Hamparan ekosistem rawa-gambut yang berada di Sumatera, Kalimantan dan Papua tak kurang dari 26 juta ha, yang sebelumnya seluas 38 juta ha. Ekosistem yang sangat unik dari suatu kawasan semi daratan yang sebagian besar merupakan hutan tropis dataran rendah, rawa-gambut Indonesia adalah terluas di dunia, dan kini terancam rusak akibat alih fungsi dan kebakaran hutan dan lahan.
Sejak pembangunan kehutanan dan pertanian sangat membutuhkan lahan, dan tidak adanya lagi cadangan lahan kehutanan atau kawasan hutan yang bisa dikonversi menjadi lahan produksi hutan tanaman dan perluasan perkebunan sawit, alih-alih kebijakan pemerintah sedari 80-an telah mendorong digunakannya areal rawa-gambut sebagai pemenuhan kebutuhan tersebut.
Kawasan rawa-gambut di Semenanjung Kampar yang diapit oleh dua sungai besar di Riau, yaitu Sungai Siak dan Sungai Kampar, kini menjadi perebutan kepentingan konservasi dan produksi kehutanan-pertanian oleh beberapa pihak di Riau. (Riau Andalan Pulp Paper) RAPP dari Group APRIL (Asia Pacific Resources International) akan menjadikan Semenanjung Kampar menjadi areal Kampar Ring yang akan menyelamatkannya dari kerusakan dengan konsep penanaman tanaman sela di zona penyangga antara konsesi RAPP dengan hutan rawa-gambut.
Jikalahari, LSM jaringan hutan se-Riau, secara bersamaan sedang mendorong kawasan tersebut menjadi cagar biosfer rawa-gambut demi memproteksi ekosistem hutan tropis dataran rendah ini dari alih fungsi untuk hutan tanaman dan perkebunan sawit.
Sementara yang lain, di Teluk Meranti yang merupakan bagian lain dari Semenanjung Kampar, ditengarai, sedang dikembangkan hutan tanaman pola kemitraan antara masyarakat setempat dengan perusahaan pengembang Hutan Tanaman Industri (HTI) yang difasilitasi oleh pihak ketiga (LSM).
Dari pemaparan Niel Franklin, Sustanaibility Director dari APRIL, dalam acara Seminar Rawa-Gambut untuk Kehidupan yang diselenggarakan oleh KpSHK di Hotel Salak, di Bogor, beberapa waktu lalu (22/4), Kampar Ring adalah konsep eco-hydro dimana pengaturan tanaman di zona buffer Semenanjung Kampar akan memberikan pengaruh signifikan bagi pengaturan pasang-surut air ke Sungai Kampar, sehingga degradasi rawa-gambut dapat terhindar.
Program Kampar Ring sendiri bertujuan demi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di ekosistem rawa-gambut, yang juga akan memberikan nilai ekonomi bagi industri dari skema perdagangan karbon dunia, dari penerapan voluntary market REDD (Reducing Emission from Deforestation adn Degradation).
Bustar Maitar dari Greepeace Asia Tenggara di acara yang sama mengungkapkan, justru yang menyebabkan kerusakan ekosistem rawa-gambut adalah adanya perkebunan sawit (7, 3 juta ha) dan hutan tanaman industri (5,7 juta ha). Kedua pembangunan industri ini menggunakan teknologi kanal untuk mengeringkan gambut.
“Di tahun-tahun lalu, Greenpeace melakukan aksi penutupan kanal HTI di Semenanjung Kampar, dan melakukan fly over di atasnya. Semenanjung Kampar, hutan rawa-gambut tropis yang masih tersisa cukup luas di Riau,” ujar Bustar dalam presentasinya.
Mengambil contoh pengrusakan ekosistem rawa-gambut terluas sepanjang sejarah pertanian dan kehutanan di Indonesia, pengalaman berharga dari (PLG) Proyek Lahan Gambut se-Juta hektar (1995) di Kalimantan Tengah, proyek ini telah menyebabkan kehancuran ekologi setempat. Rehabilitasi rawa-gambut eks-PLG tidak kunjung selesai hingga datang kepentingan rawa-gambut untuk perdagangan karbon setelah UNFCCC di Bali (2007), Posnan (2008). Greenpeace mencatat PLG hanya meninggalkan kanal-kanal sepanjang 4.600 Km di tahun-tahun berikutnya.
Begitu pun dengan kawasan rawa-gambut di Rawa Tripa, Nangroe Aceh Darussalam, sejak adanya HGU yang masing-masing dipegang oleh beberapa perusahaan berbeda yang salah satu diantaranya oleh Astra Agrolestari untuk perkebunan sawit di kawasan itu seluas 6.000 ha, dari sejak tahun 1980-an. Kini telah mengganggu dijadikannya kawasan tersebut sebagai habitat pengembalian Orangutan Sumatra, karena sudah lebih dulu rusak oleh pembukaan kebun sawit.
Berbagai kerusakan, usaha perbaikan, dan pemanfaatan kembali kawasan rawa-gambut di Indonesia yang diperkuat oleh lahirnya kebijakan setingkat peraturan menteri tentang alih fungsi rawa-gambut untuk perkebunan kelapa sawit yang dikeluarkan Departemen Pertanian baru-baru ini, telah memperkuat asumsi bahwa rawa-gambut sudah tidak lagi dianggap sebagai lahan tak berguna seperti anggapan saat hutan Indonesia menjadi sektor yang cukup besar mendatangkan devisa negara dari praktik HPH (Hak Pengusahaan Hutan) di awal-awal tahun 80-an. Rawa-gambut adalah idola sebagai penyedia lahan baru bagi pembangunan kehutanan dan pertanian di masa kini. (tJong)