K.P. SHK

Punan Malinau Yang Terlupakan

Kabupaten Konservasi Jadi Sarang Eksploitasi Hutan

Sejak Tetua Adat Punan Rian meminta Presiden Soeharto menyediakan areal kawasan berhutan di Malinau, Kalimantan Timur, di tahun 1979 untuk masyarakat adat Punan Rian yang masih hidup berburu dan meramu telah sedikit membuka tabir persoalan penguasaan dan pengelolaan sumberdaya hutan di Kabupaten Malinau.

Hal tersebut sesuai penuturan Boro Suban Nikolaus dari LP3M, yang selama ini banyak melakukan aktivitas pemberdayaan di beberapa komunitas adat Punan Adiu di Kecamatan Malinau Selatan pada diskusi persoalan sumberdaya hutan dan masyarakat adat di Crawford Lodge, Bogor (14/5).

“Tidak banyak LSM yang masuk ke daerah ini. Dulu ada satu lembaga penelitian hutan dunia. Tapi tak banyak informasi yang membuat kepentingan masyarakat Punan Adiu disinggung, ” tutur Niko dalam penjelasannya.

Kabupaten Malinau yang sejak 2007 menetapkan kawasannya sebagai kabupaten konservasi dan ditengarai sudah ada perjanjian dengan pihak luar tentang perdagangan karbon sebagai dampak Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim Dunia di Bali pada Desember 2007 lalu sangat bertentangan dengan apa yang terjadi di beberapa wilayah di Malinau. Eksploitasi sumberdaya hutan melalui praktik pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI), pembukaan perkebunan besar kelapa sawit, dan pertambangan batu bara sedang marak.

“Saat ini sedang beroperasi perusahaan-perusahaan HTI, perkebunan sawit dan tambang batu bara. Bahkan hulu Sungai Malinau sekarang sudah rusak, karena tiba-tiba tambang batu bara ada di situ,” papar salah seorang perwakilan masyakata adat Punan Adiu yang didampingi Niko.

Di 2006, Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur mencanangkan pembangunan 1 juta ha perkebunan kelapa sawit. Di Kabupaten Malinau dicadangkan 200.000 ha dalam proyek tersebut. Harian Kompas (2007) dalam pemberitaannya, menyebutkan Pemerintah Propinsi Kaltim kecewa, dari satu juta hektar hutan yang dibuka untuk sawit hanya sekitar 300.000 hektar yang kenyataannya ditanam sawit. Perusahaan hanya mengambil kayu dari proses landclearing.

Punan Rian sendiri berada di Daerah Aliran Sungai Malinau, dimana Sungai Malinau sendiri adalah sungai yang diapit oleh dua besar lainnya yaitu Sungai Kayan dan Sungai Mentarang yang kedua sungai pengapit Malinau ini merupakan batas terluar dari Taman Nasional Kayan-Mentarang di Kalimantan Timur.

“Saya heran, kenapa keberadaan wilayah Punan Rian yang ada di dalam Kayan-Mentarang justru tidak dilindungi dari eksploitasi kehutanan dan pertambangan, ” tanya Niko dengan nada setengah tak percaya. (tJong)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Lihat post lainnya