang di depan mata bagi Pemerintah untuk meyakinkan dunia, Indonesia serius dengan pemenuhan janji politiknya tentang hutan dan perubahan iklim, dan READ menjadi REDD Mandiri. Apalagi dibarengi dengan target Ditjen RLPS (Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial) Kementerian Kehutanan yang menginginkan sukses 500.000 ha kawasan hutan dapat tersalurkan hak pengelolaannya kepada masyarakat dan desa dalam setahun ini (target 2010). Bagaimana? Selamat mencobanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Lihat post lainnya