Ditengah perdebatan memaknai restorasi gambut, faktanya ekosistem lahan gambut terus mengalami ancaman pengrusakan dalam satu dekade terakhir. Setidaknya sekitar 2 juta ha lahan gambut mengalami kerusakan akibat perubahan fungsi eskosistem dan kebakaran beberapa waktu lalu. Kejadian memperihatinkan ini sudah sepantasnya disebut sebagai bencana ekologi.
Berdasarkan data sistem informasi rawa gambut (SIRGA) KpSHK di Propinsi Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah tercatat wilayah SHK Gambut tersebar di 1.738 desa, 204 kecamatan dan 36 kabupaten dengan luasan total mencapai 9,2 juta Ha. Dari data sebaran SHK Gambut tersebut, realitasnya penduduk di desa-desa sekitar gambut terus mengalami ancaman akibat pembangunan dan perluasan industri ekstraktif berbasis lahan.
People, Planet and Profit sebagai semboyan pembangunan berkelanjutan di negara-negara berkembang pada prakteknya justru menyebabkan kondisi sebaliknya, pemiskinan, bencana ekologi dan penyingkiran komunitas dari lahan gambut. Sementara upaya penegakan hukum untuk keadilan lingkungan harus menelan pil pahit. Bahkan di era demokratisasi dan keterbukaan informasi, perampasan ruang hidup dan pengrusakan ekosistem gambut justru terjadi melalui produk-produk kebijakan dan dilindungi oleh praktek hukum itu sendiri.
Pemerintah Indonesia telah menunjukkan keseriusan menangani kerusakan gambut salah satunya membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) sebagaimana tertuang dalam PP No. 1 Tahun 2016. BRG berperan dalam mengkoordinasikan dan memfasilitasi upaya restorasi gambut seluas 2 juta Ha di Propinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua sampai dengan 2020. Namun muncul pertanyaan, kemana arah restorasi gambut? Dan yang terpenting, dimana menempatkan posisi rakyat dalam proses restorasi gambut?
Moeh.Yusuf (Manager Knowledge Management KpSHK) menjelaskan “Model pengelolaan rawa gambut berbasis komunitas diyakini merupakan salah satu jalan menyelamatkan ekosistem gambut dari kehancuran akibat praktek pembangunan pro pertumbuhan”.